Karantina 14 hari membuat
orang-orang terpaksa berdamai
dengan sepi.
Aku ingat suatu kejadian,
seseorang pernah menyelinap
lewat daun jendela kamarku.
Wajahnya biru-biru, air matanya
telah membeku.
Di atas ranjang, ia duduk
termenung. Mengambil rokok di
saku lalu menghisapnya sehelai
tarikan nafas.
Saat itu aku sangat takut, sorot
matanya sangat sendu bahkan
melebihi angin menerpa sela
bambu.
Ia meminta kepadaku jika pukul
12 malam telah lewat,
kegelisahan akan datang
mengetuk perlahan pintu
kamarmu. Penyesalannya selama
ini adalah membiarkannya masuk.
sepi dan kegelisahan tidak dapat
dijadikan satu ruang, tambahnya.
Tetapi aku baru saja mendengar
cerita pilu. Aku yang sedang
sendiri dan pilu tiba-tiba
membukakan pintu untuk
kegelisahan, berkumpul jadi satu
di dalam kamarku.
Penulis : Juliano Nakahar Pangestu – Universitas Tama Jagakarsa