Majalah Sunday

Jiwa dan Raga Yang Menyatu Dengan Alam

Penulis: Richie Kenza Efruan – UKI

Gue lupa siapa yang pertama nyebut ide ini. Farrel, mungkin. Atau Jose. Tapi yang jelas, pas liburan kemarau, kami berenam—gue, Farrel, Putra, Jose, Rizal, dan Ozzy—mutusin buat naik Gunung Lawu.

 
“Gue butuh kabur dari kota,” kata Jose sambil ngelempar ransel ke sofa.
 
Farrel nyengir, “Kabur ke mana? Ke alam liar? Lo bisa, Harp?”
 
Gue cuma ngangkat bahu. “Kalau kalian berangkat, gue ikut.”
 
Dan begitulah kami, sahabat sejak SMP, anak kota yang ngerasa sumpek sama bising dan beton, ngejar sesuatu yang lebih hening.
 
Setelah berhari-hari membahas rencana kita untuk mendaki Gunung Lawu, kami pun akhirnya setuju untuk pergi ke gunung itu selama tiga hari dua malam, kami pergi ke Gunung Lawu dari Jakarta Timur menggunakan Bus, kami juga sudah mempersiapkan semuanya seperti tenda, makanan, obat-obatan, dan perlengkapan yang lainnya.
Hari pertama pendakian semua santai. Farrel sibuk ngelawak, Putra bolak-balik cek rute, Jose gaya jadi leader, Rizal ngelamun sambil liatin pepohonan, dan Ozzy… makin sering diem. Dia suka duduk sendirian, nulis di buku kecilnya, atau mandang kabut lama banget. Pas istirahat, dia pernah bilang:
 
“Gunung ini… hidup, bro. Lo ngerasa gak?”
 
Gue ketawa kecil. “Maksud lo kayak ada yang ngawasin?”
 
Dia noleh ke gue, senyum tipis. “Mereka denger. Mereka panggil kita.”
 
Gue pikir dia cuma ngelantur.
 
Tapi malam ketiga, Ozzy ilang. Gak ada suara, gak ada teriakan. Sepatunya gak ada di luar tenda. Tenda kosong. Buku kecilnya kebuka, bungkus jajanannya Ozzy juga masih ada, termasuk bungkus Chitato rasa keju yang sebelumnya gue sama Ozzy makan bareng, halaman terakhir ada tulisan tangan:
“Jiwa kami tidak hilang. Kami telah kembali ke asal kami.”
Kami panik. Jose ngamuk, Farrel nangis, Putra muter-muter sekitar lokasi cari sinyal. Gue? Gue cuma bisa mandang ke hutan. Datar, kosong.
 
Setelah itu Rizal mulai aneh. Makin sering menyendiri. Tatapannya jauh, kayak liat sesuatu yang nggak bisa kita lihat. Suatu malam dia bilang ke gue,
 
“Dia dateng, Harp. Kakek-kakek tua. Duduk di sebelah gue tiap malam. Dia bilang tahu di mana Ozzy sekarang.”
 
“Zal, serius? Siapa sih kakek-kakek itu?”
 
“Penjaga. Dia bilang Ozzy nggak hilang. Dia pulang. Dan gue juga… kayaknya bakal nyusul.”
 
Gue mau ketawa. Tapi entah kenapa, tenggorokan gue kering.
 
Besok paginya, Rizal juga hilang.
 
Cuma ada jejak kaki ke arah tebing. Dan hilang di kabut.
 
Kami turun ke basecamp. Lapor. Tim SAR langsung naik bareng warga dan relawan. Pencarian dimulai hari itu juga. Seminggu. Dua minggu. Masuk minggu keempat. Tapi hasilnya sama: kosong.
 
Nggak ada Rizal. Nggak ada Ozzy.
 
Hari ke-30, pencarian resmi ditutup. Wajah Jose pucat. Farrel gak bisa ngomong apa-apa. Putra nyalahin GPS. Gue duduk di depan tenda basecamp sambil mandang kabut, ngerasa… semua ini udah ditulis dari awal.
 
Malamnya, salah satu bapak penjaga jalur naik duduk deket gue. Dia bilang pelan, “Kadang, yang hilang itu nggak nyasar. Mereka dipanggil pulang. Bukan sama siapa-siapa. Tapi sama alamnya sendiri.”
 
Gue cuma ngangguk. Entah kenapa, gue ngerti.
 
Beberapa minggu kemudian, gue tulis semua ini. Di kamar sempit di kota yang bising, tapi hati gue masih ketinggalan di antara kabut Gunung Lawu.
 
Gue tutup catatan ini dengan satu kalimat:
 
“Jiwa dan ragaku menyatu dengan alam… dan kini, gue tahu, mereka yang benar-benar mendengarnya, akan dipeluk selamanya oleh keabadian.”
Kisah Harper dan lima orang temannya yang mencoba menakluki Gunung Lawu yang membuat jiwa dan raga mereka bergelut menjadi tak karuan.
Salah satu jalur di Gunung Lawu yang pernah dipakai Harper dan teman-temannya untuk beristirahat sambil berfoto-foto dan menikmati pemandangan alam.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 77