Penulis: Asri Jafni Sabrina – Universitas Pancasila
Kamu bingung ujian akhir sudah di depan mata, tugas menumpuk, jam belajar bertambah, dan sedang gencar gencarnya belajar tapi tiba tiba pacar kamu mutusin kamu gitu aja? Di tengah hiruk pikuk kepadatan jadwal sekolah beberapa remaja masih menggunakan alasan klasik untuk mengakhiri sebuah hubungan. Alasannya sih terdengar mudah untuk fokus belajar, tapi apakah benar keputusan tersebut murni untuk fokus belajar atau ada alasan lain dibalik hal itu? Atau alasan itu dipakai untuk menutupi alasan lain?
Kejadian seperti ini sudah sering terdengar terjadi pada remaja, seringkali remaja dengan entengnya berkata “kita putus dulu aja ya, soalnya mau fokus ujian” seolah-olah hubungan yang sudah terjalin lama tidak berarti dan seakan akan mengakhiri hubungan merupakan cara perpisahan instan untuk mendapat nilai bagus. Padahal tekanan pada kehidupan masa sekolah memang nyata, adanya harapan orangtua yang tinggi mengharapkan sang anak berhasil meraih nilai akademik yang bagus, adanya persaingan akademik antar teman sekelas, munculnya ketakutan akan masa depan seringkali membuat remaja dipenuhi oleh beban yang berat. Di tengah beban yang sebesar itu, hubungan percintaan bisa menjadi sasaran empuk untuk pelarian.
Namun pertanyaannya, apakah membuat keputusan untuk mengakhiri suatu hubungan memang merupakan suatu keputusan yang terbaik? Atau sebenarnya itu hanyalah alasan klise yang dipakai remaja untuk mengakhiri suatu hubungan yang sudah retak sejak lama? Pada artikel ini mengajak kamu melihat secara lebih mendalam, supaya langkah yang kamu ambil bukan hanya tekanan sesaat tapi merupakan keputusan yang sehat.
Di tengah situasi penuh kehectican ini, wajar banget kalau sebuah hubungan terasa lebih rumit dari biasanya—apalagi kalau menyangkut soal percintaan. Jadi, nggak heran kalau ada yang kepikiran buat break atau bahkan putus. Katanya sih biar pikiran lebih fokus ke pelajaran. Tapi, sebelum buru-buru ngambil langkah besar, yuk kita cari tahu bareng-bareng: beneran karena pengen belajar, atau cuma alasan manis buat nutup cerita yang sebenarnya sudah retak?
Menjelang ujian, banyak remaja dihadapkan pada jadwal belajar yang semakin padat, tuntutan nilai yang tinggi, dan ekspektasi dari orang tua maupun guru. Tekanan ini seringkali datang dari berbagai arah: guru menuntut pencapaian nilai maksimal, orang tua berharap anaknya bisa masuk perguruan tinggi terbaik, teman sebaya pun menciptakan persaingan melalui cerita tentang target nilai atau jadwal belajar yang ketat. Semua faktor tersebut menimbulkan stres dan rasa tertekan yang sulit dihindari. Dalam kondisi seperti ini, hubungan asmara remaja juga bisa ikut terbawa arus. Sebagian remaja mulai merasa kewalahan karena harus membagi fokus antara belajar dan menjaga komunikasi dengan pasangan.
Di tengah tekanan tersebut, muncul anggapan bahwa mengurangi beban pikiran adalah satu-satunya cara untuk tetap fokus pada akademik. Banyak yang kemudian melihat hubungan pacaran sebagai “gangguan” atau distraksi dari tujuan utama, yaitu mendapatkan nilai yang baik. Hubungan yang tadinya terasa menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang menimbulkan rasa bersalah ketika waktu belajar terpotong untuk bertemu atau sekadar membalas pesan. Maka dari hal itu, beberapa remaja menganggap mengakhiri hubungan sebagai langkah “paling mudah” dan cepat untuk menyingkirkan satu sumber tekanan, meskipun keputusan itu sering diambil tanpa mempertimbangkan dampak emosional yang mungkin muncul setelahnya.
Pada alasan “kita putus dulu aja ya, soalnya mau fokus ujian” terdengar sederhana, bahkan juga bisa dibilang masuk akal jika hanya dilihat sekilas. Namun, di balik kalimat sederhana tersebut seringkali terdapat motif tersembunyi yang lebih kompleks. Memang benar tidak dipungkiri banyak remaja yang benar-benar ingin memprioritaskan akademik, contohnya karena merasa suatu hubungan terlalu menyita waktu atau karena memang ingin mengurangi adanya distraksi supaya hasil ujian tidak mengecewakan orang tua. Pada kasus seperti ini hal tersebut dilakukan sebagai bentuk manajemen waktu dan suatu usaha untuk tetap menjaga fokus, meskipun tentunya hal tersebut menyakiti kedua pihak.
Namun, nyatanya tidak sedikit pula yang menggunakan alasan klise tersebut untuk menutupi persoalan lain dalam suatu hubungan. Misalnya, ada yang sudah merasa hubungan hambar, sering terlibat konflik, atau sudah merasa tidak ada kecocokan diantara keduanya, tetapi masih bingung untuk mencari cara yang aman untuk mengakhiri hubungan tersebut. Dengan menggunakan alasan klise itulah putus karena mau fokus ujian yang mereka gunakan untuk mengakhiri hubungan supaya terlihat lebih dapat dimengerti dan tidak menyakiti perasaan pasangan secara langsung. Ada juga yang menghindari percakapan serius tentang perasaan, sehingga “fokus ujian” dijadikan tameng untuk sebuah keputusan putus terlihat netral.
Di tengah tekanan akademik yang sudah berat, mereka merasa lebih mudah menyingkirkan faktor tambahan yang bisa memicu stres, meskipun alasan resminya hanya “fokus ujian.” Pada akhirnya, alasan “putus saat ujian” bisa menjadi campuran antara keinginan tulus untuk fokus dan cara halus untuk keluar dari hubungan yang tidak lagi membuat nyaman.
Membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan di masa ujian tidak membuat beban belajar berkurang. Justru, adanya perasaan sedih, kecewa, atau rasa kehilangan bisa memunculkan tekanan baru yang membuatnya lebih berat dari stress akademik. Banyak remaja yang berharap bisa lebih fokus setelah putus, namun kenyataannya tak semudah itu justru seringkali pikiran teralihkan oleh rasa sakit hati atau keinginan untuk menghubungi mantan dikarenakan kondisi tekanan yang berat. Alih-alih membantu keputusan ini justru bisa mengganggu konsentrasi belajar dan membuat suasana hati semakin tidak baik dan stabil. Pikiran bisa terus dihantui kenangan bersama mantan, adanya pertanyaan “kenapa harus putus,” atau dorongan untuk mencari penjelasan lebih lanjut.
Pada sisi mental, tekanan berlebih antara menghadapi ujian dan memulihkan hati dapat juga menurunkan motivasi untuk belajar, mengganggu pola tidur, dan memicu stres berlebih. Sebagian remaja mungkin mengalami penurunan konsentrasi saat mengerjakan soal atau bahkan kehilangan minat untuk belajar sama sekali. Bahkan jika tujuan awal memang adalah ingin fokus pada akademik, perasaan kehilangan yang mendalam dapat menunda proses adaptasi sehingga hasil ujian tidak memuaskan seperti yang diharapkan.

Menghadapi ujian bukan berarti hubungan harus diakhiri. Banyak cara untuk tetap menjaga keseimbangan. Saling berkomunikasi secara jujur misalnya saling terbuka soal jam belajar, kesepakatan mengurangi intensitas chat, atau menunda rencana kencan sampai ujian selesai. Membuat kesepakatan sederhana ini bisa membuat satu sama lain sama-sama merasa dimengerti tanpa harus memilih putus. Selain itu, dengan membuat jadwal bersama bisa jadi solusi yang menyenangkan.
Menciptakan hubungan yang hangat dengan mengajak pasanganmu belajar bareng di rumah atau perpustakaan hal tersebut bisa memberi kesempatan untuk saling mendukung. Selain itu memberi ruang untuk sementara namun tidak benar-benar berpisah hanya untuk memberi ruang agar masing-masing bisa fokus dalam menghadapi ujian. Dengan cara ini, hubungan justru bisa menjadi penyemangat positif di tengah tekanan ujian, bukan hambatan.
Di tengah dilema hubungan dan ujian, remaja sering lupa bahwa mereka tidak harus menghadapi semuanya sendiri. Bercerita kepada sahabat, keluarga, atau guru BK dapat membantu menemukan perspektif baru dan solusi yang lebih sehat. Dukungan dari sahabat, keluarga, atau guru BK bisa memberi pandangan baru dan menenangkan pikiran. Dengan merasa didukung, remaja jadi lebih kuat menghadapi ujian dan masalah percintaan. Dukungan sosial juga memberikan rasa aman bahwa keputusan tidak harus diambil secara impulsif, dan selalu ada jalan tengah untuk tetap fokus pada ujian tanpa harus kehilangan orang yang disayangi.

Putus saat ujian memang terlihat seperti cara cepat untuk meringankan beban, tapi kenyataannya belum tentu membuat fokus belajar jadi lebih baik.
Kalau kamu sedang menghadapi situasi ini, ambil waktu untuk berpikir jernih. Ajak pasangan bicara dengan terbuka, atur ulang jadwal belajar, atau sepakati jeda sementara bila perlu. Ingat, ujian hanya berlangsung sebentar, tapi keputusan yang tergesa bisa menimbulkan penyesalan lebih lama. Pilih langkah yang benar-benar sehat, bukan hanya karena tekanan sesaat.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

