Belakangan minat untuk menjadi dokter hewan makin naik trennya. Dulu 2005 belum banyak yang minat jadi dokter hewan, tapi belakangan ini ada saja klien yang bawa anaknya, masih usia-usia SMP dan dia sharing kalau anaknya mau menjadi dokter hewan. Kuliah kedokteran itu lama, lho, setidaknya 6 tahun- 4 tahun pertama kuliah dan 2 tahun ko-as.
Dari kecil aku suka hewan, dan di rumah banyak pelihara macam-macam- anjing, ikan, kelinci, kura-kura…tapi di antara semuanya aku paling suka anjing. Tahu nggak, anjing yang khas Indonesia itu anjing Kintamani, sisanya kita masih import dan nggak semua jenis masuk Indonesia. Anjing yang bulunya panjang-panjang banget biasanya nggak masuk.
Satu anjing saja. Soalnya sebagai dokter klinik hewan, aku liburnya kan nggak pasti. Di klinik kita harus stand by gantian, Sabtu-Minggu juga harus ada yang jaga soalnya ini kan menyangkut nyawa, nggak bisa kita tinggal-tinggal. Banyak klien yang menganggap hewannya sudah seperti anak sendiri, saat meninggal mereka nangis dan beliin peti mati lengkap dengan nisan yang cantik.
Kuburan hewan adanya di Jakarta Selatan- itu pun menurut info yang beredar, sudah mulai penuh dan akan diperluas. Di sini kami adanya fasilitas kremasi, kami bisa berikan abunya. Kalau nggak mau, abunya kami kubur. Untuk hewan yang meninggal karena virus sih kami sarankan dibakar, karena kalau kubur saja kan virusnya masih ada di lingkungan.
Kalau hewan sudah sangat menderita, kami dalam kedokteran hewan diijinkan suntik mati. Tentunya dengan beberapa syarat ya: hewan sudah tidak mau makan, sudah sangat kurus, jantung bermasalah, napas ngos-ngosan…baru boleh euthanasia. Cuma kalau masih sehat, cuma karena alasan ‘galak’, itu kami nggak mau melakukannya. Kecuali hewan tersebut sudah mematikan manusia, karena rabies misalnya.
Kita harus peduli, nggak harus sayang banget. Kadang kalau terlalu sayang kita jadi terlalu involved dan nggak bisa melakukan apa-apa karena stres sendiri. Saya ada tuh, teman yang selalu panik kalau melihat anjing/kucing yang berdarah-darah banyak.
Kedua, kita harus dari jurusan IPA dan mau tahan sekolah cukup lama, 6 tahun, dengan textbook tebel-tebel dan buanyaak. Harus berani lihat darah karena kita akan melakukan operasi, dll. Di kampus, mayoritas kita belajar anjing, kucing, sapi dan kuda. Pada tahap ko-as baru fokus kita mau ke mana: satwa liar (kerja di kebun binatang), klinik (pets) atau masuk peternakan.
Menurut aku potensial karena sekarang ini, terutama di Jakarta, orang kehidupannya sudah mulai bagus dari segi ekonomi, sehingga makin banyak orang yang memelihara hewan. Grafik pasien di sini dari tahun ke tahun meningkat dan di Jakarta Utara sendiri, banyak petshop, salon, dokter hewan, dll.
Jujur dari segi income mungkin tidak sebagus menjadi dokter manusia, tapi dengan biaya kuliah yang juga 10 kali lipat lebih murah dari dokter umum…ya, sepadan lah.
Suka ada yang bilang: ‘Kenapa nggak jadi dokter orang saja?’ Tapi kalau mereka yang pernah kuliah di luar negeri, mereka tahu kalau di sana menjadi dokter klinik hewan itu lebih sulit masuknya daripada dokter umum. Aku pernah magang di Amerika sebulan, dan teman di sana sharing kalau memang masuk Vet School itu lebih sulit dari kedokteran manusia. Penyakit hewan itu lebih banyak jenisnya dari manusia. Manusia itu kan hanya 1 spesies, tetap hewan kan banyak. Penyakit anjing itu A, kucing bedanya lagi! Kita juga harus menguasai cara gimana agar hewan bisa dipegang dan disuntik tapi ia mengigit balik.
Baca interview seru mengenai pengalaman drh. Putri dengan para pasiennya di Sunday edisi Juli 2013
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.