Majalah Sunday

Rahasia di Balik Garis Merah, Dari Gua Sha ke Kerokan Nusantara

Penulis: Adistya Armitayana – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pernah nggak, pas kamu ngeluh pusing atau pegel, langsung ada yang nyeletuk, “Kerokan aja, nanti juga sembuh”? Yup, kalimat legendaris itu udah kayak resep turun-temurun di setiap rumah di Indonesia. Kerokan sebagai bagian dari tradisi Indonesia bukan cuma jadi kebiasaan saat “masuk angin”, tapi juga bentuk perhatian yang hangat. Uniknya, di balik garis-garis merah di punggung itu, tersimpan makna mendalam tentang pengobatan tradisional yang masih dipercaya sampai sekarang—cara sederhana yang tetap relevan di tengah modernitas.

Tapi pernah kepikiran nggak, kenapa sih orang Indonesia begitu percaya sama kerokan? Dan kok bisa, garis-garis merah di punggung itu malah bikin badan terasa enak, bukan makin sakit?

Dari Gua Sha ke Kerokan Nusantara

Kerokan bukan cuma tradisi, tapi juga bagian dari keseharian orang Indonesia. Biasanya dilakukan dengan alat sederhana seperti koin, bawang merah, atau batu giok yang digesek di kulit dan sudah dioles minyak hangat. Minyaknya pun beragam: dari minyak kayu putih, minyak tawon, sampai minyak cengkeh. Semua punya aroma khas dan efek hangat yang bikin badan serasa dipeluk setelah dikerok. Tapi tahukah kamu, Sebelum dikenal sebagai “obat masuk angin” khas Indonesia, ternyata kerokan punya saudara tua dari Tiongkok bernama Gua Sha. Dalam bahasa Mandarin, “gua” berarti menggosok dan “sha” berarti pasir—menggambarkan bintik merah kecil yang muncul saat kulit digosok. Ribuan tahun lalu, Gua Sha sudah digunakan sebagai terapi tradisional untuk melancarkan peredaran darah, mengeluarkan angin, dan memulihkan energi tubuh.

Saat budaya Tionghoa masuk ke Nusantara lewat jalur perdagangan, tradisi ini ikut menyeberang dan perlahan beradaptasi. Dari batu giok beralih ke koin, dari minyak herbal khas Tiongkok berubah jadi minyak kayu putih—muncullah versi lokal yang kini kita kenal sebagai kerokan. Uniknya, orang Indonesia nggak cuma meniru. Mereka memodifikasi dan memberi “rasa” sendiri. Kerokan bukan cuma pengobatan alternatif, tapi juga jadi simbol perhatian dan kedekatan emosional. Momen di mana ibu mengerok anaknya yang demam, atau teman kos saling bantu saat masuk angin—itu bentuk kasih sayang sederhana yang nggak bisa diganti obat kimia.

Beberapa alat yang biasa digunakan untuk kerokan

Makna dan Filosofi di Balik Kerokan

Buat sebagian orang, kerokan bukan sekadar urusan punggung merah, tapi simbol kasih sayang yang tumbuh dari tradisi turun-temurun. Coba ingat momen waktu kamu sakit dan ibu bilang, “Sini, dikerokin biar enakan.” Ada rasa peduli di sana. Ada perhatian. Ada kehangatan yang nggak bisa diganti obat modern. Dalam setiap tarikan koin di kulit, tersimpan bahasa kasih yang nggak diucapkan dengan kata-kata, tapi terasa sampai hati. Di beberapa daerah, kerokan juga punya sisi spiritual. Di Jawa, misalnya, orang percaya kerokan bisa “mengusir angin jahat”—bukan cuma angin di tubuh, tapi juga energi negatif yang bikin seseorang lesu. Sementara di Bali, pengobatan tradisional sering disertai doa atau mantra, menandakan hubungan antara tubuh, jiwa, dan alam. Bahkan di sebagian masyarakat pesisir, kerokan dianggap bagian dari ritual penyembuhan alami sebelum seseorang kembali beraktivitas berat di laut atau ladang.

Lebih dari sekadar pengobatan tradisional, kerokan adalah bentuk komunikasi emosional dalam budaya Indonesia. Ia menyatukan generasi—dari nenek ke cucu, dari teman kos ke sahabat yang sama-sama masuk angin. Filosofinya sederhana tapi dalam: penyembuhan bukan hanya dari luar, tapi juga dari kehangatan manusia lain. Saat seseorang dikerok, ia nggak cuma sembuh secara fisik, tapi juga mendapat sentuhan kasih yang menenangkan batin. Karena di balik setiap garis merah, ada kisah kecil tentang cinta, perhatian, dan budaya yang terus hidup di tengah masyarakat modern.

Pandangan Medis terhadap Kerokan

Meskipun kerokan tidak dianggap sebagai terapi resmi secara medis, efeknya dapat dijelaskan secara ilmiah. Proses menggosok kulit menyebabkan pembuluh darah kapiler melebar dan sirkulasi darah meningkat. Hal ini membuat tubuh lebih bebas dari sisa metabolisme dan membuat kamu merasa lebih baik. Aktivitas kerokan ini juga dapat memicu pelepasan endorphin, hormon yang membuat tubuh rileks. Meski begitu, dokter tetap menganjurkan untuk kerokan dengan hati-hati. Terlalu keras menggosok kulit dapat menyebabkan iritasi atau luka kecil. Orang-orang dengan kondisi medis seperti gangguan pembekuan darah juga harus menghindari kerokan. Karena itu, meskipun kerokan memiliki banyak manfaat, harus dilakukan dengan hati-hati.

Tradisi kerokan masih dilakukan sebagai pengobatan rumahan

Kerokan mungkin terlihat sederhana—sekadar koin, minyak kayu putih, dan punggung yang memerah. Tapi di balik garis-garis merah itu, tersimpan cerita panjang tentang perhatian, kehangatan, dan budaya yang tidak pernah benar-benar hilang. Tradisi ini membuktikan bahwa hal-hal kecil bisa punya makna besar, kalau kita mau melihatnya lebih dalam.

Karena kadang, yang membuat kita sembuh bukan cuma kerokannya, tapi rasa hangat dari orang yang melakukannya.

 

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 2