Besok paginya, Rizal juga hilang.
Cuma ada jejak kaki ke arah tebing. Dan hilang di kabut.
Kami turun ke basecamp. Lapor. Tim SAR langsung naik bareng warga dan relawan. Pencarian dimulai hari itu juga. Seminggu. Dua minggu. Masuk minggu keempat. Tapi hasilnya sama: kosong.
Nggak ada Rizal. Nggak ada Ozzy.
Hari ke-30, pencarian resmi ditutup. Wajah Jose pucat. Farrel gak bisa ngomong apa-apa. Putra nyalahin GPS. Gue duduk di depan tenda basecamp sambil mandang kabut, ngerasa… semua ini udah ditulis dari awal.
Malamnya, salah satu bapak penjaga jalur naik duduk deket gue. Dia bilang pelan, “Kadang, yang hilang itu nggak nyasar. Mereka dipanggil pulang. Bukan sama siapa-siapa. Tapi sama alamnya sendiri.”
Gue cuma ngangguk. Entah kenapa, gue ngerti.
Beberapa minggu kemudian, gue tulis semua ini. Di kamar sempit di kota yang bising, tapi hati gue masih ketinggalan di antara kabut Gunung Lawu.
Gue tutup catatan ini dengan satu kalimat:
“Jiwa dan ragaku menyatu dengan alam… dan kini, gue tahu, mereka yang benar-benar mendengarnya, akan dipeluk selamanya oleh keabadian.”