Majalah Sunday

Kasih yang Pemilih

Penulis: Dyah Pramesti Purbowati- Universitas Negeri Jakarta

Menjadi anak perempuan pertama di sebuah keluarga berekonomi menengah ke bawah menjadikan Lila resmi menyandang gelar tulang punggung keluarga di umurnya yang baru menginjak 20 tahun. Berbekal nekat, ia berangkat ke ibu kota untuk mencari pekerjaan dengan gaji layak guna menghidupi tiga anggota keluarga lain yang masih setia menunggu kepulangannya di kampung halaman. Iya, tiga orang yang terdiri dari ayah, ibu dan juga adiknya. Ayah lila bukanlah seorang pekerja tetap, membuatnya dengan mudah tergantikan oleh pekerja yang lebih prima kala umur pria itu telah mencapai 60 tahun. 

Ini sudah tahun ketiga Lila pergi ke perantauan. Ia selalu mengirimkan gajinya dari aplikasi m-banking setiap bulan untuk menghidupi keluarganya di kampung halaman tanpa sekalipun berkunjung. Rasa rindu tentu menyerbu, hanya saja diperlukan uang lebih jika ia memaksa untuk bertemu. Lila tahu, bahwa adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar  masih perlu biaya yang cukup besar, membuatnya mengurungkan niat untuk pulang dan  lebih semangat mencari pundi-pundi uang. Bekerja lembur Lila jalani hanya untuk mencari uang tambahan. Berdesakan di angkutan umum pun ia lakukan setiap hari guna mendapatkan biaya transportasi terendah. Semua ia lakukan untuk keluarganya di kampung. Namun, yang Lila dapatkan justru sebaliknya.

“Ngapain kamu pulang Lil?” tanya Ibu kala mendapati Lila yang baru duduk di bangku tamu rumahnya sendiri dengan membawa sebuah koper besar di tangannya.

Lila mengernyitkan alisnya bingung, “memang Lila enggak boleh pulang, Bu?” tanyanya dengan tawa, menganggap pertanyaan sang Ibu hanya sebuah candaan belaka. 

“Bukannya enggak boleh, tapi kan sayang uangnya kalau kamu harus pulang. Mending uangnya buat adik kamu beli seragam baru untuk tahun depan daripada buat kamu pulang,” jawab Ibu dengan wajah serius membuat Lila kehabisan kata-kata.

“Yaudah, Bu, Lila masuk ke kamar dulu,” jawab Lila mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

“Eh, kamarmu udah jadi kamar adikmu. Lagian kan adikmu sudah mulai besar, butuh kamar sendiri. Toh kamu juga jarang pulang,” ujar Ibu sambil menghentikan langkah kaki Lila yang menuju ke kamarnya. 

“Terus aku tidur di mana?” tanya Lila berusaha menahan amarah. Ia benar-benar merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.

“Tidur di ruang tamu aja pakai kasur lantai, ambil sendiri di gudang,” jawab Ibu lalu pergi menjauh dari tempat Lila berdiri menandakan percakapan yang mereka lakukan telah selesai.

Lila tenggelam dalam kesedihan kala mendengar ucapan Ibunya. Sebelum pulang ke kampung halaman, ia diam-diam berharap bahwa keluarganya akan memberikan sambutan hangat untuk kepulangannya. Namun, realita tak mengabulkan harapannya. Ia berubah bagai orang asing yang tak disambut kepulangannya dan tak dihargai kehadirannya.

*****

“Lil jangan tidur mulu! Bantu Ibu cuci baju!”

“Lil tolong buatin Ayah kopi!”

“Mbak Lil, jangan pakai Wi-Fi! Aku lagi main game jadi lemot!” 

Baru dua hari Lila kembali ke rumahnya. Akan tetapi tak ada yang senang akan kepulangannya. Tidak ada sambutan hangat, tak ada pula pelukan rindu atau tatapan kasih sayang di mata keluarganya. Semua orang menyuruhnya melakukan ini dan itu tanpa membiarkannya beristirahat setelah perjalanan panjang. Mengeluh pun tak bisa, sebab mereka hanya menganggap Lila sebagai mesin pencetak uang keluarga.

“Galuh cepetan makan, Nak,” teriak ibu dari dalam dapur membuat adiknya langsung beranjak dari tempat ia duduk. “Iya, Bu,” balas Galuh, Adik Lila.

Lila menatap punggung Galuh yang kian menjauh dengan perasaan yang campur aduk. Panggilan sayang dari ibunya tadi membuat Lila merasa cemburu, ia juga ingin dipanggil dengan nada lemah lembut oleh ibunya, diajak untuk makan, dan diperhatikan. Namun, segalanya tak ia dapatkan. Ia berjuang di perantauan, lalu ia kini diasingkan tanpa sedikit pun kepedulian. Tanpa terasa, air mata Lila menetes menciptakan sungai kecil di pipi putihnya. Ketidakhadirannya di meja makan tak membuat keluarganya sudi untuk berhenti sejenak guna mencarinya. 

Lila terduduk tak kuasa menahan kesedihan. Mulutnya sengaja ia bungkam agar tak ada satu pun orang  yang menyadari kerapuhannya. Memilih untuk membiarkan air matanya terus mengalir sambil bergegas memasukan asal bajunya ke  koper, Lila berniat untuk kembali ke tanah perantauan. Tanpa berpamitan, atau mengucap sepatah kata, Lila menyeret koper besarnya meninggalkan rumah kecil itu dengan tangis yang masih belum berhenti.

konflik dalam hubungan yang berkepanjangan akibat silent treatment
Gambaran Lila yang Sedang Menangis

*****

Setelah keputusannya untuk meninggalkan rumah tanpa berpamitan di hari itu, Lila belum juga mendapatkan pesan atau telepon dari keluarganya. Tidak ada kata maaf yang terucap, atau pun serangkaian penyesalan basa-basi yang dikatakan oleh mereka. Lila hanya dapat menelan rasa pahit yang tersangkut di tenggorokannya. Pikirannya memaksanya untuk terus menghasilkan uang sebanyak mungkin untuk menghidupi keluarganya, hanya saja tubuhnya tak sejalan dengan pikirannya. Tubuh Lila lelah. Ia menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Laptop jadul yang bahkan sudah ketinggalan zaman. Laptop tua yang sudah tak mumpuni untuk membantunya menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia mengelus laptop usang itu sebentar, “terima kasih udah temenin aku berjuang, ya! Tapi mulai sekarang kamu bakal digantiin sama laptop baru aku!” ucap Lila sambil tersenyum getir. Di awal bulan ini, ia memutuskan untuk mengganti laptop kerjanya dengan spesifikasi yang lebih mumpuni. Ini pertama kalinya ia menghabiskan uang yang terbilang banyak untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat dari keluarganya. 

Beberapa saat setelahnya, Lila mendapatkan telepon yang selama ini ia tunggu-tunggu. Itu dari ibunya. Ia menatap ponsel usangnya sekilas, haruskah ia juga mengganti ponsel dengan merk terkenal nantinya? Menatap layar ponsel itu dengan lama, Lila mengumpulkan niat untuk mengangkatnya.

“Halo, Lil, ini ibu! Kok tumben kamu ngirim uang ke ibu cuman 1 juta? Kamu enggak salah kirim? Biasanya juga 2 juta! Mana sisanya? Jangan-jangan kamu habisin, ya!” tudingnya tanpa basa-basi. Lila terkekeh sejenak. Memang kenapa kalau uang hasil kerjanya ia gunakan untuk membeli keperluannya sendiri?

“Mulai bulan ini, Lila kirim uangnya cuma bisa 1 juta per-bulan, Bu. Kebutuhan Lila di sini makin banyak. Tenang aja, Lila enggak bakal pulang lagi, supaya enggak buang-buang uang,” ucap Lila dengan mantap. Meskipun begitu, lidahnya terasa kelu saat mengatakan kalimat kasar barusan.

“Lil, enggak gitu maksudnya! Nduk…,” ucap Ibu. Lila tak lagi sanggup mendengar ucapan dari wanita paruh baya itu lagi. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya dan menangis tanpa ia sadari. Rasa sakit karena diabaikan masih ada, tapi rasa ingin memaafkan juga tak kalah besarnya.

Lila mengetikkan sesuatu di ponselnya, ia berniat mengirimkan pesan untuk Ibu untuk mengurangi rasa bersalahnya. “Ibu, Lila masih sakit hati karena diasingkan di rumah sendiri, rasanya kasih yang kalian beri itu tidak memilih Lila. Untuk sekarang, Lila masih butuh waktu untuk memaafkan kalian. Kita ngobrol lagi nanti, ya, saat perasaan Lila sudah membaik. Semoga saat itu, kasih dari kalian akan memilih Lila juga.”

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 49