Penulis: Dyah Pramesti Purbowati – Universitas Negeri Jakarta
Jiwa menatap ponsel miliknya kala banyak notifikasi yang ia dapatkan setelah beberapa saat lalu ia sengaja mengunggah sebuah poster sampul buku buatannya yang akan segera diangkat menjadi sebuah film layar lebar. Namanya kini semakin dikenal di kalangan masyarakat. Banyak orang yang mulai mengundangnya di berbagai acara guna memberikan kata-kata penyemangat dan juga masukan untuk penulis pemula. Banyak pula ajakan kolaborasi untuk membuat sebuah buku, yang tentunya pasti ia tolak sebab membagi pamor bukanlah keinginannya. Kepopulerannya yang kian meningkat tentu membawa pundi-pundi penghasilan yang baru. Semakin besar namanya, maka akan semakin laris pula buku yang ia buat sehingga semakin banyak pula penghasilan yang masuk ke dompetnya.
Sebuah notifikasi yang muncul di ponselnya kini menyita seluruh perhatian Jiwa. Notifikasi itu berisikan sebuah tawaran dari sebuah penerbit besar yang mana menawarkannya untuk menerbitkan sebuah buku di tempat mereka dengan tenggat waktu pengiriman naskah yang telah ditentukan. Tentu Jiwa tak ingin kesempatan sebesar ini dilewatkan begitu saja. Ia langsung membalas email tersebut dengan penuh semangat dan antusias tanpa memikirkan kapasitas kemampuannya. Ia langsung mengambil laptop miliknya dan mulai memikirkan plot cerita yang sekiranya akan ramai dibaca banyak orang. Tentu genre romantis menjadi pilihan yang paling aman. Selalu ada orang di dunia ini yang mencari secercah romantisasi di tengah dunia yang kian berkecamuk.
Genre romantis memanglah mudah untuk dibuat, hanya saja membuat plot cerita yang menyenangkan dan tidak pasaran merupakan sebuah tantangan tersendiri untuknya. Ia mulai kehabisan ide karena banyak bukunya yang telah berpartisipasi dalam genre serupa. Jiwa langsung mematikan laptopnya dan berharap dengan beraktivitas di luar membuat imajinasinya kembali mengalir dengan lancar. Namun, kali ini ia sedikit khawatir. Ia khawatir karena telah terlanjur memberikan janji untuk menyelesaikan naskah sesuai dengan tenggat waktu yang telah diberikan oleh penerbit besar itu sebelumnya. Waktu seakan mengejarnya terus menerus membuatnya merasa mulai tertekan dan sedikit ketakutan jika kesempatan ini akan hilang setelah berada di genggamannya.
***
Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu pun berlalu dan kini telah mencapai satu bulan lamanya imajinasi milik Jiwa seakan tertutup dengan sempurna. Tidak ada ide yang mengalir di otaknya, ia hanya merasa takut dan tertekan akan waktu yang terus tersita guna mencari imajinasi yang nyatanya tak kunjung tiba. Ia telah menghabiskan waktunya untuk membaca berbagai buku romantis, mencari film romantis terbaik, tetapi tak ada yang menggugah seleranya. Semua ide yang sempat muncul di kepala hanya berakhir di konflik awal saja. Tidak ada gambaran penokohan yang sempurna, atau akhir bahagia. Semuanya buram seolah semua idenya habis tak bersisa.
Ia kembali melihat media sosial yang belum ia tengok selama beberapa saat. Di sana banyak yang menawarkannya mengisi berbagai acara, mulai dari seminar, podcast, hingga menjadi juri sebuah perlombaan. Ia menatap lama pesan-pesan yang terus masuk itu dengan mata kosong, lalu setelah itu senyum kecil muncul di bibirnya. Ia bisa saja membuat sebuah perlombaan dengan tema serupa bukunya untuk melihat berbagai tulisan dengan ide menarik dan jarang ditemukan dari para penulis pemula. Jiwa langsung mendesain poster lomba dengan seadanya, memposting poster tersebut di media sosial yang telah diikuti oleh hampir 2 juta orang dan seketika banyak orang yang mengirimkan ide briliannya.
Jiwa hanya perlu menunggu seminggu untuk melihat banyak tulisan terbaik para penulis pemula memenuhi laptopnya. Beberapa jalan cerita menarik perhatiannya, akan tetapi ada satu cerita milik anak SMA yang benar-benar membuat dirinya tak bisa berhenti membaca tulisan itu. Ia dengan penuh kepercayaan diri langsung menulis ulang cerita tersebut dengan gayanya dan hanya membedakan nama tokoh-tokohnya tanpa takut ketahuan penulis aslinya. Bab demi bab telah Jiwa selesaikan, ia tinggal memberikan sedikit bumbu-bumbu guna menyempurnakan karyanya—karya jiplakannya— untuk segera dikirimkan ke penerbit.
***
Naskah yang dibuat oleh Jiwa telah ia kirimkan pada penerbit itu. Rasa senangnya memuncak kala ia mendapatkan pujian yang tiada habisnya dari pihak penerbit kala melihat jalan cerita yang ia buat di bukunya kali ini. Dengan kebanggaan yang telah menjalar ke ujung kepala, Jiwa langsung menandatangani kontrak pembagian royalti untuk buku yang kini resmi berjudul Lautan Elegi. Mereka memperkirakan penjualan buku akan mencapai jutaan eksemplar karena jalan cerita yang sulit ditebak dan memiliki pembawaan tokoh yang sempurna.
Setelah selesai dengan urusan buku terbarunya, Jiwa langsung mengumumkan karya-karya yang menjadi pemenang di perlombaan yang telah ia buat. Tentu saja ia tak sebodoh itu untuk menaruh nama penulis yang karyanya ia tiru di jajaran pemenang. Ia langsung mengirimkan hadiah yang dijanjikan dan menunggu karya barunya diterbitkan dan meraup untung sebanyak yang bisa ia bayangkan.
Setidaknya begitulah pikiran Jiwa berjalan. Namun, hal lain justru terjadi. Tepat satu minggu setelah ia menerbitkan karyanya, sebuah unggahan di media sosial menjadi momok keruntuhannya. Sebuah unggahan anonim memberikan analisis perbandingan secara detail antara karya terbarunya dengan sebuah teks cerita pendek yang tak asing di mata Jiwa. Itu adalah cerita pendek yang sebelumnya ia plagiasi. Tuduhan demi tuduhan dilayangkan oleh massa terhadapnya meskipun ia belum memberikan penjelasan apapun. Banyak notifikasi yang masuk ke ponselnya, entah dari penerbit, penggemar, atau pun dari orang yang tak ia kenal memaksanya untuk segera memberikan klarifikasi terhadap kasus yang kini mulai melebar. Komentar jahat mulai dilayangkan untuknya, dan yang bisa Jiwa lakukan hanya diam ketakutan.
Diamnya Jiwa justru menjadi jawaban itu sendiri. Tidak ada yang mau untuk berhenti mengirimkan sumpah serapah padanya. Tidak ada pula yang mau bekerja sama dengannya setelah Jiwa terlibat skandal paling menjijikkan untuk seorang penulis. Kontrak dengan penerbit yang sebelumnya direncanakan akan berlangsung selama beberapa tahun, kini diputus secara sepihak tanpa memberikannya kesempatan untuk mengelak. Kini, ia tak lagi dapat membayangkan masa depannya. Keserakahan sejenak membawanya masuk ke jurang tanpa ujung. Namanya telah rusak, wajahnya sudah dicap sebagai pendosa, dan karyanya mulai diragukan keasliannya. Tidak berhenti sampai di sana, bahkan karya sebelumnya yang akan difilmkan kini sudah mendapat reaksi negatif dari masyarakat. Orang-orang kini mulai bersumpah untuk tak akan menikmati karyanya lagi, dan kini ia mengetahui satu hal yang pasti. Kepopuleran membawa karirnya ke puncak tertinggi, akan tetapi kepopuleran pula yang membawanya ke jurang terdalam.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.