Penulis: Wafiq Azizah – UNJ
Tongkatnya ia hentakkan satu kali, kemudian ia pegang erat-erat. Kala itu—ketika bulan sabit perlahan menghirap sebab telah tiba masanya untuk bertransformasi—ia kokohkan kakinya untuk berdiri. Seluruh tubuhnya berdiam di satu tempat, lain dengan netranya yang terpaku pada pemandangan hitam tak terhingga di depannya. Akan tetapi ia tahu, itu bukan sekadar ruang hampa. Akan ada sebuah galaksi yang dalam beberapa masa menghampiri, bahkan menabraknya. Inilah akhir hidup baginya dan bagi galaksi yang juga sedang ia jaga sekarang juga, ia pun tahu itu.
Ia tak sepenuhnya takut, sejak ia dilahirkan oleh Dewa Astro, ia telah diberi tahu jalan hidupnya yang sebegini rupanya. Walau itu bukan satu-satunya pilihan. Gala seharusnya sudah diberi tahu pula bahwa dewi sepertinya bisa hidup untuk galaksi lain andaikata sekarang ia tidak berdiri menautkan telapak kakinya di satu tempat di Bimasakti. Namun ada sesuatu jauh di lubuk hatinya yang tak ingin memilih hal itu. Dewi dengan paras syahdu dan iris mata serupa galaksi Bimasakti itu tak bisa menjawab mengapa ia tak memilih pilihan itu.
Alasannya adalah seorang dewa penjaga galaksi serupa dengannya. Dewi Gala sendiri tidak yakin akankah di galaksi nun jauh itu ada kehadiran dewa yang turut mengimbangi penantian untuk kehilangan ini. Apa pun yang menjadi jawaban, tak ‘kan ia biarkan untuk menggoyahkan barang sedikit tekadnya untuk memilih mati melebur bersama tabrakan galaksi dibanding hidup tetapi memintal beribu jeratan rasa sakit.
Di galaksi seberang, ada Dewa Meda yang juga berdiri dengan sekuat tenaga usah peduli bahaya kehancuran di depannya. Wajahnya yang tegas bermandikan kemerlap Andromeda itu sudah membulatkan pilihannya. Menurutnya, buat apa hidup lebih lama lagi apabila tak bukan hidup bersama yang terkasih.
Hal itu sepenuhnya Meda sesalkan. Satu larangan yang Dewa Astro berikan kepada seluruh dewa penjaga galaksi, ialah mereka tak boleh mengunjungi galaksi lain manakala galaksi tersebut telah memiliki penjaga. Mereka hanya boleh melanglangbuana ketika galaksi yang mereka tempati hancur. Namun, rasa penasaran Meda melebihi segalanya. Ia penasaran mengapa hal itu menjadi pelarangan, ia penasaran mengapa itu menjadi satu-satunya larangan bagi para dewa dan dewi di sini.
Dulu, kira-kira lama sekali, akhirnya Meda bungkam rasa penasarannya dengan melintas pergi dari galaksinya. Rasa penasaran itu nyatanya dijawab oleh rasa penasaran yang lain. Ketika melintas lepas di luar angkasa, ia bertemu seseorang yang ternyata juga memiliki rasa penasaran sebesar dirinya. Ia cantik, rupa Bimasakti terukir di wajah dan matanya. Ia cantik, rupa-rupanya Meda sampai memberanikan diri untuk berkenalan dengannya.
“Aku Meda, penjaga Andromeda. Kamu?”
“Aku Gala, penjaga Bimasakti.”
Kiranya seribu satu pertanyaan terbendung hanya dengan lewat tatapan antara keduanya. Mereka termangu oleh keindahan masing-masing. Seolah puas menanggalkan tatapan pada setiap garis wajah yang dipandangnya, mereka tak jadi bertualang. Mereka pamit untuk selanjutnya kembali pulang.
Ketika pulang, laksana ada rindu yang tercerai-berai di hati keduanya. Serasa mereka butuhkan waktu untuk berjumpa lagi. Kendati mereka pun tahu, mereka tak boleh sering-sering ataupun berlama-lama meninggalkan galaksi yang mereka jaga, rasanya hasrat itu tak terobati sedikit pun seiring seluruh jagat berputar.
Lewat 100 tahun, mereka masih belum melupakan satu sama lain. Karenanya, Meda akhirnya mengawali pertemuan mereka yang semakin mendalam. Meda melintasi angkasa lepas, hingga dirinya singgah dengan sungguh di galaksi Bimasakti. Baru pertama kali, matanya langsung menangkap atma sang wanodya.
Meda tak menyadari pupilnya membesar lebih dari yang biasanya. Jantungnya dipompa lebih cepat dari yang ia selalu rasakan. Perutnya bergejolak manis dan ia menagih lebih.
“Kau datang ….” Sambutan pertama lolos dari bibir Gala.
“Kau menungguku?” balas Meda semakin merasakan gejolak di perutnya.
Pertanyaan itu hanya dibalas oleh anggukan samar dari Gala.
Saat itu, mereka tahu bahwa larangan Dewa Astro telah mereka langgar bersama. Sayangnya, mereka tak tahu kapan akan berhenti. Ada cara tak terkira untuk semakin mengetahui satu sama lain, dan itu keduanya lakukan selama bertahun-tahun. Meda akan ke galaksi di seberang untuk sekadar melepas rindu dengan berbincang-bincang, begitu pula dengan Gala.
Tanpa sangka, seorang dewa penjaga bintang mati mengetahui hal itu. Adalah ketika Dewa Gemi melewati seluruh galaksi, tetapi hanya galaksi Bimasakti dan Andromeda yang tak berpenjaga. Hal itu langsung dilaporkan ke Dewa Astro. Responnya hanyalah, “Biarkan, mereka akan tahu konsekuensinya.”
Walau hanya terkesan tak menghiraukannya, Dewa Astro mendekati kedua galaksi mereka. Benar bahwa keduanya sering meninggalkan galaksi hanya demi berbincang-bincang. Hal itu dilakukan bahkan ketika tinggal beberapa tahun lagi galaksi mereka akan bertabrakan. Baginya, konsekuensi telah diketahui bagi semua dewa-dewi penjaga ketika mereka lahir. Akan tetapi, dalam suatu waktu penjaga galaksi Andromeda dan Bimasakti itu menemuinya, mengajukan satu pertanyaan.
“Apakah ada suatu kondisi larangan tersebut dapat berubah?”
Dewa Astro hanya diam, tetapi diamnya adalah jawaban bagi mereka yang sedang mengupayakan asmaraloka mereka.
Lantas di sinilah mereka sekarang. Beberapa jam, menit, bahkan detik lagi galaksi yang mereka jaga akan bertabrakan. Namun mereka tidak beranjak sedikit pun dari tempat singgah mereka.
“Kalau harus memilih antara hidup dan mati, aku lebih memilih mati bersamamu. Setidaknya mati tidak jauh menyakitkan daripada kita melanggar larangan Dewa Astro terus-menerus atau memaksa dunia merestui kita,” ujar Meda di suatu waktu.
Kedua galaksi akan bertabrakan sebentar lagi. Kedua penjaga galaksi itu menutup mata. Sebentar lagi, mereka juga akan lenyap. Momen itu rupanya disaksikan oleh seluruh penjaga jagat. Mereka menyaksikan keduanya tak menghindar dari bencana yang akan menghancurkan tubuh mereka bersama.
Suara debuman yang teredam oleh ruang hampa di angkasa pun membahana, menggetarkan entitas angkasa lain yang berada pada jarak dekat. Kedua galaksi benar-benar bertabrakan dan melebur dari satu akibat tarikan yang sama-sama kuat.
Begitu saja Gala dan Meda mati. Padahal mereka bisa hidup abadi jikalau mau berpindah ke galaksi lain. Mau dikata bagaimana lagi, larangan adalah larangan, dan yang terjadi biarlah terjadi. Selama satu tahun kemudian, Dewa Astro mengumumkan larangan baru. Ia menyampaikan pengumuman itu melalui mimpi para dewa dan dewi.
“Para dewa dan dewi tidak boleh singgah dari galaksinya sedikit pun atau akan mati ketika mencoba pergi dari galaksinya.”
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.