Majalah Sunday

Menanti Kemukus Biru

 

Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta

Cakrawala tak henti-hentinya dipandang oleh Andra. Telah muncul lipatan di kantung matanya, tanda bahwa ia tak seharusnya bergadang. Bagi orang awam, mungkin yang dilakukan Andra akan tampak seperti ia sedang tercenung. Mungkin juga tak ada orang yang menyaksikan Andra dengan sibuk membuka catatannya, beralih ke laptopnya, kemudian beralih lagi untuk berdiri memegang teleskop yang berdiri tegak di sampingnya. Bulu kuduknya meremang karena angin malam, gendang telinganya hanya menangkap suara kucing melengking yang sedang adu kejantanan, dan cakrawala yang tersaji di depannya hanyalah berupa kanvas obsidian dengan hamparan gemintang yang nun jauhnya.

Sepertiga malam membumbung, menemani Andra yang seharusnya terlelap di samping Madia. Andra ingat, cuaca sedang baik kepadanya. Jadi, ia dengan senyap-senyap turun dari ranjang dan beringsut menuju balkon rumah yang berhadapan langsung dengan kamarnya. Untungnya pula, Madia sedang tertidur membelakangi pintu balkon, jadi Andra tidak perlu cemas-cemas hati kala menyiapkan teleskopnya.

Suasana malam dari balkon rumah Andra dan Madia.

Setelah semuanya siap, ia mengangkat kursi dan duduk perlahan di atasnya. Dalam relung hatinya ia pikirkan kemungkinan saat Madia terbangun dan mendapati Andra yang sedang terjaga di balkon. Madia mungkin akan mengomelinya dan menyita teleskopnya selama tiga hari, atau mungkin lebih lama dari biasanya. Seakan-akan tidak ada yang bisa menghentikan Andra dari meneropong langit lepas.

Bintang terlihat saat matahari terbenam sebelumnya, lantas Andra yakin kalau polusi cahaya dan udara sedang minim. Benar adanya, malam kali ini memberikan atraksi yang melebihi ekspektasi. Andra bisa melihat dengan mata telanjang bintang-bintang yang bertengger di cakrawala malam. Akan tetapi, untuk mengetahui jenis bintang tersebut secara detail, Andra harus menelisiknya melalui lensa dari teleskop yang telah bersamanya selama 10 tahun. Sepuluh tahun pula ulang tahun pernikahan Andra dan Madia, tetapi mereka belum kunjung dikaruniai buah hati. Menurut Andra, hanya bintang-bintang yang terlihat di balik teleskop yang mampu menghibur hati. Tidak benar-benar mengobati, tetapi sekadar memberikan kebahagiaan temporer.

Di masa-masa seperti demikian, Andra juga tetap akan memikirkan perasaan Madia tercintanya. Itulah alasannya, berkali-kali sebenarnya Andra mengajak Madia untuk turut melihat bintang dengan lebih jelas melalui teleskop. Akan tetapi, setiap kali menerima ajakan itu, Madia hanya berucap, “Jadi aku harus terus nunggu, ya?”

Perasaan tak cukup dan penuh luka memenuhi hati Madia, dan Andra tahu itu. Madia merasa tidak bisa menjadi tulang rusuk yang menyempurnakan diri Andra. Mereka juga sudah berkonsultasi dengan yang ahli, tetapi selalu tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti. Andra sendiri sudah berdamai dengan keadaan itu. Memiliki buah hati ialah anugerah Tuhan, dan tak punya buah hati pun seharusnya tak jadi masalah.

Kini Andra mengulang malam-malam yang sama. Ia arahkan matanya pada lensa teleskop. Rupanya, lensa itu sukses menangkap pendar cahaya dari sabuk orion. Andra ingat di luar kepala bahwa sabuk orion adalah istilah untuk tiga bintang yang selalu berada bersamaan: alnilam, alnitak, dan mintaka. Senangnya bukan main! Karenanya, Andra berteriak tanpa suara sebelum akhirnya beranjak mengambil ponsel pintarnya yang berdiam di atas nakas. Ia berjinjit agar langkahnya tak terdengar oleh Madia. 

Belum sempat tangannya meraih ponselnya, tetiba Madia bangun dengan tangan yang menutupi mulutnya dan tangan yang satu lagi memegang perut. Ia langsung beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Andra membulatkan matanya, khawatir karena takut Madia memarahinya dan takut jika Madia terjangkit sakit. Terdengar suara Madia yang sedang muntah berkali-kali dari kamar mandi. Setelahnya Andra tak mendengar apa pun, tetapi lekas Andra mencoba untuk menghampiri Madia. 

AAAAAAAA!” Teriakan Madia menggema langit-langit kamar mandi. Buru-buru Andra berlari dan mendorong pintunya, menampakkan Madia yang tengah terkejut riang. Ternyata di tangannya ia sudah siap dengan alat tes kehamilan. “Itu positif,” batin Andra.

Andra dan Madia beradu pandang sejenak, kemudian mereka langsung merangkul satu sama lain. Pelukan keduanya menghangatkan tubuh masing-masing meski angin malam masuk sebebas-bebasnya melalui pintu balkon. Menyadari hawa itu, Madia melepas pelukannya pada tengkuk Andra. 

“Ck, nggak kapok-kapok kamu, ya?!”

“Hehehe, aku cuma gabut,” tukas Andra beralasan. 

“Udah sekarang masukin, tuh, teleskop kamu. Dingin tau, nggak?”

Kali ini bukan masalah besar bagi Andra kalau teleskopnya disita oleh Madia. Jangankan tiga hari atau sebulan, sembilan bulan pun Andra akan menghadapinya, sebab sekarang ada bintang lain di keluarga mereka. Andra masih bisa melihat bintang ketika jam malam belum sampai atau ketika fajar belum sepenuhnya pergi. Dengan begitu, ia tak akan bergadang, tetapi tetap mampu mengejar pemandangan langit malam bagaimana pun bentuknya. Kalau teleskopnya masih dilarang oleh Madia, ia juga masih bisa menggunakan lensa kamera ponselnya meski prosesnya lebih sulit jika tanpa teleskop. 

Tiga bulan, empat bulan, hingga lima bulan, Andra dan Madia sama-sama menantikan buah hati mereka. Kadang Andra kewalahan dengan Madia yang memiliki suasana hati tak stabil. Namun, itu bukan masalah, menjadi seorang ibu yang harus mengandung memang bukan tugas yang mudah. Andra telah memasang badan untuk menjaga Madia kapan pun dan di mana pun. Andra sampai menanyai rekan sejawatnya yang telah memiliki anak. Kadang kala, istri mereka katanya sering mengidam yang macam-macam. 

“Waktu itu, istri gua ngidam mau makan cilok, tapi yang nyuapin penjualnya!”

“Lah lu, mah, masih mending. Lah, istri gua ngidam mau naik becak tapi dia yang jadi sopirnya.”

Sebagai desainer grafis yang hanya bekerja dari rumah dan hanya sesekali pergi ke kantor, Andra bisa memastikan permintaan Madia langsung terkabul. Akan tetapi, sampai kehamilan Madia yang berusia enam bulan, Andra tidak mendapati kecintaannya itu mengidam sedikit pun. Terakhir kali Andra bertanya, Madia tidak tahu hal yang benar-benar diinginkannya. 

Andra pernah bertanya langsung pada Madia. “Kamu nggak kepengin ngidam apa gitu?”

“Apa, ya …. Aku belum kepikiran kayaknya,” balas Madia. Kala itu, Madia sedang memangkas dedaunan yang layu di pekarangan rumahnya. 

“Ya sudah, deh. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aku.”

“Iyaaa. Eh, aku kepengin ke toko rotiku, deh, Ndra. Mau ngecek persediaan barang karena udah lama nggak ke sana.”

Andra yang mendengar permintaan Madia segera memasang raut antusias wajahnya. Namun, rautnya perlahan berubah kala ia sadar itu bukanlah hal “mengidam” aneh-aneh seperti yang ia dengar dari rekan kerjanya. Hal yang diinginkan Madia lebih seperti hal yang masuk akal untuk dipikirkan siapa pun. 

Dua bulan berlalu sebelum 1 bulan menuju kelahiran buah hati Andra dan Madia. Andra dan Madia terus dengan sabar menanti entah laki-laki atau perempuan. Saking semangatnya, di beberapa malam Andra tidak mampu untuk terlelap dalam malam-malamnya. Ia akhirnya berjalan-jalan di balkon. Kalau tampak Madia sama sekali tidak memungkinkan untuk tiba-tiba terbangun, maka Andra akan mengambil teleskopnya dan kembali melihat bintang seperti biasa. Sampai ia mengantuk atau sampai malam perlahan pudar temaramnya. Sementara itu, Madia justru lebih tenang. Ia menanamkan pikiran positif bahwa agar anaknya bahagia, maka ia harus juga bahagia tanpa berpikiran negatif. 

Pagi itu, Andra sama sekali tak bisa tidur. Masih ada sebulan, tetapi ia malah sibuk memikirkan nama untuk anaknya nanti setelah mengingat bahwa bintang-bintang yang ada pada malam hari juga memiliki namanya masing-masing. Di pagi itu juga, baik Andra maupun Madia sama sekali tak menduga mereka akan melalui sebuah rintangan yang sebelumnya mereka tak pernah bayangkan akan mereka lewati. 

Madia mengaduh kesakitan di perutnya saat ia tengah menyapu lantai. Karena Madia tak bisa menjawab kemungkinan terkecil yang ia ketahui menjadi penyebab perutnya sakit, Andra langsung membawanya ke rumah sakit terdekat menggunakan taksi. Di rumah sakit, Andra baru memahami rasa sakit yang dirasakan Madia. Madia mengalami kontraksi dan harus segera melahirkan bayi prematur. Hal itu baru didengarnya dari para perawat dan dokter yang saling berbicara di dalam ruangan. Ia mempersiapkan kemungkinan yang tak bisa dilampaui oleh pikirannya. Berkali-kali langkahnya penuh kekhawatiran dan peluhnya membasahi seluruh sisi tengkuknya. 

Salah seorang perawat mencari Andra dan langsung menjelaskan situasinya. “Kondisi Bu Madia tidak memungkinkan untuk kami menyelamatkan ibu dan bayinya. Bapak harus memilih.”

Bagi Andra, itu adalah hari terberat dalam hidupnya setelah kematian ayahnya ketika ia berumur 16 tahun. Andra butuh waktu. Setelahnya selama kurun waktu 15 menit lamanya, Andra berbicara kepada sang perawat. Kini, air yang membasahi tangannya berganti dari peluh menjadi air mata.

Setelah hari itu, hari-hari yang berlalu hanya terasa seperti angin lewat. Andra tak banyak bicara pada Madia karena Madia menolak untuk membuka bibirnya. Namun dalam suatu malam, ketika Andra lagi-lagi tak bisa terlelap dan mencoba untuk melihat bintang menggunakan teleskopnya seperti biasanya, hadir eksistensi Madia di sampingnya. 

“Kamu selalu begini kalau nggak bisa tidur, jadi aku coba ikutan, deh,” ucap Madia parau. Nada bicaranya masih terdengar sendu. 

Sebenarnya, Andra cukup senang karena akhirnya Madia mau berbicara lagi kepadanya. Lantas, sebisa mungkin Andra coba untuk menghibur Madia. 

“Bintang yang kamu lihat sekarang ini, adalah bintang yang udah ada di sana sejak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi cahayanya baru sampai ke kita. Ada banyak, bahkan mungkin ada yang sudah mati di antara bintang itu.”

“Lihat sini, Madia. Ada banyak bintang, yang sebelah kanan warnanya terang banget! Kebiru-biruan gitu,” kata Andra merujuk pada teleskop yang ia pegang. Madia pun menurutinya. Oleh karenanya, bibir yang sebelumnya selalu pucat itu mulai menggariskan lengkung senyuman. 

“Cantik. Aku yakin di antara bintang-bintang itu, ada bayi kita.” 

Mendengar Madia berkata demikian, Andra membisu. Ia langsung mendekapkan tubuh Madia begitu Madia memundurkan matanya dari lensa teleskop. Sebelum Madia membalas dekapannya, sebuah notifikasi muncul dari ponsel Andra. Ada sebuah tautan berita yang dikirim dari temannya.

Potret bintang baru, HH 30, yang diabadikan oleh teleskop luar angkasa James Webb dan dirilis oleh NASA.

NASA berhasil mengabadikan saat-saat kelahiran bintang baru, simak bentuknya!” 

Dengan sigap, Andra langsung membuka tautan tersebut. Bintang yang muncul berjuta-juta tahun yang lalu akhirnya cahayanya sampai ke teleskop luar angkasa milik NASA, teleskop James Webb. Peristiwa itu menandai lahirnya bintang baru yang tertangkap melalui teleskop luar angkasa. Melihat artikel berita tersebut, Andra tak kuasa membendung senyumannya. Ia lalu menangkup wajahnya sembari menatap Madia, lantas berkata, “Iya, ada bayi kita di atas sana. Aku udah rencanain namanya, Kinanti Bintang Sabiru.”

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Produk Rekomendasi Sunday

Salah satu outerwear yang sedang tren digunakan oleh kalangan milenial.

Tas ransel dengan bahan kanvas cocok digunakan sebagai tas sekolah.

Lampu LED portable yang dilengkapi tiang lampu fleksibel dan cahaya yang bisa disesuaikan.

Post Views: 7
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?