Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta
Kiranya sudah tak betah lagi aku mengendap di dalam rumah, berenang ke sini ke mari pada tempat yang itu-itu saja. Aku sudah tidak sabar! Kuberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sama kepada ayah.
“Aku boleh keluar, Ayah? Aku boleh keluar? Bolehkah? Boleh, ya? Bo-”
“Yaaa, sudah sana. Main saja sesukamu, tapi jangan berenang terlalu jauh.
Ayah menyundul-nyundulkan kepalanya kepadaku. Tidak kusangka secepat ini izinnya diberikan. Yey! Nanti aku akan berkenalan dengan teman baru, menemukan makanan baru, dan menjelajah tempat baru yang ada di sekitar rumahku.
Biar aku beri tahu, rumahku gelap, ada di dasar laut terdalam. Seumpama ada tetangga ikan lain—yang bukan merupakan makananku tentunya—bertanya kepadaku, bagaimana kamu bisa hidup dan tinggal di tempat yang gelap? Aku akan menjawab, karena aku punya cahaya sendiri di kepalaku! Ada sebuah antena memanjang ke bawah, dan di ujungnya ada sebuah lampu yang menyala kalau sedang aku butuhkan.
Dari rumahku, aku ingin bermain dan beradu lampu masing-masing. Sejujurnya aku belum pernah tahu apa yang akan ikan sepertiku lakukan kalau bermain.
Aku berenang menjauhi rumahku, kedua mataku tidak berhenti menelusuri sekitar sampai aku menemukan ada teman baru. Agak cukup jauh, barulah mataku menangkap kehadiran tiga ikan dengan cahaya di antenanya, sama sepertiku.
“Blub-blub! Salam kenal!” teriak diriku dari kejauhan. Ketiga ikan di depanku memutar badannya setelah mengetahui asal sumber suaraku.
Setelah melihatku, mereka kembali memutar badannya dan membelakangiku. Aku bingung, apa aku tak terlihat? Kurasa aku harus lebih dekat, jadi aku mendekati mereka. Harapanku, kali ini perkenalanku berhasil.
“Blub-blub! Salam kenal!” Aku mengulangi sapaanku.
Ikan yang ada di sebelah kiriku melirik sedikit, kemudian terdengar suara decakan. “Ya, salam kenal juga.”
Ikan di sebelahnya hanya melirik, begitu pula ikan yang ada di sebelah kananku. Ia hanya menyunggingkan senyum canggung. Karena turut merasa canggung, jadi aku mencoba untuk mencairkan suasana.
“Aku boleh ikut bermain? Nama kalian siapa? Apa yang sedang kalian mainkan?”
“Memangnya kamu tidak punya mata? Lihat saja sendiri!” bentak ikan yang berada di tengah.
Mendengar teriakannya aku kaget tetapi aku coba ikuti perkataannya. Aku pun melihat ke bawah, mereka ternyata sedang mencoba untuk mengubur antena mereka kemudian menyalakan cahaya dari bawah pasir laut. Ketika cahaya sudah menyala, mereka bersamaan menarik antenanya. Itu terlihat menyenangkan! Aku cukup terkesan kala melihatnya.
Lantas aku beranikan diri untuk mengikuti mereka. Mula-mula aku masukkan antenaku ke bawah pasir, kemudian aku nyalakan cahayaku, dan … tara! Itu terlihat sangat indah. Aku melompat-lompat kegirangan sewaktu melihatnya.
“Teman-teman lihat ini!” Aku berhenti menunduk untuk memandang ikan-ikan tadi. Namun, yang kulihat bukan keberadaan mereka. Di depanku kosong. Aku pun melihat ke sekeliling, menerka-nerka ke mana perginya mereka.
Aku berenang ke depan, ke kiri, ke kanan, tetapi tidak menemukan jejak mereka. Tatkala aku berenang ke tempat awalku tadi, perlahan aku mendengar suara bisikan.
“Ikan yang tadi mengajak kita kenalan itu aneh, masa cahayanya redup begitu.”
“Cacat mungkin dia.”
“Nah iya, kalau dia main sama kita takutnya cahaya antena kita ikut-ikutan redup.”
“Memang aneh!”
“Eh jangan keras-keras, nanti dia dengar!”
Sebelumnya aku beranikan diri untuk mendekati mereka, tetapi tidak lagi. Mereka sengaja mematikan cahaya di antena mereka agar aku tak mengetahui keberadaan mereka. Aku juga baru menyadari, sedekat apa pun jarak diriku dengan mereka, cahayaku tak cukup menerangi sekitarku. Suara mereka pun berhasil kudengar.
Aku hanya bergeming. Ternyata aku berbeda dari mereka, ternyata aku cacat, dan ternyata mereka tak mau berteman denganku.
Ketika tak terdengar lagi suara ikan-ikan tadi, aku memilih untuk pulang lantaran merasa tak ada gunanya lagi mencari teman kalau aku cacat. Sesampainya di rumah, aku bertanya kepada ayah.
“Ayah, kira-kira adakah kondisi ketika ikan seperti jenis kita memiliki cahaya antena yang redup?”
“Apa maksudmu, Nak?”
“Kondisiku ini, Ayah, kenapa aku begini?”
Ayah tidak menggubris pertanyaanku. Ia malah mengajakku mendekat. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.
“Dahulu, ayah menemukan seekor ikan kecil tanpa ada orang tua di sisinya. Ia sendirian. Cahayanya redup, tubuhnya juga terlihat lemas sekali. Karena saat itu ayah tidak melihat siapa pun, jadi ayah membawanya pulang. Ikan kecil itu pun tumbuh menjadi ikan yang cantik, periang, dan penuh semangat. Ikan kecil itulah sosok dirimu sekarang.”
Nada ayah melembut, tetapi aku tidak melihat keyakinan di matanya.
“Ayah … kenapa Ayah membiarkan aku tetap hidup padahal aku cacat? Bagaimana bisa aku hidup dengan cahaya yang redup di antenaku untuk seumur hidup? Aku tahu niat Ayah baik, tetapi aku juga menderita kalau hidup seperti ini!”
Entah kenapa, aku memarahi ayah barusan. Aku kaget dengan diriku yang seperti ini. Tidak, ini bukan diriku. Aku harus menjauh dari ayah, aku telah menjadi monster yang memarahi ayah. Aku harus pergi.
“Nak, mau ke mana? Jangan pergi terlalu jauh!”
Aku berenang ke sembarang arah. Suara ayah sayup-sayup tak terdengar lagi. Tak sadar, aku telah begitu jauh dari rumah. Ke mana pun aku berenang, aku semakin kehilangan arah.
Di saat itu, aku mendengar ada yang berenang di belakangku. Segera aku berbalik dan mendapati ikan yang tubuhnya berkali-kali lipat besarnya dari tubuhku sedang menyeringai. Cahaya di antenaku seketika kelap-kelip. Betapa paniknya diriku sampai aku lari secepat mungkin.
Takut jika aku berenang searah aku akan tetap ditemukan ikan besar itu, maka aku mencoba berenang ke atas. Seluruh tenaga yang kumiliki aku coba kerahkan untuk menghindari dilahap oleh ikan besar itu apa pun caranya.
Aku terus berenang ke atas, tak peduli jika tak berada di laut dalam lagi, asalkan aku terbebas dari predator itu. Meski letih, serta cahaya di antenaku tidak lagi menyala, aku tetap berenang.
Air laut di sekitarku semakin lama semakin cerah warnanya, tanda cahaya telah menembus masuk ke laut. Warnanya indah, batinku. Karenanya aku semakin berenang menuju ke atas, aku tak lagi melihat ke bawah atau pun ke belakangku. Cahaya di atas sana seolah membiusku untuk menemuinya.
Semakin dekat dengan cahaya di atas, rasanya tubuhku sesak. Namun, aku usah peduli. Lebih baik selesaikan pelarianku untuk melihat ada apa di atas sana. Aku telah berenang sejauh yang kubisa.
Kulihat ada sebuah bayangan yang menutupi lautan. Aku pasti bisa mampir di sana. Aku semakin semangat untuk berenang, sementara tubuhku semakin sakit.
Sedikit lagi, aku pun sampai di permukaan laut. Cahayanya terik dan panas. Aku kesulitan untuk bernapas. Bayangan yang menutupi lautan rupanya adalah tempat yang diduduki beberapa makhluk dengan wajah yang baru pertama kali kulihat.
“Wah, ada ikan Anglerfish! Jenis Black Sea Devil!”
“Hah, serius kamu?”
“Lihat di sana!”
“Tidak mungkin, kenapa dia naik ke permukaan?”
Mereka bersuara, tetapi aku tak memahami apa yang mereka suarakan. Salah satu dari mereka menangkap diriku menjauh dari air.
Dadaku sakit sekali rasanya, tetapi di sini aku dapat melihat cahaya yang hangat. Ada langit, awan, burung-burung, dan … apakah itu matahari? Ternyata cahaya di sini bahkan lebih sempurna. Nanti akan kutunjukkan bahwa aku pernah melihat cahaya sesempurna itu. Akan kuceritakan pula bahwa aku pernah naik ke atas lautan. Akan kuceritakan, suatu saat nanti.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.