Hai, Kamu! Jika Kamu membaca ini, aku hanya ingin mengatakan, “Rinduku sudah melebihi batas kemampuanku.”
Aku ingat, pertama kali semesta mempertemukan kita. Ah, lucu sekali. Menggemaskan. Dan, konyol menurutku. Dulu, anak seusia kita bisa apa, sih? Hanya tahu bermain, bermain, lalu tertawa sepuasnya, tanpa beban. Benar begitu? Pertemuan yang memang sudah diatur semesta, untuk kita yang masih belum mengerti akan sebuah pertemuan yang memang akan menuju pada sebuah perpisahan. Dulu, aku masih belum mengerti apa artinya rasa itu, ketika ada debaran di dada yang begitu kencang, hingga membuat bibirku ikut tertarik sangat lebar. Sungguh amat menyenangkan. Tawamu selalu membuatku tanpa sadar ikut tertawa. Tapi, perpisahan akan selalu ada. Namun, lagi-lagi aku masih belum mengerti kala itu, apa arti sebuah perpisahan.
“Kamu suka cokelatnya?”
Dari sekian banyak percakapan yang kita lalui kala itu, aku hanya ingat tentang cokelat yang kamu makan. Cokelat yang dibeli seorang anak kecil dengan uang saku tak seberapa. Cokelat yang dibeli dengan uang logam yang jika dimasukkan ke dalam kantung, akan menimbulkan suara berisik ketika kedua kaki itu dipakai untuk berlari, atau bahkan hanya untuk berjalan. Tapi, sepasang anak kecil itu tertawa. Bahagia dengan hal sederhana.
Waktu berjalan begitu cepat. Hari, minggu, bulan, bahkan tahun telah berlalu. Aku melupakanmu. Semesta bekerjasama dengan waktu untuk menguburmu jauh hingga ada pada bagian paling dasar ingatanku. Aku bertemu hal baru, suasana baru, dan tentunya orang-orang baru, yang memenuhi kepalaku di ingatan paling atas. Tapi, entah bagaimana cara kerja semesta dengan waktu yang tak pernah terduga. Bagian paling dasar ingatanku naik dengan sangat cepat ke bagian paling atas, menekan habis penghuni sebelumnya yang menetap di sana. Hingga akhirnya, kamu kembali. Kembali hanya pada ingatanku. Bukan untuk aku tatap. Melainkan hanya untuk aku ingat bayangannya. Kenangannya.
Aku mencoba untuk menyingkirkan kamu dari sana. Dari dalam ingatanku. Tapi, tidak bisa. Atau aku tidak mau? Ah, sepertinya belum mau. Aku belum rela. Maka, mulai saat itu, aku memutuskan untuk menemuimu. Menanyakan kabarmu. Bertukar pesan. Hingga tanpa sadar memberikan seperempat hatiku untukmu. Aku belum sadar kala itu. Ah, bukan. Aku hanya menyangkalnya. Berpura-pura tidak sadar, agar aku masih bisa berada di sana. Menatapmu. Menatap bayanganmu.
Hingga akhirnya, bukan lagi seperempat hatiku yang kuberi. Melainkan setengah hatiku sudah berada di sana. Aku menyadarinya kala itu. Namun, aku masih belum mau berbalik arah. Aku dengan sadar menghancurkan hatiku sendiri, berjalan ke arahmu, tanpa tahu jika di sana, pintu itu tidak akan terbuka jika ternyata yang datang adalah aku. Mungkin pintu itu akan terbuka, jika bukan aku yang datang?
“Apa kamu memberikan aku kesempatan?”
Kala itu aku bertanya, mencoba peruntungan terakhirku, sebelum aku benar-benar melepaskan setengah hatiku, untukmu.
Tapi, kamu hanya diam. Tak ada balasan apa pun yang keluar dari mulutmu.
Apa artinya kamu tidak memberiku kesempatan, walau hanya setetes air yang turun dari daun, sisa hujan semalaman? Itu artinya, aku harus berbalik arah, bukan? Aku harus merelakan setengah hatiku pergi dibawa hembusan angin perpisahan, lagi? Perpisahan yang kini aku tahu artinya apa. Perpisahan sebelum bertemu?
Setelah perpisahan itu, lagi, aku hanya bisa melihatmu di alam bawah sadarku, ketika mataku terpejam, ragaku tak bergerak, jiwaku berkelana mencarimu. Aku melihatmu tersenyum, bahkan tertawa di sana. Seperti keinginanku, aku melihatmu, tanpa kamu tahu jika aku ada di sana, mengamatimu, dengan rindu yang tak lagi bisa kusebut rindu, karena kurasa rindu tak mungkin begitu sesak seperti ini, hingga rasanya bernapas pun sulit, mulutku terkunci, hatiku terjepit, mataku tak berhenti mengeluarkan air dengan deras. “Kamu baik-baik saja ternyata. Aku senang. Sungguh.”
“Kapan kita bisa bertemu lagi?”
“Harus berapa banyak waktu terlewati, agar aku bisa menatap wajahmu lagi?”
“Harus berapa banyak mimpi yang kuselami, agar aku bisa mendengar suara tawamu lagi?”
“Harus berapa kali lagi aku memohon pada langit, agar mempertemukan kita kembali?”
“Apakah aku harus menaruh kamu di ingatan paling dasar lagi, agar semesta dan waktu bisa memberiku kejutan, dengan membawamu ke hadapanku?”
“Atau, aku harus terus memejamkan mata, agar selalu bisa bertemu denganmu?”
Terima kasih sudah hadir.
Semoga di lain waktu, hadirmu bisa kurasakan dengan permukaan kulitku. Bukan lagi dengan bayanganmu. Bukan lagi ketika mataku terpejam, ragaku tak bergerak, dan jiwaku berkelana. Tapi ketika jiwa dan ragaku merasakan secara bersama-sama, jika kamu memang nyata, bukan hanya nyala diingatkan, lalu perlahan redup dari pandangan.
Inspired by Feby Putri – Halu
Puja Sindia
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta