Majalah Sunday

Pertunjukan Tanpa Batas

Ada hal-hal kecil yang tidak aku sadari, namun ternyata berkesan dalam hidup.

Kedatangan guru itu, misalnya.

Pak Regan, sekalu guru bahasa Indonesia yang baru itu kadang menyapaku saat melewati kantin sekolah. Diumurnya yang baru menginjak dua puluh satu tahun, para siswa sering meledekku karena mengira aku ada hubungan khusus dengannya. Aku sudah memberi bantahan bahwa aku dan beliau hanya sebatas guru dan murid. Sama seperti yang lain. Namun, semua menyangkal.

Seperti kali ini, kala aku dan Rania sedang berada di depan kelas, guru muda itu lagi-lagi menyapaku dan membuat Rania menyenggol lenganku sambil tersenyum.

“Ra, pak Regan tuh.”

Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan beliau yang langsung lewat begitu saja. Kejadian ini sudah berlangsung selama hampir satu bulan sejak kedatangannya ke sekolah ini. Dan selama itu pula, hampir semua siswa meledekku.

Sebenarnya, pertemuanku dan pak Regan bukan sejak kepindahannya ke sekolah ini. Aku pernah mengenalnya enam bulan lalu, ketika aku menginjak kelas satu SMA. Saat itu, aku melihatnya membaca sebuah naskah monolog di panggung festival bulan bahasa di salah satu kampus negeri favorit.

Keren, pikirku.

Aku tidak pernah mengira bahwa apa yang dia bacakan itu merupakan bagian dari estetika bahasa. Kupikir, dia hanya lelaki tampan yang jago beradu akting di panggung luas. Nyatanya, dia adalah calon guru.

“Kak, boleh minta kontaknya?”

Jujur, urat maluku putus saat itu juga. Aku yang dengan polosnya meminta kontak Regan yang baru saja turun dari panggung itu langsung dihadiahi tatapan heran oleh teman-temannya. Baru detik setelahnya, urat maluku tersambung lagi. Segera aku minta maaf padanya dan langsung pergi dari tempat itu.

Dan sekarang, aku baru menemuinya lagi di sekolah ini dan dia masih mengenalku.

“Mau pulang bareng, Ra?”

Sekarang, dia dengan motor N Max, jaket, dan helm full face, menawariku tumpangan saat aku masih menunggu bus sekolah bersama teman-teman. Sontak semua siswa yang berada di situ meneriakiku. Aku menolak sopan. Lantas, kuhentikan laju angkot yang sedang melintas lima puluh meter sebelum tempatku berdiri. Aku pamit pada mereka semua.

Keesokannya, kami bertemu di McDonals samping Gelanggang Olahraga. Aku tidak pernah berpikir akan bertemu beliau di tempat ini. Pikirku, lari pagi di sini cukup menyegarkan. Nyatanya, dia juga sedang berpikir demikian.

“Rasanya udah lama sejak kamu pernah minta nomor saya, Zara.”

Aku penutupi setengah wajahku dengan tas. Malu.

“Tapi saya masih ingat jelas muka kamu.”

Lagi-lagi, tas sporty yang sedang kubawa itu semakin aku naikkan hingga hampir menutupi setengah mata. Takut-takut ada teman sekolah yang kebetukan lewat.

“Masih mau minta nomor saya?”

Aku refleks menggeleng. Diam-diam, di kolong meja aku membuka aplikasi ojek online dan hendak memesan kendaraan untuk pulang.

“Kenapa?”

Lagi-lagi aku menggeleng. “M-maaf, pak. Saya izin pulang dulu.”

“Kita nggak lagi di sekolahan, Ra. Nggak usah seformal itu.”

“Hm.”

“Saya denger dari bu Henny, kamu selalu minta buat ikut lomba monolog?”

Deg.

Ah, benar. Setelah kejadian waktu itu, aku jadi semakin penasaran tentang monolog. Kucari informasi sebanyak mungkin lewat buku, internet, majalah, hingga akun-akun BEM universitas yang sedang mengadakan lomba serupa. Diam-diam kuperhatikan, ternyata monolog itu asyik. Lantas, aku merengek pada bu Henny, guru bahasa Indonesia sekaligus wakil kesiswaan, untuk memasukkanku dalam kandidat peserta lomba monolog tersebut. Sayangnya, berkali-kali pula bu Henny menolak dengan bilang, “Gimana kamu mau tampil kalau kamu masih malu berdiri di depan, Ra?”

Jelas itu bukan sembarang bantahan karena memang benar, aku memiliki kesulitan berbicara di depan umum. Aku takut, malu. Tapi aku selalu teringat sosok laki-laki di hadapanku yang kala itu berdiri gagah di atas sana sambil berdialog seorang diri.

Aku juga ingin ada di sana.

“Saya mau jadi pembimbing kamu kalau kamu berminat ikut lomba monolog.”

Eh?

Kulihat dia tersenyum. Manis sekali, sampai-sampai aku lupa bahwa laki-laki ini berstatus sebagai guru SMA ku.

Aku ragu. Tapi kemudian aku mengoyak diri. Harus, Ra! Kamu harus bisa ikut lomba ini!

Setelah pertemuan itu, kami jadi lebih sering bertemu. Pak Regan kadang mengajariku sepulang sekolah saat para siswa sibuk dengan ekstrakulikuler. Dia membawaku ke ruang serbaguna untuk diperkenalkan dengan panggung.

Jujur saja, kakiku gemetar. Aku takut. Padahal hanya satu orang yang berdiri di hadapanku. Namun entah kenapa rasanya puluhan kursi yang mengarah ke arahku juga turut menjadi saksi. Guru itu tersenyum dan membiarkanku mengontrol diriku sendiri. Aku sudah tidak tahan. Keringat dingin bercucuran dimana-mana. Aku takut.

Tiba-tiba, aku ambruk. Tubuhku duduk begitu saja di lantai. Aku merasa bulu kudukku berdiri. Aneh sekali. Pak Regan masih diam di tempatnya dan memperhatikanku.

Sungguh aku takut. Apa yang dia lakukan di sana? Kenapa dia tidak membawaku turun?

Kulihat, senyumnya masih sama. Aku tidak tahu apakah ini sebuah hinaan atau dukungan. Yang jelas. Ketakutanku semakin menjalar. Tubuhku gemetar dan aku mulai menekuk kakiku perlahan.

Suara itu hadir.

Bukan. Bukan aku.

Suara orang-orang itu.

Aku menjadi saksi bahwa aku mendengar suara itu.

Tanganku mengarah pada telinga dan menutupnya kuat-kuat. Aku mencoba komat-kamit dan seolah menjawab suara yang entah dari mana.

Penakut.

Zara mau ikut lomba? Ga mungkin.”

Presentasi aja gugup.”

Dia mulai gila, ya?”

Pede banget.

La…sol…mi…sol…la…

Aku menggumamkan kata-kata yang entah apa. Berharap suara-suara itu hilang dengan kata-kata anehku.

Bukan…

Penakut.”

Aku…

Bukan…

Penakut…

Jangan teriaki aku.

Jangan sakiti aku dengan mulut-mulut bodoh itu.

Zara aneh ya sekarang.”

Bukan aku.

Tapi kalian…

Sampai kapan kalian akan seperti ini?

Menindas orang-orang lemah dengan lidah pisau?

Sampai kamu mati.”

Sampai aku mati?

Bahkan kalian tidak pernah tahu siapa di antara kita yang mati terlebih dahulu.

Hahaha. Dia gila.”

Peningnya orang gila tidak lebih gila daripada mulut kalian yang tak punya penjara.

Huhuhu kasihann cup cup.”

Tanpa tahu kasih, memangnya kalian ini orang seperti apa?!

Seperti kamu.”

“AAARRGGGGHHH!”

Aku menjatuhkan tubuhku ke belakang. Mataku masih terpejam.

Sudah.

Cukup.

Aku tidak tahan.

PROK PROK PROK.

Perlahan, aku membuka mata. Masih dengan keringat dingin yang bercucuran, dari ekor mataku, kulihat pak Regan berjalan menghampiri. Dia duduk di sebelahku yang masih berbaring lemah. Kulihat, senyumnya masih sama.

“Harusnya bu Henny tahu kalau kamu bisa seehebat ini, Ra.” Katanya.

Sontak aku bangkit dan duduk dihadapannya. “M-maksud bapak?”

“Seratus dari sepuluh. Kamu bisa menciptakan emosi dari perasaanmu sendiri. Ya kan?”

Aku memiringkan kepala sambil mengkerutkan alis. Tidak mengerti dengan ucapan beliau.

Lalu, pak Regan memberikan ponselnya padaku. Sebuah video amatir yang memperlihatkan diriku sedang berada di atas panggung ini terlihat jelas. Aku mengamati tiap inci pergerakan dan ucapanku yang awalnya kacau, lantas menjadi teratur.

Dikatakannya, “Kamu udah bisa bermonolog dengan perasaan kamu, Zara.” Lalu, dilanjutkan, “Saya harus belajar melatih emosi saya agar saya bisa beremosi saat di panggung. Tapi kamu nggak perlu. Kamu udah punya itu. Dan sekarang, kamu cuma perlu ngeluapin rasa emosi kamu di panggung ini.”

Aku mendengarkannya dengan hati-hati. Lantas, ku tekan tombol play untuk memutar kembali videoku tadi. Napasku masih terasa tidak karuan. Bahkan, keringat dingin masih tercetak jelas di dahiku.

“Saya akan kasih video ini ke bu Henny sebagai bahan pertimbangan kamu bisa ikut lomba monolog, ya?”

Sejak saat itu, irama jantungku tidak pernah selaras.

Kemudian, hari itu tiba. Hari dimana aku ikut lomba monolog. Bu Henny berada di sampingku dan coba menguatkan. Tapi tetap saja melodi jantungku tidak beraturan. Hari ini, pak Regan sudah tidak lagi berstatus menjadi guru SMA ku. Nyatanya, dia hanyalah guru magang yang memang sedang melakukan praktek pengajaran selama empat bulan. Dia yang melatihku dengan menguatkan agar aku bisa berdiri kokoh di panggung. Dia juga yang menasehatiku untuk mengontrol emosi yang keluar secara perlahan. Pak Regan membantu banyak untuk perlombaanku hari ini. Namun sayang, di hari ini, dia tidak datang.

Giliranku tiba. Aku mulai mengontrol napasku agar tidak gugup. Bu Henny terus menyemangatiku dari belakang.

Fokus, Ra.

Ingat semua yang Pak Regan ajarkan.

Kontrol emosimu.

Kuatkan kakimu.

TAP

TAP

TAP

Aku mulai menginjak panggung dan berdiri di tengah. Kepalaku masih menunduk. Dalam hati, kuberi aba-aba pada diri ini agar aku bisa merubah wajah mereka semua menjadi tomat, dan berekspresi layaknya orang waras.

Satu.

Dua.

Tiga.

Deg.

Dalam beberapa detik, aku masih menatap depan.

Di pintu masuk ruangan ini, laki-laki itu berdiri sambil terengah-engah. Agaknya dia berlari dari kejauhan. Hatiku tersenyum. Untungnya, aku sudah belajar bagaimana cara agar hati dan mimik wajah bisa berbeda. Kulihat dia juga turut tersenyum ke arahku sambil memegang bucket bunga.

Inilah saatnya.

Pak Regan, Bu Henny.

Lihat aku.

Aku akan menjadi bagian dari pertunjukan tanpa batas.

Di sini.

Hari ini.

Dan suatu saat nanti.

 

 

TAMAT

 

Novianti Sabani

Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?