Majalah Sunday

Kala yang Niskala

Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta

Cicit burung-burung tak jelas entah di mana keberadaannya terdengar, sementara cahaya sang surya telah turun sedikit ke arah barat. Bersamaan dengannya, kelimun manusia ditumpahkan ke jalan raya, ada yang melenggang untuk pulang, ada juga yang melanglangbuana menuju dunia malam. Di masa transisi siang ke malam itu, orang mulai lelah dan agak sedikit gamang, termasuk seorang gadis yang baru saja pulang dari sekolah.

Gadis itu berjalan dari arah gang menuju jalan raya dua arah. Seragam putih birunya telah dilengkapi oleh peluh yang membuatnya basah. Berkali-kali ia tidur di tengah jam pelajaran karena mengantuk. Harap-harap, ia bisa sampai ke rumah lebih cepat supaya bisa langsung meneguk teh dingin dengan es batu kemudian merehatkan seluruh sukmanya yang sudah terasa remuk.

Biasanya, murid-murid yang ingin menyeberang jalan raya akan dibantu oleh seorang satpam. Namun, dwinetra sang gadis tak menemukan sosoknya barang sedikit pun. Padahal, satu-satunya cara pulang ke rumahnya adalah dengan naik angkot yang ada di seberang.

“Oh, mungkin lagi salat Ashar!” gumamnya optimis.

Istirahat sudah menjadi primadona keinginannya sekarang, lantas daripada mencari keberadaan satpam, sang gadis cilik itu pun berinisiatif untuk menyeberang dengan mandiri. Meskipun jalanan begitu ramai, ia tetap akan mencobanya. Akan jadi pengalaman untuk dirinya yang pertama kali menyeberang tanpa bantuan siapa pun.

Gadis itu menahan napasnya tatkala kedua tangannya direntangkan untuk memberi gestur berhenti pada kendaraan yang lalu. Kepalanya tak berhenti menoleh ke kanan dan ke kiri. Sekitar dua hingga tiga langkah lagi sampai, tetapi seolah gadis itu tak melihat ada sebuah motor yang melintas begitu lajunya dan menghantam tubuh si gadis. Dirinya terpental ke atas trotoar dengan darah yang mengalir dari tengkuknya. Ia tak sadarkan diri seketika. Pengendara motor yang tadi telah berhenti sesaat usai menabrak gadis itu berujung tancap gas kembali.

Pemotor yang menggunakan helm dengan jaket hitam dan sepeda motor ninja yang berwarna merah itu hampir beberapa kali menabrak pengendara lain saat kabur. Ia bahkan sempat diteriaki oleh warga yang turut menyaksikan peristiwa naas tersebut. Sayangnya, jejaknya benar-benar hilang. Warga pun langsung beralih mengerumuni tubuh si gadis. Kerah seragamnya kini tak lagi putih biru.

***

Laksana sebuah palu telah dipukulkan ke kepalaku. Rasanya begitu nyeri. Aku tak tahu datangnya dari mana. Aku juga tak bisa melihat apa pun. Segalanya gelap di sini. Nyeri yang ada di kepalaku jadi berputar-putar. Di saat demikian, aku mendengar suara ibu yang sedang memanggil namaku.

“Talia! Talia anakku!”

Suara ibu menggema, tetapi jauh. Aku tak mengetahui di mana ia sekarang. Ibu terus berteriak dan aku masih mendengarnya, walaupun nyeri di kepalaku terus bertambah dan suara ibu perlahan mengecil. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Aku tak bisa mendengar maupun melihat apa pun.

Menit demi menit, nyeri yang kurasakan pun pudar. Hening yang kudengar sebelumnya silih berganti menjadi suara monitor detak jantung yang tidak hentinya berbunyi. “Tit … tit … tit ….” Aku pun turut mendengar isak tangis ibu. Kurasakan genggamannya pada buku-buku jariku. Aku pun membuka mataku. Berkas cahaya sekelebat masuk ke mataku, asalnya dari lampu rumah sakit. Baru pertama kalinya aku berada di rumah sakit. Tak kusangka cahaya dari lampunya begitu redup. Mataku mengedar ke sekeliling, kudapati ada ibu di sebelah kananku.

“Ibu ….”

Dengan spontan, ibu langsung berdiri dan menangkup wajahku. “Talia, kamu udah sadar?” ucapnya lembut. Aku membalasnya dengan anggukan. Melihat respons yang aku berikan, ibu pun segera berlari ke arah pintu untuk kemudian berteriak, “Dokter! Suster! Anak saya udah sadar!!!”

Entah bagaimana, tetapi selanjutnya mataku menatap sosok ibu kembali dengan seorang dokter dan dua suster bersamanya. Kulihat ibu sedang menutup mulutnya sembari terus mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir menggunakan kardigan berwarna ungu yang sedang ia pakai. Kardigan itu pasti baru, sebab baru pertama kali kulihat ibu memakainya.

Dokter kemudian mendekatiku dan menempelkan stetoskopnya pada dadaku. Kedua suster yang lain memeriksa yang lain, ada yang memeriksa selang infus, dan ada yang mencatat sesuatu.

“Jadi gimana, Pak dok, apa Talia sudah bisa pulang nanti?”

 

Untuk sekarang Talia masih harus beristirahat dulu, ya, Bu, karena dia baru aja siuman. Nanti malam atau besok pagi, Talia baru bisa pulang.”

“Terima kasih banyak, Pak dokter! Terima kasih!”

Sesudah bercakap sedikit dengan dokter, ibu beralih mendekatiku. Dokter dan kedua susternya baru pergi setelah meresepkan obat kepada ibuku.

 

“Kamu dengar itu, Talia? Nanti kita bisa cepat pulang malam ini. Ibu akan masakin nasi goreng ati ampela kesukaan kamu!” Ibu begitu bersemangat mengatakannya kepadaku. Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman. Sejujurnya, aku pun sama bersemangatnya dengan ibu, pulang ke rumah dan makan nasi goreng ati ampela. Ini juga baru pertama kalinya aku akan mencoba nasi goreng ati ampela, aku tak ingat apakah pernah mencobanya sebelumnya atau tidak.

Sepanjang perjalanan, aku hanya tertidur karena suasana di taksi yang ibu pesan membuatku mengantuk. Saat sampai di rumah, ibu lebih dulu masuk mengabari ayah dan adikku, Alea, bahwa aku akhirnya bisa pulang dari rumah sakit. Sebelum itu, ibu menyalakan lampu di seluruh rumah, sedangkan aku mengekor di belakangnya. Ayah dan Alea menyambutku dengan senyum merekah mengindahkan wajah mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat dengan jelas seluruh isi rumah. Lampunya redup, seolah tidak ada gunanya sakelarnya ditekan tadi.

“Talia, gimana keadaanmu, Nak?” ucap ayah penuh rindu.

“Kakak! Aku kemaren berhasil nyusun puzzle-nya, lho!”

Ibu telah berada di dapur ketika ayah dan Alea akhirnya duduk di meja makan. Begitu pula diriku yang beranjak pergi masuk ke dalam kamar. Kucoba menyalakan lampu untuk duduk sejenak di pinggir kasur. Namun, lampunya lagi-lagi redup. Aku mencoba tidak memusingkan hal itu dan lebih memilih untuk menyusul ayah dan Alea ke meja makan.

“Ini dia nasi goreng ati ampela spesial buatan ibu!” seru ibu seraya membawakan sepiring besar nasi goreng dan meletakkannya di tengah meja. Aku sudah dapat menghidu wangi sedapnya dari kejauhan. Pasti enak dimakan hangat-hangat, batinku.

Dengan segera, ibu duduk membersamai di meja makan, ayah mengambil piring, Alea mengambil sendok, dan diriku yang melihat mereka semua menorehkan senyum. Kilau terpancar di mata mereka tanda seruan bahagia. Karenanya, aku pun jadi ikut tersenyum.

“Kenapa melamun begitu, Talia? Ayo makan nasi gorengnya.” Suara ayah tiba-tiba membuatku kembali fokus. Aku jadi kikuk dibuatnya. Lantas, dengan segera aku mengambil piring, sendok, dan nasi goreng.

Tatkala tiba saatnya aku hendak mengambil nasi goreng, aku gagal fokus lantaran cahaya lampu hanya menerangi nasi goreng. Cahayanya pucat meski warnanya kekuningan. Aku mencoba mengangkat kepalaku demi melihat sumber cahaya tersebut, ternyata lampunya condong ke arah diriku. Lampu itu aneh, pikirku. Aku pun mengikuti arah cahaya lampu tersebut menyebar. Usut punya usut, lampu itu benar-benar hanya menerangi nasi goreng dan diriku semata. Kemudian aku lemparkan pandangan ke arah ibu yang duduk di sebelah kiri, ayah di sebelah kanan, dan Alea yang duduk di depanku. Namun, cahaya lampu sama sekali tidak mengarah pada mereka. Pandanganku kuedarkan lagi ke sekitar meja makan.

Lampu yang aneh dan hanya bisa dilihat oleh Talia

Tidak ada cahaya sama sekali. Seluruhnya gelap gulita.

Adakah yang salah dengan lampunya? Atau justru ada yang salah dengan diriku? Sebab, kulihat keluargaku tidak terusik sedikit pun saat makan dengan kondisi yang gelap.

Kulihat senyum terus merekah di wajah keluargaku. Lalu saat ayah mencoba mengambil lagi nasi goreng, kulihat tangannya tetap tidak terkena cahaya lampu, meski berada di atas nasi goreng.

Tidak, ini tidak mungkin. Sungguh, ternyata ada yang salah dengan diriku.

***

Sedetik gadis itu mengedipkan matanya, ia telah berada kembali di rumah sakit tempatnya sebelumnya dirawat. Akan tetapi, kali ini sosoknya melihat ibunya sedang menangisi dirinya yang lain. Dirinya yang terbaring lemas dengan kepala yang diperban. Ada bercak darah di sana. Gadis itu seakan mengingat sesuatu, kemudian ia raba tengkuknya. Darah menetes dari tempatnya meraba tengkuk. Sekarang ia ingat seluruhnya.

Monitor pendeteksi jantung seketika berubah menampilkan garis yang monoton. Ia pun kemudian melihat ibunya semakin kencang menangis. Ibunya itu lantas berlari ke arah pintu dan berteriak memanggil dokter dan suster.

Ketika dokter tampak datang bersama kedua susternya dari pintu masuk, ibunya terlihat terjatuh lemas. Dokter itu segera melakukan CPR pada tubuh si gadis. Sosok lain dari gadis itu ternyata mencoba mendekati ibunya yang tak kuasa untuk berdiri. Ia menenangkan ibunya meski percuma, ibunya tak bisa mendengarnya bahkan melihat wujudnya. Wujud yang dilihatnya hanyalah wujud si gadis di atas kasur.

“Pasien ini yang sebelumnya koma selama 10 hari, ‘kan?” Dokter bertanya pada suster yang sedang mencatat sesuatu.

“Lebih, Dok. Dia udah koma selama 10 bulan.”

Selama 30 menit melakukan CPR, akhirnya dokter berhenti. Satu kata keluar dari mulutnya. “Maaf.”

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 160