Penulis: Dieny Zaina Izzati – UNJ
Di era media sosial yang serba visual, banyak dari kita tanpa sadar mulai memandang tubuh sebagai aset digital. Foto-foto tubuh ideal bertebaran di mana-mana. Tren seperti #bodygoals atau #hotgirlseason pun seolah-olah menuntut kita untuk selalu tampil menarik di depan kamera. Tak hanya itu, tubuh juga sering dijadikan alat untuk meraih likes, followers, atau validasi sosial dari orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal.
Lalu, tanpa kita sadari, muncullah tekanan:
“Aku harus langsing, putih, tampil seksi biar dapat perhatian.”
“Kalau aku tampil biasa aja, siapa yang bakal nge-like?”
“Kayaknya semua orang sekarang tampil total di medsos, aku harus ikut juga deh.”
Tapi… apakah tubuhmu benar-benar hanya tentang bagaimana orang lain melihatmu?
Komoditas itu artinya barang yang dijual-belikan. Bayangkan kalau tubuh kita dianggap sebagai “barang dagangan”—yang nilai harganya naik turun tergantung penilaian orang luar. Menyeramkan, bukan?
Namun realitanya, banyak remaja—baik perempuan maupun laki-laki—secara tidak sadar mulai menilai harga dirinya berdasarkan tubuh: bentuk, ukuran, warna kulit, bahkan apa yang dikenakan.
Lebih dari itu, makin banyak konten yang mengaitkan penampilan fisik dengan nilai sosial. Seolah-olah tubuh kita harus “menjual sesuatu”: perhatian, kekaguman, bahkan uang.
Padahal, tubuhmu bukan komoditas yang harus dipasarkan. Dirimu nggak harus “menjual diri” hanya demi pengakuan atau popularitas. Kamu tetap berharga, dengan atau tanpa tubuh yang sesuai standar media
Siapa sih yang nggak senang dapat pujian? Tapi hati-hati: kalau kita terus-terusan mencari validasi dari luar, lama-lama kita jadi lupa bagaimana mencintai diri sendiri dari dalam.
Akibatnya, hal-hal berikut bisa terjadi:
Bahkan, bisa rela melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri (seperti memamerkan tubuh berlebihan demi viralitas).
Karena itu, penting untuk diingat: validasi yang paling penting datang dari diri sendiri. Bukan dari jumlah views, komentar, atau likes.
Kebanyakan foto dan video yang kamu lihat di medsos sudah melalui filter, editan, dan pengambilan gambar berkali-kali.
Jadi, kamu nggak perlu merasa gagal hanya karena tidak “seperti mereka”.
Follow akun yang menyebarkan body positivity, self-care, dan edukasi, bukan akun yang membuatmu merasa minder dengan tubuhmu sendiri.
Jika kamu merasa makin sering insecure setelah scroll media sosial, coba rehat sejenak. Curhat ke teman, baca buku, atau lakukan hal lain yang kamu suka untuk menenangkan pikiran.
Makan sehat, tidur cukup, olahraga, merawat kulit—semua itu boleh kamu lakukan. Namun pastikan alasannya karena kamu peduli pada dirimu sendiri, bukan karena tekanan dari luar.
Kamu nggak perlu membagikan setiap bagian tubuhmu hanya untuk dilihat orang. Kamu punya hak atas privasi tubuhmu.
Tubuhmu adalah rumah tempat jiwamu tinggal. Ia menampung luka, perjuangan, dan kisahmu yang nggak pernah bisa digantikan orang lain. Jangan biarkan tekanan sosial atau tren online mengubah cara kamu memperlakukan tubuhmu sendiri.
Maka dari itu, jangan sampai kamu merasa harus jadi versi yang “disukai orang” hanya demi validasi sosial dan diterima orang lain. Nilai diri kamu nggak tergantung dari seberapa “menarik” kamu di kamera. Tubuh kamu adalah bagian dari dirimu yang layak dijaga dan dihargai.
Kamu berharga karena jadi diri sendiri, bukan karena seberapa banyak yang nonton kamu.
Jadi, mulai sekarang, yuk ubah cara berpikir kita. Cintai tubuhmu bukan karena ingin terlihat sempurna, tapi karena kamu pantas dicintai—oleh dirimu sendiri.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.