Majalah Sunday

Lorong 3B yang Terkunci

Penulis: Chiara Ardelia – Universitas Negeri Jakarta

Di sebuah SMA terpencil di  pelosok kota, ada urband legend yang terkenal. Konon katanya di sekolah itu ada sebuah lorong berhantu yang dinamai Lorong 3B. Berdasarkan desas-desus yang beredar, tidak ada satu pun murid yang berani melewatinya sendirian.

Lorong 3B berada di lantai tiga, tepatnya di sayap gedung B. Dulu, lorong itu digunakan sebagai jalur penghubung menuju ruang arsip lama. Namun, setelah seorang siswi dikabarkan bunuh diri di sana, pihak sekolah menutup seluruh akses. Lampunya sengaja dimatikan, pintunya digembok, dan papan besar ditempel di depan “Dilarang Masuk.”

Sejak itu, lorong 3B selalu gelap, berdebu, dan jarang disentuh. Guru-guru pun enggan melewati area tersebut, membuat gosip semakin liar di kalangan siswa.

Bagi sebagian besar murid, larangan itu menakutkan. Tapi bagi Rani—siswi kelas 11 yang terkenal keras kepala—justru terdengar seperti tantangan. Ia paling benci dengan gosip hantu. Menurutnya, semua cerita gaib hanyalah omong kosong.

“Kalau emang ada hantu, kenapa nggak pernah ada yang bisa buktiin? Jangan-jangan gurunya aja yang males bersihin lorong, makanya dibikin alasan,” kata Rani keras-keras di kantin, sambil menyilangkan tangan dengan ekspresi menantang.

Teman-temannya, Dira dan Bayu, langsung saling pandang. “Rani, kalo emang berani coba dong masuk ke lorong itu,” ejek Bayu dengan senyum miring.

Dira mengangguk sambil nyengir. “Iya, buktiin kalo lo bener.”

Rani menyeringai lebar dengan kilatan penuh menantang di kedua bola matanya. “Oke! Malam ini juga gue bakal masuk Lorong 3B.”

***

Jam dinding menunjuk pukul delapan malam. Rani sengaja menunggu sampai malam ketika semua murid meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing tiga jam yang lalu. Semua lorong sekolah sudah sepi, hanya ada suara jangkrik dari lapangan dan bunyi ranting yang bergesekan. Rani menyelinap masuk lewat jendela UKS, menyalakan senter HP, dan melangkah hati-hati ke lantai tiga.

Suasana lantai tiga berbeda. Koridornya panjang, cat dinding terkelupas, kaca jendela dipenuhi debu, dan hawa dingin menusuk kulit. Sepi sekali, hanya ada gema langkah Rani yang terdengar.

 

Lorong 3B

Akhirnya ia sampai di depan pintu Lorong 3B. Papan bertuliskan Dilarang Masuk masih tergantung, warnanya pudar. Gembok tua menggantung di sana. Meskipun pintu itu tergembok, Rani membukanya dengan sangat mudah, seolah-olah memang menunggu seseorang datang membukanya.

Dengan dorongan pelan, pintu berdecit panjang. Udara dingin menyergap wajahnya. “See? Easy,” gumam Rani sambil melangkah masuk. Lorong 3B akhirnya terbuka di depan mata Rani. Pintu kayu tua yang berkarat engselnya menjerit panjang saat ia dorong.

BRAK!

Pintu menutup keras di belakangnya. Rani kaget, langsung balik dan menarik handle. Terkunci.

“Halo?! Ada yang nge-prank gue ya?!” serunya. Tak ada jawaban. Hanya suara samar… seperti bisikan.

“Raniii…”

Terdengar suara asing memanggil nama Rani, entah dari mana sumbernya. Ia menoleh ke segala arah, tapi tak ada seorang pun di sana selain dirinya sendiri. Seketika bulu kuduknya berdiri. Udara di lorong berubah dingin menusuk, seperti ada AC bocor yang menembus langsung ke tulang. Tengkuknya meremang, tubuhnya gemetar meski ia berusaha menyangkal rasa takut itu. Jari-jarinya kaku, ponsel di tangannya hampir terlepas.

Langkah demi langkah, Rani mulai merasa ada yang mengikuti dari belakang. Napasnya terasa berat, seperti ada tangan tak terlihat menekan dadanya. Kakinya serasa dipaksa maju ke depan, padahal pikirannya ingin lari.

Aroma apek langsung menyeruak, bercampur debu dan bau lembap seperti kain basah yang terlalu lama disimpan. Lampu neon di langit-langit mati total, hanya ada cahaya redup dari ponsel Rani yang sedikit demi sedikit menyingkap pemandangan.

Dinding lorong itu dipenuhi bercak hitam, seperti jamur yang tumbuh dari kelembapan bertahun-tahun. Beberapa poster lama yang sudah robek menggantung tak beraturan, sebagian menempel, sebagian lagi jatuh bergulung di lantai. Ubin yang dulu mungkin putih kini berubah kusam, retak, bahkan ada yang terangkat miring seolah tak sanggup lagi menopang langkah.

Rani melangkah pelan, suara sepatunya berderit di lantai yang berdebu. Sesekali terdengar bunyi tetesan air jatuh entah dari mana, memantul di antara dinding kosong. Semakin jauh ia berjalan, lorong itu terasa makin panjang, seperti menolak habis meski sudah ditempuh.

Lalu, di ujung lorong, cahaya ponselnya memantul pada sesuatu. Kilatan samar itu membuatnya berhenti. Ia mendekat, jantungnya berdegup makin cepat. Di sana, di tengah kegelapan, berdiri sebuah cermin besar yang dibiarkan bersandar pada dinding. Kaca cermin itu kusam, retak halus di beberapa sisi, namun cukup jelas untuk memantulkan sosok Rani yang kini menatap balik dengan wajah pucat.

Saat sampai di depan cermin besar, pandangan Rani berkunang-kunang. Ia merasakan tarikan dingin di tengkuknya, seperti ada yang meraih rambutnya lalu mendorong kepalanya menunduk ke arah cermin.

Cermin itu berkabut, dan dari balik pantulannya ia melihat sosok siswi berseragam putih abu-abu dengan dasi terlilit di leher. Senyum siswi itu makin lebar.

Tiba-tiba, tubuh Rani kaku. Tangannya bergerak sendiri, menempel di permukaan kaca. Ujung jari-jarinya dingin, seolah menyentuh es. Dalam sekejap, kepalanya pening, telinganya berdengung, dan pandangannya berwarna gelap.

Di dalam kepalanya, ada suara yang bukan miliknya sendiri. Suara itu berbisik, “Kamu bukan lagi kamu… sekarang gantian aku.”

Rani ingin berteriak, tapi mulutnya terkunci. Lidahnya kelu. Tubuhnya seperti dikendalikan orang lain—pundaknya bergetar, punggungnya melengkung kaku, matanya terasa panas seakan ada yang mencoba merebut penglihatannya.

Untuk sesaat, ia melihat dirinya sendiri di dalam cermin… tapi bukan dengan wajahnya. Mata di pantulan itu hitam pekat, senyumnya aneh, dan tubuhnya digerakkan seperti boneka.

Di dalam kepalanya, suara itu makin jelas. Bukan lagi bisikan samar, tapi suara seorang gadis, serak bercampur tangis.

Kenapa… kenapa nggak ada yang pernah lihat aku? Kenapa semua orang pura-pura nggak tau aku mati di sini?

Rani berusaha menggeleng, tapi tubuhnya tetap kaku. Suara itu berubah jadi teriakan—penuh amarah bercampur putus asa.

Mereka kunci lorong ini, biar aku dilupain! Mereka takut sama aku, padahal aku cuma mau ditemuin!

Tangan Rani menekan kaca lebih kuat, sampai sendi jarinya sakit. Dari balik cermin, sosok gadis berseragam itu menatapnya dengan mata hitam pekat, senyumnya hilang digantikan ekspresi putus asa.

Kalau nggak ada yang mau dengar aku… maka kamu akan jadi aku. Kamu akan ngerasain gimana rasanya dilupain, sendirian, terkunci di sini selamanya.

Rani menjerit dalam hati, tapi mulutnya tak bersuara. Tubuhnya terasa ditarik ke belakang dengan sangat keras dan semuanya menjadi gelap.

***

Pagi itu, lorong 3B kembali membuat geger. Seorang penjaga sekolah menemukan pintu yang biasanya terkunci rapat terbuka lebar. Bau apek menyeruak keluar, dan di dalamnya, Rani tergeletak pucat dan tidak sadarkan diri.

Ponselnya masih menyala, layar pecah menyorot ke arah cermin kusam yang penuh sidik jari. Sementara dinding lorong dipenuhi tulisan tangan tangan “Jangan lupakan aku… jangan lupakan aku…” dengan bercak darah.

Rani segera dibawa ke UKS. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia sadar, tapi saat bangun, ia hanya bisa menangis tanpa tahu jelas apa yang sudah dialami.

Kejadian itu membuat guru-guru tak lagi bisa bungkam. Mereka akhirnya menceritakan kisah lama yang selama ini disembunyikan. Bertahun-tahun lalu, ada seorang siswi bernama Mira yang memilih mengakhiri hidupnya di lorong itu karena tak kuat menanggung perundungan. Untuk menjaga nama baik sekolah, semua jejaknya ditutup, lorong dikunci, dan ceritanya dibiarkan memudar jadi sekadar gosip.

Sejak malam itu, sekolah mengadakan doa bersama dan tahlilan. Guru, siswa, bahkan alumni hadir untuk mendoakan arwah Mira. Lorong 3B dibersihkan, catnya diperbarui, dan cermin tua itu akhirnya dipindahkan serta diselimuti kain putih sebelum disimpan di gudang sekolah.

Sejak saat itu, tidak ada lagi gangguan di Lorong 3B. Rani berangsur pulih, meski masih enggan bicara panjang soal kejadian yang dialaminya.

Yang tersisa hanyalah sebuah pelajaran sunyi bahwa melupakan bukan berarti menyelesaikan. Kadang, justru dengan mengingat, kita bisa benar-benar melepaskan.

***

Pagi itu, lorong 3B kembali membuat geger. Seorang penjaga sekolah menemukan pintu yang biasanya terkunci rapat terbuka lebar. Bau apek menyeruak keluar, dan di dalamnya, Rani tergeletak pucat dan tidak sadarkan diri.

Ponselnya masih menyala, layar pecah menyorot ke arah cermin kusam yang penuh sidik jari. Sementara dinding lorong dipenuhi tulisan tangan tangan “Jangan lupakan aku… jangan lupakan aku…” dengan bercak darah.

Rani segera dibawa ke UKS. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia sadar, tapi saat bangun, ia hanya bisa menangis tanpa tahu jelas apa yang sudah dialami.

Kejadian itu membuat guru-guru tak lagi bisa bungkam. Mereka akhirnya menceritakan kisah lama yang selama ini disembunyikan. Bertahun-tahun lalu, ada seorang siswi bernama Mira yang memilih mengakhiri hidupnya di lorong itu karena tak kuat menanggung perundungan. Untuk menjaga nama baik sekolah, semua jejaknya ditutup, lorong dikunci, dan ceritanya dibiarkan memudar jadi sekadar gosip.

Sejak malam itu, sekolah mengadakan doa bersama dan tahlilan. Guru, siswa, bahkan alumni hadir untuk mendoakan arwah Mira. Lorong 3B dibersihkan, catnya diperbarui, dan cermin tua itu akhirnya dipindahkan serta diselimuti kain putih sebelum disimpan di gudang sekolah.

Sejak saat itu, tidak ada lagi gangguan di Lorong 3B. Rani berangsur pulih, meski masih enggan bicara panjang soal kejadian yang dialaminya.

Yang tersisa hanyalah sebuah pelajaran sunyi bahwa melupakan bukan berarti menyelesaikan. Kadang, justru dengan mengingat, kita bisa benar-benar melepaskan.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 5