Penulis: Salsabila Azahra – Universitas Negeri Jakarta
Namaku Mat. Aku bekerja serabutan, di mana pun, kapan pun, dan apa pun yang bisa aku kerjakan. Saat ini aku sedang memanggul karung berisi tiga kilo kentang untuk diantar ke kios Bu Tono. Setiap karung yang kuangkut dihargai lima ribu rupiah. Karung kentang ini barang yang ketiga. Itu artinya aku sudah mendapat lima belas ribu rupiah. Bu Tono orang yang baik. Begitu aku meletakkan sekarung kentang di samping kiosnya, ia menyelipkan satu lembar uang sepuluh ribu ke tanganku. Itu artinya, upahku hari ini lebih banyak dari biasanya.
Aku kembali ke depan pasar tempat truk barang berada dengan sumringah. Barang-barang di dalam truk semakin menipis karena bukan hanya aku tukang angkut barang di pasar ini. Barang yang kuangkut terakhir adalah satu peti telur. Bang Kirman menyerahkan peti itu sekaligus dua lembar uang sepuluh ribu rupiah. Aku senang jika Bang Kirman yang mengantar pesanan pedagang pasar. Ia bisa mengatur para tukang angkut agar tidak rebutan. Jadi aku tidak perlu disikut lagi oleh Pak Bakir seperti beberapa minggu lalu saat Bang Kirman absen.
Namaku Mat. Aku bekerja untuk membantu ibu. Upah hasil kerja serabutan ini bisa memberi makan keluargaku dalam satu hari. Hari besoknya dipikirkan besok saja. Kedua adikku masih duduk di bangku sekolah dasar. Makanya aku yang mengambil peran untuk bekerja. Kebutuhan sekolah adikku sangat banyak. Sulit rasanya jika hanya bergantung pada penghasilan ibu yang seorang tukang cuci. Belum lagi harus membayar tagihan kontrakan yang rutin dibayar setiap bulan.
Bapak penjaga palang rel kereta api berteriak kepada sepasang muda-mudi dengan seragam abu-abu di tubuhnya. Mereka menerobos palang yang hampir tertutup, mengemudi dengan cepat seperti takut terlambat. Aku tidak takut terlambat masuk sekolah. Karena memang aku tidak sekolah. Dua muda-mudi itu menyelip di sana-sini. Banyak pengendara lain yang menyumpahi mereka. Tapi sepertinya mereka tidak peduli.
Namaku Mat. Aku hanya remaja lima belas tahun yang tidak bisa terburu-buru seperti mereka. Perkataan ibu tiga bulan sebelum kelulusan SMP seakan mengubah hidupku.
“Sekolah negeri pun yang gratis hanya uang bulanannya. Seragam, buku, dan uang gedung tetap bayar. Belum lagi kalau ada kegiatan-kegiatan lain. Kamu bisa lulus SMP saja sudah syukur, Bang. Ibu sama sekali tidak sekolah. Yang penting kamu sudah lebih baik daripada ibu.” Intinya, ibu tidak sanggup harus membiayai SMA-ku, aku pun tidak bisa membiayai sendiri. Jadi sekolahku berhenti sampai di putih biru. Dan beginilah aku selama lima bulan ini. Mengerjakan apa pun asalkan ada upah dan bukan tindak kriminal.
Saat ibu berbicara panjang lebar mengenai alasan aku tidak bisa melanjutkan SMA, aku menutup telinga rapat-rapat. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun. Tapi meski begitu, tetap saja suara-suara ibu masuk ke pendengaranku. Sesekali aku mendengar ibu menyebutkan kata ‘pendidikan’, ‘bukan yang utama’, ‘hanya pendukung’, dan satu kata lagi, aku lupa cara menyebutnya. Yang pasti, ibu mendengar itu semua dari berita di televisi.
Namaku Mat. Aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya uang. Aku terpaksa melakukan pekerjaan kasar ini pun untuk mendapatkan uang. Semuanya karena uang. Mungkin aku terlahir ke dunia ini pun karena kedua orang tuaku mengharapkan uang dariku.
Kereta sudah lewat, palang kembali dibuka. Kendaraan dan kakiku melanjutkan perjalanan diiringi rentetan suara klakson. Tidak jauh dari palang kereta api, ada taman kecil yang biasa dipakai anak-anak untuk bermain. Biasanya di pagi hari seperti ini, taman itu masih sepi. Sekarang beberapa orang dewasa mengerubunginya, sibuk menyiapkan sesuatu. Dua orang menggelar terpal. Dua lagi menggotong papan tulis lumayan besar yang entah datangnya dari mana. Satu orang terakhir menyusun buku-buku di atas meja.
Aku penasaran apa yang mereka lakukan. Tidak biasanya orang-orang menggunakan taman itu penuh persiapan. Orang yang sedang menyusun buku melambaikan tangannya. Tidak ada orang lain di sana selain aku dan mereka, jadi sudah pasti lambaian tangan itu untukku. Aku menghampirinya dengan senyum canggung. Ia menawariku untuk bergabung di kegiatannya. Aku ragu menerima tawarannya, tidak tahu bentuk kegiatan yang dimaksud.
“Mulai hari ini hingga tiga bulan ke depan, kami mengadakan belajar bersama di taman ini. Kamu boleh bergabung jika mau.” Apa belajar bersama yang dimaksud seperti belajar di sekolah? Bagaimana dia tahu aku tidak sekolah? Bagaimana bisa tawarannya menyasar orang yang tepat? Tapi aku tidak perlu menunggu jawaban darinya. Sejak hari itu, setelah dari pasar aku segera pulang untuk memberi upah hasil mengangkut barang ke ibu. Lalu langsung berlari ke taman untuk belajar dengan mereka.
Namaku Mat. Ternyata bukan hanya aku yang tidak sekolah di lingkungan ini. Banyak anak lain yang juga ikut belajar bersama di taman. Kebanyakan yang ikut belajar bersama ini anak seusia adikku. Aku yang paling tua di antara murid di taman ini. Dua minggu belajar di sini, aku baru tahu kalau kelima orang yang mengadakan kegiatan ini dinamakan pengabdian masyarakat. Saat masih sekolah dulu, guruku pernah beberapa kali menyebut abdi negara. Ternyata ada pula abdi masyarakat.
Semakin sering belajar bersama, aku mulai menanyakan banyak hal, termasuk tentang pengabdian masyarakat itu. Orang yang tiga minggu lalu mengangkat papan tulis sedikit menjelaskan. Sebenarnya aku tidak begitu paham omongannya. Mungkin karena mereka orang kuliahan, sementara aku baru lulus SMP enam bulan lalu. Tapi pada intinya, mereka melakukan kegiatan ini atas kemauan mereka sendiri, pun dengan biaya sendiri. Awalnya kupikir pemerintah memberikan uang untuk menjalankan ini, tapi ternyata tidak sama sekali. Tapi, pemerintahlah yang menjadi alasan mereka mengadakan kegiatan ini.
“Kebijakan efisiensi pemerintah di awal tahun ini bisa dikatakan menyenggol anggaran biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan.” Aku jujur saja kepada orang pengangkat papan tulis itu bahwa aku tidak paham.
“Intinya, di awal tahun, semua bidang di negara ini, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan yang lainnya itu sudah dibuatkan rencana uang yang akan dipakai. Nah, karena efisiensi ini, jadi beberapa bidang harus dikurangi uangnya. Salah satu bidangnya itu pendidikan. Kan, pendidikan uangnya sudah dikurangi, jadi rencana awal yang uangnya itu akan dipakai untuk biaya bantuan, beasiswa, dan sejenisnya pun tidak jadi digunakan.”
“Makanya banyak anak yang tidak bisa sekolah, yaa.” Dengan tatapan kosong menerawang ke depan, aku berbicara tanpa sadar.
Namaku Mat. Aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya uang.
Namaku Mat. Aku saksi dari matinya pendidikan di negara ini.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
Dengerin Podcast
Penasaran? Yuk, tonton sekarang di YouTube!
Lampu LED portable yang dilengkapi tiang lampu fleksibel dan cahaya yang bisa disesuaikan.