Majalah Sunday

Kencan Buta

Seorang teman kencan? Cinta suka memberi kejutan dengan topeng jenakanya. Cinta tak bisa dihayati dengan satu formula. Aku penuh perhatian mengenakan topeng keberanian, meramu cinta dengan bumbu rahasia. Adalah kejutan yang sangat membahagiakan, mengetahui betapa beruntungnya menemukan teman kencan secara tak sengaja untuk bersama-sama merampai dan mendekorasi cinta. It’s a match!

Suasana itu dimulai dengan makan malam istimewa. Seorang laki-laki berparas tampan dengan mobil Chevrolet datang di depan pintu rumah Shamira. Paris, kota kelahiran laki-laki itu memercikan sisi romantis kepadanya. Kami bermobil menyusuri jalan raya menuju Ristorante Italiano. Sebuah tempat romantis dengan dekorasi bergaya Eropa. Bunga violet di vas kaca. Musik Verdi mengiringi suasana kikuk kencan pertama.

Kami sejenak berdiam diri. Pelayan berjas putih dengan dasi kupu-kupu itu tersenyum menghampiri kami. Aku melirik tanda pengenalnya, A-L-D-O. Shamira memilih Ravioli. Teksturnya yang lembut dengan isian bayam dan Ricotta sangat nikmat disantap saat dinner. Teman kencan tampannya memilih Linguine Alle Vongole dan espresso. Diam-diam aku membayangkan campuran udang dan kerang berpadu bumbu ala Italia. Aku mual!

Kami berbicara tentang hal paling manis yang pernah terjadi. Semanis Tiramisu yang menjadi hidangan penutup makan malam terindah dalam hidupku. Michael menyendok lapisan whipped cream-nya dan tersenyum lebar. “Kamu cantik sekali. Aku ingin segera pulang ke Perancis, melatih merpati Notre Dame mengantar surat cinta yang kutulis untukmu.”

“Oh, terima kasih banyak. Jangan repot. Perempuan cantik lebih tertarik Buccellati daripada merpati.” Kataku. Aku merasa begitu kikuk berada di sampingnya. Aku telah berpikir keras menemukan jawaban yang mencairkan suasana. Kami jadi tertawa. Michael memegang lenganku, semakin merekatkan tubuhnya ke tubuhku. Dan…. Ia ingin menciumku.

Ini seharusnya menjadi ciuman pertamaku. Ia perlahan-lahan menjauh. Kilasan amarah di matanya merisaukan hati Shamira. Shamira mulai cemas memikirkan perjalanan pulang bersamanya. Sekian detik aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi kemudian Michael punya gagasan luar biasa. Setelah meneguk espresso ia meminta izin ke kamar kecil.

Aku menunggunya kembali dari toilet. Dua puluh menitku berlalu sia-sia. Ia belum juga kembali. Shamira jadi berpikir, apakah ia pingsan? Atau ia butuh waktu lebih lama lagi untuk memandangi lukisan yang tergantung di toilet? Ia punya cita rasa seni. Tiruan Mona Lisa mungkin lebih menarik diajak mengobrol.

Aku masih duduk diam di restoran Italia yang mulai sepi. Dengan seksama aku mengamati jarum detik jam tanganku yang semakin mendekati waktu tutup restoran. Bola mataku bolak balik memandangi pelayan.“Apa ada masalah, Nona?” katanya.

“Tolong periksa keadaan teman kencanku di toilet, apakah ia baik-baik saja”

Sebelum pelayan itu kembali, sebuah klakson khas Chevrolet Camaro terdengar dari tempat parkir. Perasaanku semakin tidak enak. “Sepertinya ia baru saja pergi, Nona” kata pelayan itu.

“Apakah ia sudah membayar semuanya?”

“Belum.” Pelayan itu menggeleng seusai Shamira memeriksa dompetnya di tas. Makanan di restoran mewah sudah dipesan. Shamira tahu uangnya hanya cukup untuk pulang naik taksi. Sialnya, ia tak membawa kartu kredit. Rasa panik kian melanda. Ia mungkin akan ditahan sehari semalam dengan keharusan mencuci piring dan membersihkan restoran.

“Jangan cemas, bayar saja kapan-kapan,” kata pelayan itu seolah bisa membaca pikiranku. Shamira tidak mungkin menolak. “Aplikasi dating tak sepenuhnya bisa dipercaya sebagai makcomblang. Apa kau merasa aman untuk pulang selarut ini?”

Aku ragu-ragu menjawab. “Aku takut. Apa kau tak keberatan mengantarku pulang?

“Aku tak keberatan. Tunggu sebentar,” katanya bergegas menyelinap keluar.

Dalam percakapan perjalanan pulang, aku mulai mengajaknya mengobrol tentang buku yang sedang kubaca. Kebetulan ia telah selesai membaca buku itu. Kebetulan lainnya lagi, selera humor kita setara. Laki-laki baik hati ini kerap melucu. Leluconnya membuatku tertawa. Ia mengubah suasana hatiku.

Kencan ini tidak buruk, masih menyenangkan. Seorang pemancar kehangatan mendarat di depan rumahku. “Kamu lucu banget, aku jadi merasa jauh lebih hangat,” kataku.

Ia tersenyum, menatap wajahku dengan kedua matanya. “Aku taksir, umurmu baru dua puluh tahun. Jangan iseng berkencan dengan sembarang laki-laki ya.” Ledeknya.

“Kayaknya aku perlu menambah rules nge-date deh. Jangan berkencan dengan penyuka seafood,” Ia setengah tertawa. “Sekali lagi terima kasih. Tunggu, aku akan mengambil uang dulu.”

Ia menolak dengan halus. Katanya, “Lupakan saja. Ayahku akan marah kalau aku menerima uang dari perempuan yang habis diperlakukan buruk di kencan pertamanya.”

Aku tercengang sekaligus malu mendengar itu. Sebelum mobilnya meninggalkanku, aku melambaikan tangan. Mengamatinya menyusuri jalanan kompleks hingga tak nampak lagi. Malam itu barangkali akan menjadi malam yang amat panjang. Aku rasa kita perlu saling bertemu kembali.

“Namaku Shamira.”

“Aku Aldo,” katanya. Kami tertawa. Rasanya agak geli, mengucapkan nama-nama kami manakala kami sudah mengenal sangat baik. Kami cukup cocok. Secara tak sengaja saja kami mengembangkan persahabatan hebat yang lebih mendalam. Aku segera tahu bahwa itulah cinta.

“Bagaimana kau bisa yakin itu adalah cinta?”

“Entah, kau akan yakin saja”

“Ya, benar. Aku juga yakin bahwa kau adalah orang yang tepat”

Ditulis oleh : Masriah – Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?