Majalah Sunday

Melodi Bulan Merah

Suara biola sama halnya dengan decitan ban mobil saat injak rem mendadak. Terus-menerus berputar-putar dalam tikungan yang tajam. Beradu teriak dengan aspal licin, yang keduanya sama-sama keras kepala. Begitulah setidaknya yang terdengar di telinga Taran.
Wajah bulan sangat sumringah. Inilah waktunya Taran dan keluarganya pergi berkemah. Ayah membawa mobil dengan kecepatan normal diiringi nyanyian riang anggota keluarga lainnya sambil sesekali mengunyah cemilan yang sudah disiapkan ibu.

Acara kemah mereka sudah dilakukan rutin sejak usia Taran sekitar 5 tahun. Ayah ingin Taran jadi anak yang dekat dengan alam. Ibu juga suka berkegiatan di luar rumah. Liburan di luar ruangan adalah yang paling cocok untuk keluarga mereka.

“Ayo siapa yang mau main biola duluan!”
Ayah mempersilahkan istri dan kedua anaknya unjuk diri lebih dahulu setelah baru saja ia berhasil menghidupkan api unggun dan merakit tenda.

Keluarga Taran semuanya pandai bermain biola. Ayah dan Ibu Taran bertemu dalam satu konser orkestra bulanan di gedung kesenian. Keduanya saling mengagumi permainan biola masing-masing dan akhirnya memutuskan untuk membangun orkestra kecil yang terdiri dari mereka berdua serta anak-anak mereka nanti.

“Aku dulu Yah!” Taran angkat suara.

“Kamu harus membunuh semua orang dengan permainan biolamu Nak!” Sorak ibu bersemangat.

Taran tersenyum ceria. Adik Taran memberi tepuk tangan gemas sebelum Taran bahkan mulai mencoba berdiri dengan tegap. Keluarganya adalah fans nomor satu Taran.

|Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dimainkan|

Gesekan demi gesekan telah dituaikan. Panas api di tengah mereka ikut berkobar bersama tangisan biola Taran. Setiap sayatan yang dihasilkan merapuhkan hati-hati yang tegar. Memecahkan tembok pertahanan kelopak mata yang kukuh. Membenamkan seluruh daratan yang berusaha teguh pendirian.
Bulan pun juga ikut menyoroti permainan Taran dengan cahaya. Cerah putih penuh rasa kagum. Tanpa sengaja air matanya lepas tanpa ragu. Terisak-isak cengeng mengusik galaksi. Sampai satupun dari mereka tidak ada yang sadar kalau warna wajah bulan berangsur-angsur berubah. Bulan memerah. Terus memerah sampai penghujung malam.

*****

Harus seperti apa? Harus terdengar bagaimana? Itu yang selalu aku pikirkan.
Ibu, ayah, Tian, mereka semua pandai memainkan biola. Aku terkecuali. Aku tidak dapat merasakan apapun saat mencoba memainkan benda itu. Seperti tertimpa batu besar saat aku memangkunya di sebelah pundak. Telingaku sakit ketika kumulai mempertemukan busur dengan senar. Kepalaku ingin pecah saat tanganku harus segera menggesek-gesekkan mereka.

Aku tidak bisa. Aku tidak mau. Aku benci biola.

Ibu selalu bilang, jangan berpikir saat memainkannya. Mainkan saja, ikuti kemana dirimu ingin membawa, itu yang selalu ia ulang-ulang. Adikku sukses digesekkan pertamanya, sementara aku hancur. Ibuku memukul jari-jariku dengan busur biolanya setiap kali aku salah. Jika posturku kurang simetris, pahaku yang akan ia pukul. Jika belum bisa mengulang dengan sempurna apa yang ibu contohkan, ibu tidak akan menyediakanku makan.
Dia meneriakiku kalau nada yang kubuat melenceng sedikit saja. Kalau teknik yang kutunjukkan berbeda sedikit saja, aku bodoh. Si Bodoh dari yang terbodoh. Anak tidak berguna yang menyusahkan orang tua. Anak pembangkang yang tidak bisa membahagiakan orang tua. Anak yang tidak pantas menjadi bagian dari anggota keluarga orkestra.

Ayah tidak membelaku. Dia tersenyum pada istrinya ketika aku tersiksa. Menderita berjuang mewujudkan impian gila mereka. Mereka tertawa bangga saat membayangkan impian mereka itu. Aku, Tian, ayah, ibu, tampil di panggung kecil beriringan, memuja dewa musik mereka. Menjijikan.

Saat nenek masih ada, beliau yang selalu menghiburku. Nenek bilang, Taran, kamu cucuk nenek yang paling hebat. Nenek tahu kalau aku sangat suka bela diri saat ayah mendaftarkanku les biola juga memasukkanku ke sekolah musik. Aku suka menunjukkannya pose-pose silat yang kupelajari dari youtube. Dialah satu-satunya pahlawanku.

“Aku pilih lagu Gugur Bunga.” Jawabku saat ibu bertanya apa lagu pertama yang ingin kupelajari sendiri.

Aku selalu teringat nenek ketika mendengar lagu itu. Hanya dia yang memekarkan seluruh harapanku ketika semua orang menginjaknya. Walaupun satu-satunya bunga yang kucintai itu sudah gugur, harum yang beliau berikan padaku akan terus tercium selamanya. Bahkan sampai semuanya menghilang seperti sekarang.

Benar, keluargaku sudah hilang. Ibu, ayah, Tian, aku kehilangan mereka saat kemah tiga tahun yang lalu. Keluargaku pergi dengan tragis. Hanya tubuh tak bernyawa mereka yang kusapa ketika embun pagi datang. Putih pucat dengan luka tebasan di leher. Dingin dan penuh bercak darah di sekujur tubuh mereka. Mereka tidak sempat tersenyum. Mata mereka berkilauan seakan-akan menangis tanpa suara. Tanpa sempat ada kata sampai jumpa, mereka meninggalkan aku sendiri, bersama biola.

Semenjak tragedi itu, semua mata mencurigaiku. Kenapa hanya aku yang selamat? Kenapa aku bahkan tidak terluka? Bagaimana bisa seorang anak tidak menangis saat kehilangan keluarganya? Mereka melihatku seperti seharusnya anak ini juga mati bersama keluarganya. Air mataku sudah kering. Wajah sedihku juga ikut sirna. Apalagi yang harus aku ekspresikan? Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Mungkin benar, aku juga sudah lama pergi bersama mereka.

Aku tidak bisa lagi mendengar suara biola. Melihatnya berdiri di sudut rumah rasanya seperti mendengarnya teriak-teriak. Berdecit ngilu dalam kepalaku. Menggesek-gesek urat nadiku. Memutuskan saluran nafasku dengan melodi-melodi jeritan keluargaku saat leher mereka dirobek perlahan-lahan.

Setiap malam semenjak aku sendirian, mimpi buruk merawat tidurku dengan piawai. Ia selalu datang menampilkan wanita berambut panjang dengan busur biolanya menggesek-gesek leher ayah, ibu, dan Tian. Tangan keji wanita itu yang satunya mendongakkan kepala keluargaku dengan menarik keras rambut mereka ke belakang secara bergiliran. Dia menyayat-nyayat leher keluargaku dengan tawa paling ceria yang pernah kudengar. Sampai ketika selesai ia menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dan kutemukan wajahku disana.

Bahkan ketika aku bercermin, aku melihat wanita itu tersenyum padaku. Mengatakan padaku, bahwa aku bebas. Kamu sudah bebas Taran! Kamu bebas Taran! Melodimu sudah membunuh mereka!

Bulan membunuh keluargaku. Bulan membekap mereka dengan jubah merahnya. Kenapa? Kenapa aku harus selalu kehilangan?

*****

| 50 proof karya eaJ versi biola dimainkan|

“Barusan lagu apa, Na?”

“Lagu favoritku, 50 Proof. Versi instrumen biola dari lagu ini pertama kali di-cover sama musisi Korea yang aku ikutin di Youtube.”

“Bagus.”

“Hehehehe, makasih Taran.”

Aku tidak pernah menyaksikan permainan biola sedamai saat Nana yang mempertunjukkannya. Aku benci biola, tapi aku tidak bisa benci Nana. Perutku mual saat pertama kali tidak sengaja mendengar permainan biolanya dari depan salah satu kelas yang ada kampus kami. Aku muntah dan kepalaku mau copot.

Dia menolongku yang ambruk tiba-tiba, tapi aku enggan bersikap baik padanya. Dia selalu bersama biolanya hampir setiap aku melihat. Entah kenapa, aku jadi sering melihatnya dimana-mana. Di Koridor, di toilet, di kantin, di gerbang kampus, aku melihat Nana bersama biolanya tersenyum padaku.

Sampai pada saat aku sedang memandangi ketenangan air mancur di tengah kampus, Nana mengenalkan dirinya padaku. Dia bilang ingin jadi temanku karena aku selalu sendirian. Aku tidak menggubrisnya berkali-kali, tapi dia lebih keras kepala dariku. Aku menyerah, dan membiarkan Nana ada di sisiku semenjak hari dimana dia memberikanmu es krim mangga. Hari itu hujan datang begitu deras, dan dia malah memberikanmu segelas es krim dingin. Dia buruk dalam membaca situasi.

Perlahan hubungan kami semakin dekat. Sesekali aku ikut menemaninya latihan harmonisasi biola sepulang kuliah. Di hari pertama sampai ketiga, kepalaku hancur sampai membuatku pingsan. Keinginanku untuk melihatnya bermain membuatku melakukannya lagi di hari keempat sampai keenam. Di ketujuh kalinya aku ikut, Nana bilang tidak apa-apa kalau aku belum siap. Sudah kuceritakan padanya tentang traumaku tiga tahun yang lalu. Dia juga tahu kalau aku juga bisa memainkan biola.

Biolanya habis kubanting saat pertama kali Nana coba menuntunku memangku dan menggenggam busur biola lagi. Aku terengah-engah terbayang sosok mengerikan yang masih hadir dalam malam-malamku yang kelam. Tapi, Nana tidak marah. Dia menggenggam kedua tanganku yang gemetaran sambil berbisik pelan

“Gapapa, Taran. Besok kita coba lagi.”

Pelan-pelan aku mulai bisa membuka telinga dan mataku untuk permainan biola Nana. Perlahan mimpi buruk itu pergi mencari singgahan baru. Lambat-lambat rasa benciku terhadap biola kian berkurang. Sedikit demi sedikit kenangan masa laluku yang menyedihkan tertimbun dengan memoriku bersama Nana. Nana yang lembut saat melakukan teknik Selur. Jari-jari Nana yang cantik saat berinteraksi dengan senar biolanya. Melodi biola Nana yang damai mengantarkan matahari beristirahat sejenak.

Sayangnya, aku tiba ketika bulan sudah menumpahkan darahnya. Melepaskan jubah putih yang ia kenakan untuk menyelimuti Nana. Tidak masalah jika matahari sudah tenggelam, tapi kenapa bulan juga? Ini malam yang gelap, dan Nana tenggelam bersama mereka. Sampai kapan aku harus kehilangan? Lalu besok apalagi? Apalagi yang akan pergi jika semuanya sudah tidak tersisa?

Nana memakai terusan putih pemberianku. Nana memadupadankannya dengan kalung emas putih berbentuk daun yang sedang bergandengan tangan membuat lingkaran. Kami membuat janji di taman dekat kampus setelah jam pelajaran kuliah berakhir. Kelas Nana berakhir lebih cepat, sehingga dia ingin pergi lebih awal. Dia mengabariku kalau dia mau main biola sebentar bersama anak-anak yang biasa berlatih biola di taman.

Aku melihatnya tersenyum damai. Dari bibirnya seperti terucap kata sampai jumpa dalam waktu dekat. Matanya menutup bersama biola bersimbah darah dalam pelukan. Karena aku saksi yang pertama kali menemukan Nana, polisi mencurigaiku habis-habisan. Polisi mengatakan sebuah fakta yang tidak ingin aku dengar di hadapanku dan keluarga Nana.

“Pola kejadian serta cara pelaku membunuh korban sama persis dengan tragedi pembantaian keluarga di bumi perkemahan tiga tahun lalu.”

 

 

Oleh Maharani Laksmi Dewi, UNJ

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?