Pilihan Takdir
Sore itu, hujan turun cukup deras. Dengan wajah yang kusut, aku duduk di halte sambil menunggu bus. Hari itu, adalah hari yang paling melelahkan. Aku terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namaku. Aku sengaja menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang lelaki sedang berdiri menatapku. Aku balas menatapnya.
Ah, kenapa aku tidak bisa melupakannya? Lelaki itu lantas berjalan kearahku. Namun, dalam sekejap ia menghilang yang tiba-tiba muncul duduk di sampingku. Aku hanya menatapnya dengan mata yang lembab. Ia lalu menunjukkan sebuah buku novel padaku.
“Cika, apa kau sudah membaca novel yang ini?” Tanya lelaki itu padaku.
Aku hanya tersenyum dengan wajah yang sedih. Kenapa aku tidak bisa melupakannya? Dalam sekejap, ia menghilang dan muncul kembali di hadapanku. Tepatnya diluar halte sambil memegang payung. Lalu, ia mengulurkan tangannya kepadaku.
“Ayo kita pulang, Cika.”
Aku tidak kuat lagi. Air mataku mulai berjatuhan. Tidak bisa lagi ku menahan perasaanku dikala mengingatnya. Tubuhku dikontrol oleh emosiku sendiri. Aku berlari keluar halte dengan air mataku yang terus bercucuran.
Tak lagi kuhiraukan air hujan yang terus membasahi tubuhku. Ku gigit ujung bibirku untuk menahan perasaan ini. Beberapa kali ku terjatuh dan membuat kotor pakaianku sendiri.
“Oh iya, masih ada cara itu.”
Pikirankubenar-benar kosong. Ketika aku sampai dirumah, professor menyambutku dengan hangat. Dengan segera aku menyampaikan keinginanku. Dan tentu saja professor terkejut dengan keinginanku.
“Mengulang waktu?! Itu terlalu berbahaya untukmu!” Ucap professor setelah mendengar keinginanku. Tapi, aku terus memohon.
“Kumohon! Izinkan saya menggunakannya!” Ucapku sambil menundukkan kepala.
“Tapi, ujicoba itu belum terbukti berhasil. Manusia tidak bisa mengubah sejarah.” Tidak peduli berapa kalipun professor menolak permintaanku, aku tetap membujuknya.
“Baiklah, saya akan mengizinkamu. Jika, terjadi sesuatu di luar dugaan, gunakan benda ini,” Ucap professor sambil menyerahkan sebuah tombol berwarna merah yang dilapisi pelindung plastik.
“Terima kasih, professor.”
Aku lalu berjalan masuk ke dalam sebuah tabung di dalam ruangan depan. Begitu, aku memasukinya, tabung itu langsung tertutup. Kulihat professor tampak mengotak-atik sebuah mesin di dekat tabung yang kumasuki. Tidak lama setelah itu, tabung bekerja. Pandanganku mulai kabur dan menghilang sepenuhnya.
***
Pandanganku gelap. Perlahan, kucoba untuk membuka kedua mataku. Dengan terkejut, berkali-kali ku usap kedua mataku. Kini, aku tengah terduduk di dalam bus. Di dalam bus pun, sudah banyak teman-temanku yang asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Aku sadar kalau aku telah berhasil kembali ke dua minggu yang lalu, saat study tour menuju museum berakhir dan tepat beberapa menit sebelum tragedi itu terjadi.
Tanpa membuang waktu lebih banyak, aku segera bergerak. Tanpa disadari siapapun, aku berjalan menuju keluar bus. Tujuanku saat ini adalah menuju bus nomor satu yang seharusnya berangkat lebih dulu sebelum bus yang ku naiki. Sekali lagi, aku akan membuat guru dan teman-temanku khawatir. Tapi, kali ini aku akan mengubah takdir.
Aku masuk tepat sebelum pintu bus tertutup. Sebelumnya, aku menghindari sesi absen murid dengan bersembunyi di tangga bus sambil meringkuk. Walaupun ada beberapa anak yang memperhatikanku dengan tatapan aneh, aku tak peduli.
Setelah bus mulai berjalan, aku bergegas bergerak. Seharusnya saat ini di sampingnya, tidak ada siapapun. Siswa yang dijadwalkan untuk menjadi teman sebangkunya tidak masuk. Jadi, sama seperti sebelumnya seharusnya tempat duduknya kosong sekarang.
Itu yang ada di pikiranku sekarang. Tapi, kenyataan telah berubah. Disampingnya tengah duduk seorang anak lelaki lain. Aku diam mematung melihat anak itu. Harusnya anak itu tidak ada di dalam bus ini sekarang. Mungkin karena merasa di perhatikan, anak itu menoleh ke arahku dan tampak terkejut.
“Kau kan?”
Aku mengenal anak itu. Yanto namanya. Anak yang seharusnya sakit dan tidak mengikuti study tour hari ini. Aku masih tidak mengerti, kenapa Yanto bisa ada disini? Di luar hal itu, beberapa saat setelah kami bertatap wajah, Yanto segera memberi tahu anak di sebelahnya. Begitu mendengarnya, anak laki-laki disebelahnya itu menoleh ke arahku dan aku melihat betapa terkejutnya dia.
“Cika?! Kenapa kau bisa ada disini? Bukannya kau harusnya ada di-“
“Rizki, ada yang ingin aku katakan padamu. Ini sangat penting,” Ucapku memotong ucapan yang baru saja dilontarkan anak lelaki bernama Rizki itu.
Ya, anak laki-laki yang menjadi tujuanku mengulang waktu.
Setelah mendengar perkataanku, Rizki melirik ke arah Yanto sebagai isyarat untuk membiarkan kami bicara berdua. Aku tahu hal itu karena Rizki pernah melakukannya juga dulu. Setelah itu, Yanto beranjak dari kursinya dan pergi ke belakang bergabung dengan teman-temannya yang lain.
“Silahkan bicara berdua sesuka kalian,” Ucapnya sambil beranjak pergi.
Aku segera duduk di samping Rizki. Dan disaat yang bersamaan, ia melontarkan pertanyaannya padaku.
“Jadi, apa bisa aku mendengar penjelasanmu sekarang?”
“Semua yang ada di dalam bus ini akan mati.”
Aku mengatakannya, Penjelasan singkat yang cukup untuk membuat Rizki terdiam dengan menatapku heran.
“Apa maksudmu? Jangan bercanda yang tidak-tidak.”
“Aku telah mengulang waktu.”
“Mengulang waktu? Jangan bercanda. Semua orang tahu kalau itu adalah hal yang mustahil kan?”
“Rizki, harusnya kau yang lebih paham dari yang lain. Aku meminta professor untuk menggunakan mesin waktu yang dibuatnya untukku agar bisa kembali ke tempat ini.”
“Meminta professor untuk menggunakannya?! Apa kau gila? Mesin itu masih dalam tahap percobaan! Bagaimana jika terjadi hal yang tidak diinginkan?”
Sudah kuduga Rizki akan marah. Dia yang paling tahu mengenai diriku. Dia sudah tahu kalau aku tinggal bersama pamanku yang merupakan seorang professor. Jadi, jika aku mengatakan sesuatu yang menurut orang aneh dan tidak masuk akal, dia akan menjadi orang pertama yang mempercayainya. Dia orang yang paling dekat denganku dari kecil hingga saat ini.
“Tenang saja. Aku baik-baik saja kok.”
“Hah, jadi, ada hal apa hingga kau mengambil resiko setinggi itu untuk kembali kesini?”
“Seperti yang ku katakan, semua orang di dalam bus ini akan mati. Bus ini akan terjatuh ke jurang yang tak jauh lagi karena rem blong.”
“Hah? Kalau begitu, ayo! Kita harus menyelamatkan semua orang.”
Kami hergegas menuju kursi pengemudi bus. Dan disana, kami langsung menjelaskan apa yang bisa kami jelaskan kepada guru dan pengemudi bus. Walaupun awalnya guru pembimbing dan supir bus yang ada di bus tidak mempercayai kami, tetapi mereka mengabulkan permintaan kami mengetes pedal rem bus. Wajar saja mereka heran dan menganggap kami hanya berkhayal.
Bayangkan saja jika ada orang yang tiba-tiba muncul di hadapanmu dan mengaku berasal dari masa depan, semua orang pasti akan menganggapnya lelucon kan? Yah, mungkin semua kecuali Rizki. Setelah pedal rem selesai di tes, disanalah aku benar-benar heran. Rem bus sama sekali tidak rusak dan masih berfungsi dengan sangat baik. Berbeda dengan yang sebelumnya terjadi. Sebenarnya apa yang terjadi? Kami kembali ke kursi kami.
“Remnya sama sekali tidak blong. Apa benar bus ini akan mengalami kecelakaan?” Tanya Rizki mulai ragu.
Aku juga sedang memikirkannya. Sebenarnya apa yang terjadi? Remnya tidak blong? Padahal jelas-jelas beredar kabar kalau remnya blong dan bus ini masuk ke dalam jurang yang dalam. Bahkan supir bus ini sendiri yang mengaku pada publik. Apa waktu itu, supir berbohong? Tidak mungkin. Dia tidak akan bercanda dengan maut. Apa kecelakaan itu tidak akan terjadi? Kalau itu benar, aku akan sangat bersyukur.
Itu yang baru saja ingin ku lakukan. Tapi, kejadian yang tidak kuingat ada terjadi. Dari arah berlawanan di lajur yang sama, muncul beberapa mobil sport dengan ugal-ugalan. Aku ingat tidak ada kendaraan lain yang melewati jalur ini sebelumnya.
Jika benar memang ada, aku yang sebelumnya berada di bus nomor 2 yang ada di belakang bus ini seharusnya melihatnya! Seisi bus segera panik dikala sang supir berusaha menghindari tabrakan. Termasuk aku yang bahkan tidak ingat ada mobil lain di lajur yang sama.
Karena menghindari tabrakan, justru bus kehilangan keseimbangan lalu terbalik dan terseret hingga ke pinggir jalan dan menerobos pembatas jalan hingga nyaris jatuh ke jurang. Tidak, setengah badan bus sudah ada di jurang. Aku yang terjatuh dari tempat duduk berusaha bangkit.
Sambil memegang kepalaku yang pusing, aku bangkit berdiri. Betapa terkejutnya aku dikala aku menemukan cairan merah darah dari keningku sendiri. Dan yang lebih membuat aku terkejut adalah bagian dalam bus yang porak-poranda.
Sebagian besar murid tidak sadarkan diri termasuk sang supir dan guru pembimbing. Keadaan menjadi gelap karena lampu bus yang mati setelah mengalami benturan. Dan yang baru kusadari saat ini adalah aku sedang berdiri di atas kaca bus.
Aku berusaha berjalan sedikit, namun, bus segera bergoyang. Dari situasi ini, dapat kusimpulkan kalau bus tengah berada di ambang kematian. Aku melihat Rizki yang tak sadarkan diri di sebelahku.
“Rizki!”
Aku berusaha membangunkannya dengan memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Usahaku berhasil. Rizki terbagun dan shock dengan pemandangan yang ia dapati saat ini.
“Kita harus segera keluar dari sini!”
Belum aku bergerak sedikitpun dari tempatku berpijak, bus kembali bergerak. Tubuh bus makin terperosot ke arah jurang. Aku memanjat dan dengan bantuan alat di sekitarku, aku berhasil memecahkan kaca bus yang akan kugunakan untuk keluar bersama Rizki.
“Ayo Rizki!”
Aku dan Rizki mendekati kaca itu. Ketika kami sudah bersiap-siap untuk keluar dari bus itu, tubuh bus kembali bergerak. Gerakannya kali ini cukup keras yang menyebabkan kami terjatuh.
“Rizki! Kita harus bergegas! Bus ini akan segera jatuh!”
Tapi, Rizki tidak membalas ucapanku. Ia hanya diam dengan wajah shok.
“Rizki?”
“Kakiku tersangkut. Aku tidak bisa pergi dari sini. Kau harus pergi sendiri, Cika.”
Aku segera menghampirinya. Dan benar saja, salah satu kaki kursi ada yang patah dan menimpa kaki kanan Rizki. Melihat itu, aku tentu saja tidak akan berdiam diri dan menuruti apa yang dikatakan Rizki begitu saja.
“Tidak! Tidak akan kulakukan! Kita akan pergi bersama!”
Aku kembali ke tempat Rizki berada dan dengan usahaku, aku berusaha mengangkat kaki kursi yang menjepit kaki kanan Rizki. Kaki kursi itu sangat berat ditambah ada besi lain yang menimpanya.
“Cika, tidak ada pilihan lain.”
“Tidak! Kalau tidak ada pilihan lain, maka aku akan membuatnya!”
Ya, tentu saja! Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir sama! Aku akan menyelamatkan Rizki dan pulang dengan wajah tersenyum.
“Masih banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu! Aku tidak akan kembali membiarkanmu mati!”
Bus kembali bergerak menuju jurang. Aku sempat terhempas menjauh dari Zidny. Tapi, aku kembali dan berusaha mengeluarkan kaki Rizki yang tersangkut. Aku pasti bisa menyelamatkannya kali ini! Aku tidak ingin melihat pemakaman Rizki untuk yang kedua kalinya!
“Cika, hentikan. Pergilah dari sini!”
“Tidak akan! Aku kembali kesini karena ingin menyelamatkanmu!”
Kedua tanganku mulai memerah karena mencoba mengangkat besi itu. Air mataku mulai mengalir. Aku tidak akan membiarkan semuanya berakhir sama! Aku akan menyelamatkannya! Tidak akan kubiarkan masa-masaku bersama Rizki berakhir karena hal ini!
“Cika! Dengarkan!”
Aku terkejut karena Rizki yang tiba-tiba membentakku sehingga secara reflek aku menghentikan usahaku.
“Kau tidak akan bisa mengubah takdir. Jika aku memang seharusnya mati disini, maka kau harus mengikhlaskannya.”
Tiba-tiba ia memelukku dengan sangat erat. Aku pun membalas pelukannya dengan sama eratnya sambil menangis dengan keras.
“Aku menyukaimu.”
Di sela-sela tangisku, ada rasa terkejut dan senang karena tiba-tiba ia mengatakan hal itu.
“Hah?”
Rizki lalu melepas pelukannya dan menatapku dengan ekspresi bahagia. Sedangkan aku masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Rizki barusan. Ia bilang apa tadi? Suka?
“Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Meski hanya begitu saja, aku sudah puas.”
“Rizki, apa mak-“
Belum sempat aku menanyakan maksud ia mengatakan hal itu, Rizki tiba-tiba mendorongku keluar dari jendela bus. Bersamaan dengan terjatuhnya aku di aspal jalanan, bersamaan pula dengan jatuhnya bus ke dalam jurang.
Aku sempat melihat Rizki tersenyum ke arahku hingga akhirnya ia hilang dari jarak pandangku. Beberapa saat setelah jatuhnya bus ke jurang, terdengar suara ledakan yang sangat keras dan mulai muncul kepulan asap hitam di angkasa dari arah jatuhnya bus.
Aku hanya bisa menangis dengan keras sambil melihat kejadian itu tanpa bisa berbuat apapun.
~ THE END ~
Sholahuddin Nurul Mustofa
SMKN 48 Jakarta
@sholahuddinnurul_
Bagus ya cerpennya. Nah, Sunners, buat kalian yang punya karya seperti di atas. Bisa kirim karya kalian ke majalahsunday@gmail.com