Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta
(TW // KDRT, aborsi)
Tubuhku kembali dibanting olehnya. Rasanya jauh lebih sakit daripada yang biasa kurasakan. Napasku tersengal, sebelum mataku beralih karena mendengar erangannya.
“Kebobolan mulu apa lo nggak capek? Gue capek tahu! Mana perempuan lagi!” Satu tendangan di perutku pun dilayangkan. Sepatu dinasnya masih melindungi kaki-kakinya. Bersamaan dengan itu, mataku menitikkan air mata. Namun aku masih diam. Tahu sepintar apa pun menjawab, bisa jadi tendangan lainnya akan dilayangkan.
“Percuma gue pake kondom kalau gini terus. Lo pikir cari duit gampang? Nikah sama gue kalau kebanyakan anak ya duitnya abis juga!”
Aku masih membisu. Dalam hati aku ingin berbicara dengan seribu bahasa yang aku mampu, bahwa aku telah menggugurkan kandunganku yang terakhir kali—buah hati yang tak diinginkannya lagi. Sayangnya bibirku kaku, dan ia tak akan pernah tahu itu. Yang ia ketahui, hanyalah tanda garis dua dari alat tes kehamilan yang lupa kubuang. Memang aku sudah gila. Sangat gila.
“Kalau dikasih tau tuh, jawab! Mulutnya dipake!” Sekarang lelaki itu berjongkok, tangannya terangkat untuk menoyor kepalaku. Lagi-lagi lidahku kelu. Maka selanjutnya lelaki itu berdiri. Giliran sepatu dinasnya yang berpindah ke keningku, untuk ia injak.
Kira-kira aku tidak ingat kehidupanku setelah kepalaku diinjak olehnya. Ia pergi, aku tak tahu hal yang membuatnya pergi. Aku bahkan tak mengingat namanya. Satu yang pasti, adegan itu selalu diputar lagi rekamannya dalam memoriku. Titimangsa demi titimangsa, segala apa pun cara yang kulakukan tak akan mampu menghapus adegan itu sama sekali.
Sekarang di rumahku, setiap hari aku mendengar suara anak-anak. Mereka berbicara kepadaku, tetapi aku bingung. Mereka memanggilku ibu. Seingatku ada 4 dari mereka. Yang paling tua, aku sering menukar namanya dari Kiara jadi Kaira dan aku masih belum ingat yang yang mana yang benar. Katanya, sih, ia seorang mahasiswa. Si tertua kedua namanya Toni. Nah, kalau dia aku ingat betul sudah SMA. Ia yang paling sering bolos jadi alasannya sering ada di rumah bersamaku. Satu di antaranya masih SMP, dan satu lagi belum sekolah—sayangnya aku lupa nama mereka. Lantaran aku juga tiada melihat ada orang lain yang mereka panggil ibu di rumah ini, menurutku tak apa jika sesekali aku buat diriku seperti ibu mereka.
Semua bermula ketika lima malam sejak kepergian lelaki itu, aku dibangunkan oleh banyak orang. Wajah mereka bervariasi, ada yang tersenyum, ada yang murung, ada yang tertawa, dan ada yang marah. Akan tetapi mereka muncul ketika aku untuk yang kesekian kalinya terbangun hampir mati karena mimpi buruk itu lagi. Aku kaget mereka muncul di kamarku malam-malam sekali. Namun, presensi mereka menemaniku kala itu dan aku tak mungkin mengusir mereka.
Aku lanjut tertidur. Rupanya, mereka juga tak kunjung pergi dalam mimpi dan tatkala aku bangun saat ayam melolong karena terik matahari menusuk matanya. Mereka selalu menemaniku. Beberapa wajah mereka ada yang berubah sehingga aku sukar mengenali, tetapi sisanya tetap tinggal. Kalau aku tengah berkutat pada medan otakku yang entah berpikir perihal apa, mereka akan membantuku memberikan jawabannya.
Sebagaimana ketika hari ini aku mencium bau tengik kegosongan saat sedang memasak nasi goreng. Si Kiara langsung lari dengan teriak yang menyambut kupingku. Pengang. Wajahnya nampak panik.
“Ibu, nasi gorengnya gosong!” teriaknya. Ia langsung memundurkan diriku agak jauh dari kompor. Padahal ‘kan aku mau masak, kenapa dihadang begini? Kiara lantas mematikan kompor dan menyuruhku untuk duduk. Sementara gigiku seakan tak ingin dibuka agar aku tak bicara apa-apa. Akan tetapi teman-temanku muncul mengajakku bicara.
“Kamu mau makan apa dong jadinya kalau nasi gorengnya gosong?” Itu suara perempuan dengan tahi lalat kecil di bawah mata kanannya. Rambutnya dipotong pendek dan ia sering mengenakan sweater merah.
“Mending belanja lagi aja nggak sih?” Wanita yang agak tua ini juga turut menimbrung.
“Masak mi instan aja, ‘kan, ada. Jadi anak-anak itu bisa sarapan, kamunya juga.” Kini giliran seorang gadis muda yang rambutnya dikuncir dan berponi.
Selanjutnya ucapan-ucapan lainnya saling sahut-menyahut, kebanyakan dari mereka menyuruhku untuk berbelanja. Mungkin, aku memang seharusnya tidak menyia-nyiakan keahlian memasakku dan akan lebih baik jikalau aku memasak makanan yang lebih enak daripada nasi goreng dari nasi sisa kemarin. Ah, teman-temanku memang baik, mau membantuku menentukan keputusan di kala seperti ini.
Maka pagi itu aku mengambil dompetku untuk berjalan ke pasar. Aku lupa pasar itu jauh atau dekat, tetapi yang pasti aku harus segera berbelanja bahan masakan yang baru.
“Ih, Laila si gila!” kata si anak yang paling tinggi.
“Ayo kabur sebelum dikejar sama orang gila!” timpal yang berada di tengah.
Satu anak lagi hanya tercenung dan tampak meneguk salivanya. Pupilnya gemetar. Sedetik berikutnya yang paling tinggi pun memutuskan untuk melarikan diri. Sambil berlari, mereka sama-sama berteriak, “Orang gila! Orang gila!” Suara itu masih terdengar ketika jejak mereka tak tampak lagi. Aku sakit hati, jelas-jelas aku orang normal yang tidak gila, iya, ‘kan?
“Iya, kamu sehat-sehat aja, kok. Anak itu cuma caper!”
“Bener tuh kata dia!”
Separuh hatiku diliputi perasaan gamang, kenapa mereka menganggapku gila? Tetapi untungnya, teman-temanku selalu memvalidasi perasaanku. Aku kembali melanjutkan perjalananku ke pasar.
Masih belum melihat wujud pasar meski aku sudah berjalan jauh, jadi aku ubah niatku. Aku mencoba mencari sumber bahan masakan yang terdekat. Siapa tahu ada kebun di sini. Aku berjalan sedikit lagi. Di perjalanan, aku berkali-kali bertemu orang baru yang kukira adalah tetanggaku karena wajahnya tak asing. Namun, setiap kali mereka kusapa, mereka selalu tak membalas sapaanku.
Teman-temanku tiba-tiba memberitahukan bahwa ada kebun dalam jarak lima langkah lagi. Saat aku coba buktikan, benar saja adanya. Ada kebun singkong yang daunnya lebat-lebat. Aku bisa mengambilnya untuk membuat oseng-oseng daun singkong. Aih, betapa nikmatnya itu kalau dimakan dengan nasi hangat nanti.
Aku pun bergegas mencabut sebanyak-banyaknya daun singkong. Setelah ini, aku tidak perlu jauh-jauh ke pasar agar bisa memasak. Bagaimana kira-kira?
“Udah pasti enak tuh!”
“Kamu nggak mau jalan-jalan pagi dulu?”
“Mending cari lagi bahan-bahan lain kayak cabai, tomat, sama bawang merah.”
“Kamu harus cepet-cepet pulang!”
Di antara sekian banyak saran, aku memilih untuk pulang. Maafkan aku, ya, teman-teman, terkadang pernyataan kalian tidak kompak! jelasku dalam hati.
Soal perutku harus jadi nomor satu, segeralah aku mengingat-ingat jalan pulang. Akan tetapi, rasanya tak ada yang kuingat sedikit pun. Masa bodolah, aku harus cepat-cepat memasak. Bahkan sekarang malam sudah tiba, langit kelihatan gelap. Semakin gelap langit, semakin aku tak bisa ingat jalan mana yang harus kulalui.
Perjalanan membuatku lelas. Di saat inilah aku mendengar teman-temanku menyerocos kembali.
“Mending kamu tidur aja.”
“Tidur di deket got bisa, tanamannya kelihatan empuk.”
“Tidak, di lapangan bulu tangkis malah ada kasur.”
Mendengar saran dari temanku yang terakhir, aku akhirnya tidur di tengah lapangan bulu tangkis. Walau rasanya keras, tetapi kata temanklu ini kasur, jadi aku langsung pejamkan mataku.
Mataku terbuka kembali dalam beberapa saat setelah kurasa kantuk telah hirap. Cahaya pagi sudah balik lagi. Itu tandanya aku memasak sarapan. Secepat itu. Kira-kira baru 2 jam aku mencari bahan masakan dan tertidur sedikit.
Dalam perjalanan pulang, anak-anak yang tadi kulihat kembali muncul. Mereka seolah ingin mencuri daun singkong yang aku telah kukumpulkan. Dengan kencang mereka berlari ke arahku untuk kemudian menabrakku. Daun singkong yang kupegang barusan telah melontar entah ke mana. Pemandangan yang kulihat selanjutnya berupa anak-anak itu yang masing-masing memegang daun singkong. Daun singkong yang mereka pegang kemudian dilemparkan ke kepalaku.
“Orang gila! Orang gila!” teriak mereka dengan tampak mengejekku.
Ini sudah di luar batasan. Di mana orang tua mereka? Berani-beraninya mereka terus-terusan menuduhku sebagai orang gila dan melemparkan daun singkong yang telah aku susah cari-cari ke kepalaku?
Kepalaku rasanya begitu panas, seolah ingin meledak. Napasku tersiksa di kerongkongan. Sementara itu, teman-temanku mulai muncul kembali, mereka tambah banyak jumlahnya. Masing-masing memberikan saran yang harus kulakukan selanjutnya untuk membalaskan dendamku kepada anak-anak yang tidak sopan itu. Suara mereka ada banyak sekali sampai-sampai telingaku pengang dibuatnya. Aku menjadi pusing, tetapi akhirnya kulaksanakan segala saran yang mereka utarakan kepadaku agar mereka mau diam.
Aku berteriak, mengamuk, memukul, dan melemparkan kembali daun singkong ke arah anak-anak itu. Belum juga diam, teman-temanku juga menyuruhku untuk melakukan hal yang sama kepada orang-orang yang lewat. Mereka takut orang-orang yang baru kutemui akan berbuat tidak sopan juga kepadaku.
Di momen selanjutnya, aku baru saja bersiap-siap ingin memukul orang yang lewat di depanku lagi ketika beberapa orang berseragam dengan memakai sepatu dinas datang kepadaku. Ada total empat orang, duanya adalah pria, dan duanya lagi adalah wanita. Saat para pria itu mendekat, aku hanya fokus melihat sepatu dinasnya. Tiba-tiba teman-temanku semakin membisikkan berbagai macam seruan di kepalaku, tetapi suara mereka seluruhnya berubah menjadi suara laki-laki itu.
Jemariku terasa bergetar hebat dan napasku tercekat hampir mencekikku seolah ingin mati. Aku segera berjongkok untuk melindungi diriku. Suara derap sepatu dinas semakin terdengar, dan lama-kelamaan tubuhku melemas.
Cahaya putih menusuk di balik kelopak mataku, menyergap masuk di antara celahnya. Aku membuka mataku. Saat kulihat, aku telah berada di sebuah ruangan serba putih dan tanganku diberikan infus. Aku tak tahu apa yang tengah terjadi. Kuusahakan untuk memanggil teman-temanku dan menanyakan maksud semuanya, tetapi mereka tak kunjung hadir.
Kuedarkan pandanganku ke sebelah kiri, ada sebuah tirai. Di balik tirai, aku melihat ada bayangan seseorang. Ia berbisik-bisik, kemudian menaikkan suaranya seolah giliran mengajakku untuk berbicara.
“Tenang aja, kamu nggak sendiri. Aku juga sama kaya kamu.”
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.