Majalah Sunday

Pengkhianat Ulung

Semenjak kepergian kedua orang tuaku, hari demi hari kulalui dengan penuh nestapa. Entah berapa cawan air mata yang sudah kuhasilkan, barangkali cukup untuk menenggelamkan gedung pencakar langit dalam sekali siraman. Saat air itu melintas di sudut bibirku, hanya pahit yang terasa.

“Yura, bisa kau ambilkan botol kaca kosong di gudang bawah? Daripada bosan, mending kita main truth or dare.” Kami pikir, ide Randi bukanlah ide yang buruk. Tanpa berpikir panjang, Yura segera melangkahkan kakinya menyusuri anak tangga untuk mengambil barang incaran kami di gudang bawah tanah.

“Ambil penjepit jemuran, Dit. Tuh ada di dalam lemari samping mesin cuci.” Lagi-lagi, Randi memerintah.

Aku pun tak luput dari incarannya. Benar saja dugaanku, beberapa detik kemudian Randi memberikanku tugas untuk memesan makanan melalui aplikasi ojek online. Di satu sisi, sikap Randi membuatku jengkel. Namun di sisi lain, aku tak ingin menghancurkan deretan rencana yang telah kami rancang bersama.

Kulihat, pasukan berhasil menyelesaikan misinya masing-masing. Yura membawa botol di tangan kanannya, Adit menggenggam toples berisikan penjepit jemuran, dan aku yang masih harus memantau pergerakan sang pengantar makanan.

“Khusus kamu Put, tolong bantu aku. Tubuhku melemas, butuh suntikan energi dari raut senyummu. Ragaku menggigil, butuh tatapan hangat dari kedua bola mata indahmu. Kau bersedia?” Celoteh Randi. Ia memperlakukan Putri layaknya tuan putri, berbanding terbalik dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Kami bernasib malang, menjadi korban perbudakan yang dilakukan oleh sahabatnya sendiri.

 

***

Kami duduk melingkar di gazebo taman belakang rumah Randi. Semilir angin malam begitu terasa, hembusan gagahnya membuat untaian dedaunan menari kekiri dan kekanan. Bulan sedang memamerkan sinarnya. Bintang masih berada di sisinya. Yah, walau hanya terlihat dua atau tiga saja. Gemerlap cahayanya tanpa lelah menemani kami, yang asyik memutarkan botol kaca sebagai penentu siapa yang akan menjadi korban truth or dare berikutnya.

“Kena kau, Ghina!” Ujung botol mengarah ke diriku. Tak ada waktu untuk menghindar. Ikuti alur permainannya, atau mereka akan melabeliku sebagai seorang pecundang. “Truth” ungkapku. Kali ini, aku membiarkan mereka mengetahui apa yang ingin mereka ketahui. Biar saja. Daripada aku harus menuruti tantangan tak logis ciptaan mereka.

“Di antara kita, siapa yang paling kamu benci?” Ucap Randi.

“Putri.” Jawabku singkat.

Semua mata kompak menyergap indra penglihatanku. Kawanan insan sempat mematung selama beberapa detik. Mungkin, mereka merasa heran dengan jawaban dari mulutku. “Kau ingat? Pada minggu pagi, saat usiamu tujuh tahun. Putri kecil pernah merengek minta harmonika milikku. Benda mungil itu adalah pemberian terakhir dari kedua orang tuaku. Kau merebutnya sekuat tenaga, hingga membenturkannya ke pohon beringin kokoh yang menjulang tinggi. Berkatmu, saat itu harmonika dan hati pemiliknya sudah remuk berkeping-keping.” Lanjutku.

Putri hanya terdiam, tak merespon sepatah kata pun. Maafkan aku, Put. Aku membuka luka lama yang tak pernah mengering. Luka itu selalu dipupuk dengan air garam. Bukan keinginanku, tapi kaulah yang menumpahkan air itu ke sekujur tubuhku. Setiap hari, setiap saat aku mengingat perbuatan kejimu itu.

Kedua orang tuaku dan Putri lebih dulu menjalin persahabatan, selanjutnya ikatan itu diwariskan ke kami, anaknya. Mah, Pah… Aku lebih rela melihat kalian bersahabat dengan kera, dibanding dengan keluarga yang memiliki anak berhati serigala. Hingga kini, tubuhku selalu ia gerogoti. Aku dijadikan menu utama santapannya. Taringnya tajam. Ketika bersentuhan dengan kulit, luka akan menganga tanpa bisa rapat lagi.

Botol kembali diputar. Randi menjadi korban berikutnya. Ia memilih tantangan, ia harus merelakan hidung serta telinganya dicapit oleh penjepit jemuran selama lima menit. Permainan terus berlangsung, satu persatu pemain mendapatkan gilirannya.

“Sebelum permainan berakhir, izinkan aku untuk mengungkapkan sepatah kata untuk kalian. Awan identik dengan warnanya yang putih bersih. Keindahannya sanggup memanjakan mata, banyak orang terlena dibuatnya. Tapi, awan tak selalu menampilkan keelokannya. Bukankah kumulonimbus juga bagian darinya?” Ucap Putri.

Kami masih belum mengetahui apa maksud perkataannya.

“Maafkan jika hadirku menggoreskan kesusahan. Bimbing aku, agar memberikan kedamaian bagi kalian. Terima kasih sudah menemani, hingga sejauh ini. Aku sayang kamu Ghin, Yur, Ran, Dit.” Wajah Putri sangatlah teduh. Benar kata Randi, bola mata Putri begitu hangat. Bahkan, sanggup melelehkan hatiku yang sempat membeku bak dilapisi es dari kutub utara. Kami semua berpelukan. Ahh, nyaman sekali rasanya.

Tuhan ingin menunjukkan kepadaku bahwa rasa cinta masih tersisa. Sepertinya, aku harus mencabut jarum yang menancap di hatiku selama belasan tahun. Aku ingin membiarkan diriku merasakan indahnya hidup. Aku ingin telingaku tuli akan suara kebencian, supaya yang terdengar hanyalah kicauan burung penghasil melodi penggugah sanubari. Ya, mulai hari ini.

Ring…Ring…Ring…

Ponselku membunyikan suara panggilan masuk. Ternyata orang yang kami nantikan, siapa lagi kalau bukan sang pengantar makanan. Aku segera menjemput kepiting saus padang pesanan kami di gerbang utama. Setelah itu, aku berinisiatif untuk menyajikannya ke piring terlebih dahulu. Kubuatkan sirup berwarna merah menyala. Kutata rapi di atas meja makan. “Sempurna” kataku.

Aku memutuskan untuk ke toilet sebentar, untuk merapikan kemeja yang kupakai. Sepuluh menit berlalu, kulihat Randi sudah ada di ruang makan, sendirian. Tingkahnya aneh, tapi tidak kuhiraukan. Tak berselang lama, Yura, Adit, dan Putri menghampiri kami. Ralat, lebih tepatnya menghampiri kepiting saus padang yang sedari tadi menjerit-jerit minta dimakan. Ekspresi garang terpapar dari wajah mereka, layaknya manusia yang lambungnya belum diisi selama empat dekade. Dengan lahap, semua makanan dihabisi tanpa tersisa.

 

Gubrak…

Putri terjatuh dari singgasananya. Matanya terbelalak, kesadarannya diambang batas. Kami semua panik. Bukannya menelpon ambulans, mereka malah menatapku dengan penuh kecurigaan.

“Apa yang kau taruh di sajian itu?!” Randi menuduhku. Aku tak menaruh apapun di dalamnya. Sungguh. Yang aku ingat, aku menaburinya dengan ketulusan. Apa aku salah? Apa kasih yang kuberi, justru menjadi racun paling mematikan bagi sahabatnya sendiri? Apakah begini cara kerjanya? Perlahan mencabik kerongkongan, lalu nyawanya hilang berlarian.

“Racun sudah mengendap dalam diri kita. Kita hanya tinggal menunggu giliran, untuk mati.” Adit ketakutan.

“Ghina, apa perihal harmonika membuatmu rela mempertemukan kita dengan ajal secepat ini?” Yura tak mau kalah, ia turut menuduhku.

Tak lama, Yura nampak akan menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian disusul oleh Adit. Mereka tergeletak tanpa nyawa. Kini yang tersisa, hanya aku dan… Randi.

 

Randi tertawa memecah kesunyian. “Kau masih ingin bermain truth or dare, Ghin? Sejak awal permainan, aku selalu memilih tantangan ketimbang kejujuran. Kali ini, kau kuberi satu kesempatan untuk bertanya. Karena kutahu, di otakmu sudah ada sejuta pertanyaan, bukan?” Ia tersenyum puas di hadapan jasad para sahabatnya, miris.

Dadaku nyeri, aku hampir tak bisa merasakan oksigen di ruangan ini. Randi membelai rambutku. Senyum licik itu, tak pernah meninggalkan wajahnya. “Kuharap Putri tak merasa kesepian. Untuk menemani jasadnya, kupersembahkan pula jasad para sahabatnya di satu liang lahat yang sama. Itulah bukti bahwa aku sangat mencintainya. Andai Putri tak menolak cintaku, mungkin gunung emas akan kuberi. Namun kini, kurasa peti mati sudah cukup baginya.”

Hanya itu yang bisa kudengar. Dadaku kian sesak, seperti dihantam batu berpuluh-puluh kilogram. “Selamat tinggal, sahabatku.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar, sebelum akhirnya aku terpejam untuk selamanya.

 

Oleh: Nelin Novalin, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?