Penulis: Keira Santoso – SISNEJ
Indonesia baru-baru ini diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar-besaran yang menyoroti berbagai isu sosial dan politik. Peristiwa ini tidak hanya berdampak pada situasi keamanan dan politik, tetapi juga kesehatan mental masyarakat, terutama remaja yang sangat terhubung dengan media sosial. Di tengah banjir berita, baik yang faktual maupun disinformasi, banyak remaja merasa cemas, takut, dan bahkan kehilangan rasa aman.
Masa remaja merupakan fase krusial dalam pembentukan identitas, emosi, dan pandangan hidup. Ketika negara tidak stabil, banyak remaja mengalami gangguan tidur, penurunan motivasi belajar, dan kecemasan berlebihan tentang masa depan. Beberapa bahkan menjadi apatis, merasa tidak ada harapan bagi bangsa. Situasi ini menunjukkan betapa rentannya kesehatan mental remaja terhadap dinamika sosial-politik yang mereka hadapi melalui perangkat seluler. Sebagai seorang siswa yang masih beradaptasi dengan kehidupan sebagai siswa kelas tiga SMA, berita tersebut membuat saya sangat ketakutan hingga terjaga di malam hari karena mengkhawatirkan diri sendiri dan orang lain di sekitar saya.
Berita tentang pemaksaan sering kali memuat adegan kekerasan, pemaparan, dan bahkan hilangnya nyawa. Paparan yang berkelanjutan dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan trauma sekunder, meskipun remaja tersebut tidak terlibat langsung. Fenomena doomscrolling (kebiasaan mengonsumsi berita negatif tanpa henti) dapat semakin memperburuk kondisi ini karena algoritma media sosial cenderung menampilkan konten serupa secara berulang dan dramatis.
Menghadapi banjir informasi, remaja perlu mengembangkan literasi digital: kemampuan memilah informasi yang kredibel dan menolak berita yang hanya menimbulkan rasa takut. Di sisi lain, penting juga untuk menerapkan strategi penanganan emosi yang sehat, seperti:
Dengan langkah-langkah sederhana ini, remaja dapat menjaga keseimbangan psikologis bahkan di tengah derasnya berita.
Remaja tidak hanya menjadi penonton dari kondisi negara. Mereka bisa ikut berperan aktif dengan cara yang sehat dan produktif, seperti menulis opini di media sekolah, ikut diskusi positif di komunitas, atau mendukung gerakan sosial yang membangun. Dengan begitu, keterlibatan mereka tidak lagi didorong oleh kecemasan, melainkan oleh semangat kritis yang sehat.
Paparan berita tentang kondisi negara pasca demonstrasi memang dapat memberi dampak signifikan terhadap kesehatan mental remaja Indonesia. Namun, dengan kesadaran akan risiko tersebut, remaja bisa belajar mengelola konsumsi berita secara bijak, menjaga kesehatan mental, serta tetap peduli terhadap bangsa. Inilah saatnya generasi muda Indonesia melatih literasi digital, membangun resiliensi mental, dan mengambil peran sebagai kelompok yang kritis sekaligus sehat secara emosional.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.