Majalah Sunday

Premis Kematian

Orang baik memang cepat mati.

Kau membatin untuk membungkus gelisah. Beberapa jam lagi Munkar Nakir akan menyapamu. Semerbak wangi mawar dan kamper barus pertanda kau telah siap.

La Ilaha Illallah. Samar-samar kau mendengar dengung kalimat tauhid. Aroma tanah makin kuat, tapi tak kau hiraukan. Ruhmu agak linglung sebelum akhirnya kau melihat istri dan anak-anakmu meraung bersimbah air mata.

Ya, kalau saya tidak mati muda, istri saya yang penurut akan masuk neraka. Kau ingat hari di mana kau merasa paling hebat karena seorang perempuan menggantungkan hidup dan matinya hanya padamu.

Saya orang baik, makannya matinya cepat. Tunggu, hari ini tepat ketika Nabi Muhammad naik ke langit ke tujuh. Tapi asumsi itu tidak membuatmu tenang. Bayang-bayang lidah api, tongkat garpu raksaksa, segala gambaran di buku siksa neraka yang pernah kau wanti-wanti tiga puluh empat tahun lalu, kembali menghantui.

Ah saya mati karena sakit. Saya sakit karena bangkrut. Saya bangkrut dan marah pada Tuhan. Kau ingat ketika menyumpah serapahi Tuhan. Waktu itu kau dihianati teman baikmu. Harta bendamu ludes, berubah menjadi piutang. Kau pernah berujar, “kurang apa lagi? Engkau memang sengaja menjebakku. Persetan dengan iman, islam. Sudahlah Engkau sama busuknya dengan makhlukMu”

Kemarahan membuat saya jarang sembahyang apa lagi puasa. Ibadah saya minus makannya dikasih sakit. Sakit menghapus dosa saya. Dosa saya terhapus dan saya masuk …. Demi Allah saya pernah menjadi hamba Nya yang beriman. Kau menangis sesenggukan.

Kau terus menyusun premis hingga tanah membalut kafanmu dengan sempurna. Gelap. Kau mencoba mengingat kapan terakhir kali membuka kitabmu. Makhluk berjubah datang. Tak ada yang bisa mendengar teriakanmu.

Hari berganti hari. Kau sudah tak ingat waktu. Hey, dulu kau sangat tegas akan hal itu. Liang lahatmu yang gelap, lembab, kadang panas, tiba-tiba ada cahaya yang menembus pori-pori tanah. Semilir angin sejuk menenangkanmu. Ketakutan, penyesalan meluap seketika.

Inikah doa anak salih? Anak-anakku yang pemarah dan keras kepala— darahku, sepertinya dapat asuhan yang baik. Ah, mungkin istriku sudah bertaubat dan menjadi pintar. Ini yang dinamakan jalan takdir sebagai keluarga penghuni taman firdaus. Makannya saya dikasih mati. Anak saya dijadikan yatim. Dan istri saya dibiarkan mandiri. 

Sekarang aku percaya, Tuhanku yang baik memang sudah mendaftarkan saya, istri dan anak-anakku untuk mengisi taman firdaus. Sekian lama akhirnya kau bisa terbahak hingga keluar air mata.

Allahuakbar, makhluk berjubah hitam itu datang lagi. Anakku, tolong!

Hikmah Ovita – Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?