Penulis: Adistya Armitayana – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bayangkan berjalan di sebuah desa tenang di Lombok, di mana rumah-rumah beratap ilalang, berdinding anyaman bambu, dan berlantai tanah kecokelatan yang terasa sejuk di telapak kaki. Tapi tunggu dulu — lantai itu bukan sembarang tanah. Ia terbuat dari campuran tanah liat dan… kotoran kerbau. Iya, kamu nggak salah baca. Bagi masyarakat Desa Sade, hal ini bukanlah hal yang aneh. Justru, inilah bagian dari tradisi yang sudah diwariskan turun-temurun. Dari luar, mungkin terlihat “tidak biasa”. Tapi di baliknya, ada cerita tentang kearifan, kebersihan, dan rasa hormat terhadap alam.
Di tengah dunia modern yang dipenuhi material buatan dan limbah plastik, praktik seperti ini jadi pengingat bahwa “hidup selaras dengan alam” bukan konsep baru. Orang-orang di Desa Sade sudah mempraktikkannya sejak lama — tanpa teknologi canggih, tanpa polusi, hanya dengan kebijaksanaan tradisi.
Masyarakat Suku Sasak di Desa Sade menganggap kotoran kerbau sebagai sumber bahan alami yang berharga. Campuran ini dibuat dari tanah liat, abu, air, dan kotoran kerbau yang telah dikeringkan. Selanjutnya, campuran dioleskan dengan tangan ke lantai rumah adat yang disebut bale tani. Setelah mengering, lantai menjadi dingin dan tidak berdebu. Selain itu, kandungan enzim alami kotoran kerbau berfungsi sebagai antibakteri alami, menjaga rumah bebas bahan kimia.
Masyarakat Sade melihat proses mengoleskan campuran ini ke lantai sebagai ritual kecil yang menghubungkan mereka dengan alam. Pengerjaannya dilakukan bersama keluarga, dan bahkan dianggap sebagai waktu untuk membuat keluarga lebih bersatu. Selain itu, proses ini dilakukan secara teratur, sehingga lantai tetap halus dan segar. Lapisan baru ini menunjukkan nilai kerja keras, kebersihan, dan cinta kepada warisan leluhur. Dipercaya juga bahwa penggunaan kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga dan menolak kekuatan jahat yang ditunjukan kepada pemilik rumah.

Tradisi ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat membantu kehidupan modern. Semua bahan bangunan di Desa Sade berasal dari alam: bambu, jerami, tanah liat, dan kotoran kerbau. Tidak ada semen, plastik, atau limbah industri di sini. Sistem hidup seperti ini mempertahankan kelestarian lingkungan. Seluruh limbah organik dikembalikan ke alam, dan tidak ada bahan yang mencemari tanah. Konsep zero waste telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kota, meskipun saat ini banyak dipromosikan oleh remaja.
Selain itu, kearifan lokal ini meningkatkan hubungan sosial di antara warga. Masyarakat bekerja sama dalam semangat gotong royong saat membangun atau memperbaiki rumah, sesuatu yang mulai jarang terjadi di kehidupan modern. Masyarakat Sasak menganggap rumah sebagai simbol hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu, menggunakan bahan alami adalah cara untuk menghormati alam yang telah memberikan kehidupan. Dipercaya juga bahwa penggunaan kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga dan menolak kekuatan jahat yang ditunjukan kepada pemilik rumah.
Di Desa Sade, kotoran kerbau bukan hanya bahan untuk membangun lantai, tetapi juga simbol kearifan lokal yang mengajarkan orang untuk hidup bersih, jujur, dan seimbang dengan alam. Bagi masyarakat Sade, sesuatu yang dianggap tidak berguna justru menjadi inspirasi dan makna. Tradisi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak pengetahuan lokal yang berharga, sederhana tetapi bijak. Bagi generasi muda, cerita seperti ini mengingatkan kita untuk tidak malu dengan budaya kita sendiri dan menyadari bahwa tradisi adalah dasar kemajuan, bukan penghalang.

Cerita tentang desa Sade dan lantai yang terbuat dari kotoran kerbau mungkin terdengar aneh bagi remaja yang hidup di dunia digital saat ini. Meskipun tradisi ini unik, itu mengajarkan sesuatu yang penting untuk masa depan: hidup sederhana bukan berarti ketinggalan zaman. Masyarakat Sade memberi kita pelajaran tentang bagaimana teknologi dan kemajuan seharusnya berjalan berdampingan dengan alam, bukan melawannya. Bahkan di tengah hiruk pikuk kota besar, prinsip-prinsip seperti kesederhanaan, kebersihan, kerja keras, dan harmoni dengan alam dapat diterapkan dalam kehidupan modern.
Selain itu, mengetahui tradisi seperti ini membantu remaja memahami apa itu “maju” yang sebenarnya. Meninggalkan budaya tidak selalu berarti kemajuan; sebaliknya, kemajuan berarti menemukan cara untuk mempertahankan identitas lokal sambil tetap beradaptasi dengan perubahan zaman.
Buat kamu yang tumbuh di era digital, mengenal tradisi seperti ini bukan cuma soal “unik” atau “eksotis”. Tapi tentang belajar menghargai nilai-nilai yang membuat Indonesia kaya. Kearifan lokal seperti di Desa Sade menunjukkan bahwa kemajuan dan tradisi bisa berjalan beriringan. Mungkin kita nggak perlu lantai dari kotoran kerbau di rumah, tapi semangat hidup bersih, ramah lingkungan, dan sederhana bisa banget kita bawa ke kehidupan sehari-hari.
Yuk, belajar dari kearifan lokal Indonesia! Mulai dari hal kecil: kurangi sampah plastik, rawat lingkungan, dan cintai budaya sekitar. Karena masa depan yang hijau dan berkelanjutan dimulai dari mereka yang tahu cara menghargai tanah tempatnya berpijak.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
