Penulis: Raisha Putri Ramdhani – Universitas Negeri Jakarta
Tanah Jawa memang selalu menyimpan mitos-mitos yang menarik untuk dikulik, tapi kamu pernah dengar istilah “bahu laweyan”? Nah, mitos kali ini datang dari seorang perempuan yang dipercaya membawa sial atau disebut dengan “bahu laweyan”. Konon, jika perempuan bahu laweyan menikah, maka hidup laki-laki itu akan berakhir. Walaupun kebenaran mitos ini masih dipertanyakan, tetapi mitos ini telah tertulis dalam naskah kuno di abad 19 tahun lalu, loh!
Lalu, bagaimana awal kisah adanya mitos bahu laweyan? Adakah ciri-ciri tertentu perempuan yang memiliki bahu laweyan?
Dalam sebuah artikel berjudul “The Bahu Laweyan Legend in Photographic Work” yang ditulis oleh Rahdan Hutama Putra dan Handriyotopo (2022) disebutkan bahwa sekitar tahun 1800-an, seorang Raja Keraton Hadiningrat, yaitu Pakubuwono II meminta seorang perempuan pengrajin batik dari Laweyan untuk meminjamkan kuda yang akan digunakan perang dan meminta perempuan itu untuk tinggal di sekitar kerajaan. Namun sayangnya, perempuan itu menolak dan membuat sang raja membenci perempuan itu, bahkan juga berimbas ke semua perempuan di tanah Laweyan. Tak hanya itu, sang raja mengucapkan sumpah serapah bahwa perempuan Laweyan merupakan tanda suatu petaka yang akan merasakan sakit lahir dan batin. Jika perempuan Laweyan menikah, maka dipastikan suaminya akan meninggal dan kutukan itu akan hilang setelah perempuan itu menikah sampai tujuh kali.
Cerita bahu laweyan ternyata juga tercatat dalam Serat Witaradaya yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga besar di tanah Jawa. Dalam naskah kuno tersebut, disebutkan bahwa pada tahun 919 Candrasangkala, Dewi Citrasari, seorang putri Sri Ajipamasa mengalami sakit sampai ia tidak bisa berbicara. Sejak lahir sang putri memang sudah bernasib buruk, tetapi baru kali ini penyakitnya parah sampai ia meronta kesakitan. Segala macam obat sudah dicoba, tetapi semuanya nihil. Akhirnya, Sri Ajipamasa meminta bantuan kakaknya, yaitu Gandarwaraja. Ia memberikan solusi bahwa sang putri harus diberikan batu mulia Trikaya yang sudah dikulum oleh seseorang berlidah warna merah kehitaman serta putih di ujungnya. Setelah menemukan orang tersebut, sang putri pun dapat berbicara kembali, tetapi muncul bayangan raksasa yang memiliki tabiat buruk dan menginginkan setiap jiwa yang berusaha mendekati inangnya. Akhirnya, sang putri pun diruwat oleh para patih untuk terlepas dari raksasa itu.
Tak lama dari kejadian sang putri, Sri Ajipamasa mendapat petunjuk bahwa masih terdapat 68 wanita yang memiliki nasib buruk seperti putrinya. Wanita-wanita itu kebanyakan masih usia anak-anak. Di sekitar tubuh mereka, terdapat aura merah yang berniat jahat bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Dalam upaya menghilangkan nasib buruk itu, Sri Ajipamasa meminta para patihnya untuk mencari dan meruwat 68 wanita tersebut. Saat ini, Serat Witaradaya tersimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta.
Perempuan yang dianggap sebagai bahu laweyan memiliki tanda di beberapa bagian tubuhnya berdasarkan kepercayaan yang beredar di masyarakat.
Perempuan bahu laweyan dipercaya memiliki tanda lahir seukuran koin logam yang dihuni makhluk halus berukuran raksasa berjenis ular yang selalu mengelilingi tangannya.
Perempuan bahu laweyan dikatakan memiliki dua lingkaran di pantat kiri dan kanannya, yang disebut dengan pantat sujen. Lingkaran ini dipercaya sebagai warisan mistis.
Tompel di atas kemaluan perempuan bahu laweyan, dipercaya sebagai energi mistis yang melekat pada perempuan bahu laweyan.
Mitos bahu laweyan diadaptasi menjadi sebuah film berjudul Perempuan Pembawa Sial. Film ini berdurasi 1 jam 37 menit yang sudah tayang di bioskop pada 18 September 2025 dengan disutradai oleh Fajar Nugros dan diproduksi oleh IDN Pictures.
Dilansir dalam situs kapanlagi.com film Perempuan Pembawa Sial menceritakan seorang perempuan bernama Mirah (Raihaanun) yang bernasib buruk. Ia dianggap sebagai perempuan pembawa sial oleh warga kampung, setiap laki-laki yang bersetubuh dengannya pasti hidupnya akan berakhir. Di balik kesialan yang menimpanya, ia meyakini bahwa nasib buruk dirinya merupakan kiriman dari seseorang yang menyimpan dendam. Di tengah mencari jawaban atas pertanyaannya, Mirah bertemu Bana (Morgan Oey), seorang pemilik warung makan yang menganggap Mirah sebagai perempuan biasa. Dari situlah kisah cinta mereka dimulai. Namun, di saat yang bersamaan, Mirah menyadari bahwa kutukan itu berasal dari saudara tirinya, Puti (Clara Bernadeth). Mirah pun berencana membalaskan dendamnya pada Puti dengan membunuh suaminya.
Film Perempuan Bahu Laweyan turut menghadirkan Didik Nini Thowok, seorang penari legendaris asal Jawa Tengah. Kehadirannya semakin menambah aura magis dan kekentalan mitos Jawa dalam film ini.
*****
Mitos bahu laweyan lahir dari cerita yang tersimpan berabad-abad lalu. Namun, jejaknya masih terus hidup sampai saat ini, bahkan menjadi inspirasi dalam pembuatan film. Terlepas dari benar tidaknya mitos itu, bahu laweyan tak hanya sekadar cerita turun-temurun, tetapi bagian dari budaya Jawa yang terus diwariskan dan mengakar dalam kehidupan.
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.