Majalah Sunday

Perkenalkan, si Segalanya Papa

Hari itu gue sedang duduk di taman belakang rumah. Menikmati hari Sabtuku yang tenang, sambil ditemani susu hangat dan ngga lupa brownies panggang buatan mama. Ketika sedang santai, tidak sengaja gue melihat dari kejauhan ada mama sama papa yang lagi ketawa bareng, entah ngetawain apa. Setiap kali lihat mereka bareng, kadang gue suka iri. Iya iri, iri karena mama bisa dapet papa yang masih tetep bucin di umur pernikahan mereka yang sudah hampir 25 tahun. Bucin yang gue maksud bukan bucin uwu uwu kayak anak jaman sekarang ya, bukan gitu. Yang ini bucinnya sudah kelas expert. 

Bagi papa, mama itu dunianya. Mama itu rumahnya papa. Papa ngga akan segan memberi peringatan buat siapapun yang mengusik rumahnya. Makanya sejak dulu papa selalu ngajarin anak-anaknya untuk ngga pernah ngomong kasar, apalagi pake teriak ke siapapun, terutama mama. 

“Pokoknya kalo papa denger anak papa ngomongnya kasar, teriak terus ngga nurut apa kata mama, mending ngga usah jadi anak papa” begitu katanya dulu. 

Semua keputusan di rumah harus melalui persetujuan mama, baru kalo sudah approved berarti papa juga sama. Sampai-sampai papa ngasih julukan ke mama si Pamajikan. Sebenarnya pamajikan ini sebutan istri dalam bahasa sunda. Cuma karena ada kata ‘majikan’ yang biasanya orang tau sebagai bos yang memegang kuasa, jadilah seakan-akan mama sebagai pemegang kuasa tertinggi di rumah.

Papa mengenal mama dulu adalah seorang wanita karir. Mama bukan tipe perempuan yang bisa ngurusin rumah, masak, hidupnya hanya sibuk kerja, kerja, dan kerja. Maklum mama itu adalah anak sulung, sudah menjadi tanggung jawab dia untuk menafkahi keluarganya apalagi kakek sudah meninggal sejak dia masih SMA. Dulu papa satu kantor sama mama, mereka hanya beda tim, dan sama-sama menjadi leader head.  Mama jadi perempuan satu-satunya yang berhasil punya jabatan tinggi, karena kerja kerasnya.

“Mamamu itu dibilang bos rebel, kerjanya teriak-teriak, tegas, terus paling sebel kalau dipanggil bu.” “Setiap kali dipanggil gitu jawabnya selalu ‘gak usah panggil bu, gue juga disini kerja sama kayak kalian, bedanya Cuma gajinya aja, abis itu ketawa dia”. Karena sikapnya yang baik dan tidak memandang status pekerjaan, semua orang jadi senang banget setiap kali kerja sama mama.  

Sampai suatu hari, ketika mama dan papa lagi dalam satu project kerja, mereka mendapat masalah karena salah satu anggota tim mama, melarikan diri dan membawa uang sponsor yang seharusnya uang itu untuk mendanai acara mereka. Mama disalahin abis-abisan sama petinggi perusahaan, dan ini bagian nyebelinnya, bosnya bilang gini..

“Memang seharusnya dari awal saya ngga pernah mempercayakan kamu jadi leader head, kerja kamu ngga becus! Harusnya kamu di dapur aja, masak, beres-beres rumah, perempuan bukan di sini tempatnya… blablabla” 

Ngga cuma kalian, gue yang terkadang suka mengingat ceritanya aja sebelnya bukan main. Bisa-bisanya dia bilang gitu, padahal selama ini dia sudah susah payah membangun reputasinya. Papa yang saat itu sebagai rekan satu tim, merasa harga dirinya juga diinjak-injak. Papa ngga terima karena nyatanya mama yang sudah banyak andil dalam project itu. 

Singkat cerita, mama berakhir dikeluarin dari tempat kerjanya. Tapi dramanya ngga berhenti disana guys, masih berlanjut. Akhirnya papa dan mama pacaran, tapi hubungan mereka ngga pernah direstuin sama eyang putri. Dengan alasan, eyang putri khawatir karena mama adalah wanita karir, sibuk bekerja, jadi tidak bisa mengurus rumah tangga. Segala cara sudah mama coba buat ambil hati eyang putri, tapi ngga pernah berhasil. Sampai ketika papa akhirnya minta izin untuk menikahi mama, dan eyang putri tetap menolak. 

“Waktu eyangmu marah-marah sama papa, karena ngga boleh nikah sama mamamu tuh, rasanya papa mau minggat aja.” “Eyang tuh ngga pernah tahu apa yang sudah papa lihat dari mama, bahkan lebih hebat dari cita-cita eyang yang pengen punya mantu yang bisa urusin rumah”  lanjutnya.

“Emang apa pah?” tanya gue saat itu.

“Dunia tapi versi sederhana”

Hening…

“Dan mama ngajarin papa untuk menjadi seorang pria” lanjutnya.

“Pria yang bukan hanya ditakdirkan sebagai pria karena kelaminnya, bukan pria yang bisa memberinya hadiah mahal setiap hari, bukan juga pria yang selalu menganggap orang lain dengan sebelah mata. Tapi menjadi pria yang memberikan tangannya ketika melihat seseorang yang kesusahan waktu mau nyebrang lampu merah, pria yang rela batalin semua rencananya ketika tau ibunya atau saudaranya dalam masalah, pria yang menghargai hak orang lain.”

“Mulai saat itu, apapun yang papa lakuin kalau mama sudah bilang ‘jangan’ papa akan berhenti, sampai sekarang,” papa menutup ceritanya dengan senyum hangat sambil melihat ke arah mama. 

 

Mutia Azura Hersta | Politeknik Negeri Media Kreatif

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?