Majalah Sunday

Harapan Dan Kenyataan: A Lost Toy

Penulis: Richie Kenza Efruan – UKI

Sudah tiga tahun sejak terakhir kali aku melihat wajah Tommy. Tiga tahun sejak tangan kecil itu menggenggam tubuhku dan berseru, “Lawan terus, Vargas!” Saat itu, aku adalah pahlawan, tokoh utama dalam setiap petualangannya. Tapi sekarang? Aku hanya seonggok plastik dengan jubah kumal, terdampar di rak berdebu sebuah toko barang bekas.


Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sana. Yang kuingat hanyalah kotak mainan itu, tertutup, gelap… lalu sunyi. Dunia luar berubah tanpa aku. Tommy
pergi. Aku tertinggal. Dan aku tidak bisa menerima itu.
Malam-malam panjang kulewati dalam diam, hingga suatu malam, suara berat menghentikan lamunanku.

“Kau baru, ya?”

Aku menoleh. Di bawah, duduk sebuah mainan mobil balap jenis sprint car, dengan cat yang menyerupai bendera Amerika. Mobil balap itu
berbicara melalui radio yang ada di dalamnya.


“Hah? Kamu yang berbicara denganku?” tanyaku kepada mobil balap itu sambil menggaruk kepalaku kebingungan.


“Iya, betul. Aku bertanya kepadamu Matador. Apakah kamu baru disini? Aku tak pernah melihatmu disini sebelumnya.”


“Iya, aku mainan baru disini, namaku Vargas.” kataku dengan nada yang pelan. Sebenarnya aku sudah dua minggu disini, akan tetapi aku baru dipindahkan ke rak ini kemarin siang disaat mainan monyet astronaut yang diletakkan disini laku terjual.”


“Oh baik…Aku Speedster,” balasnya. “Dulu aku milik anak bernama Jonathan. Tapi itu cerita lama.”

“Kau juga ditinggalkan?”

Ia tertawa pelan. “Kau bilang begitu seolah itu bukan hal biasa.”
Aku diam. Bagiku, kehilangan Tommy bukan biasa. Itu… menghancurkan.


“Aku sedang mencarinya,” kataku akhirnya. “Tommy. Pemilikku. Kita berpisah tiga tahun lalu dan aku masih mencari keberadaannya”


Speedster menatapku lama. “Tiga tahun dan kau masih juga berharap?”


Aku mengangguk. “Aku tidak tahu ke mana harus pergi kalau bukan padanya.”

Ia tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan. “Kalau begitu… mari kita cari dia.”


“Tunggu tunggu! Kau adalah mobil remote control, bagaimana caranya aku bisa mengontrol-mu?” dan bagaimana jika nanti baterai-mu habis diperjalanan?”


“Tenang, kau lihat stik remote-ku yang berwarna hitam di atas lemari kayu itu?” Speedster menunjukkan remote-nya dengan cara menggoyangkan badannya ke arah kanan.


“Ya, aku melihatnya!”


“Bagus. Panjat saja lemari itu dari belakang dan bawakan aku remote control-ku, di dekat situ juga ada empat buah baterai cadanganku.”


Aku melaksanakan apapun yang Speedster perintahkan kepadaku agar aku dapat bertemu dengan Tommy.
Petualangan kami dimulai di tengah malam, saat penjaga toko tertidur dan jendela belakang terbuka. Kami menuruni dinding rak, melompati tumpukan koran bekas, dan menapaki jalanan kota.


Speedster mungkin merupakan mainan lama, tapi ia punya pengalaman. Ia tahu cara menyelinap ke dalam truk pengantar barang, tahu jalur di bawah pagar sekolah,
dan tahu kapan harus diam saat manusia lewat.

Pernah gak sih berharap sesuatu yang indah tapi terbentuk kenyataan? Hal ini bisa kita refleksikan lewat cerpen "A Lost Toy"
Speedster, si mobil balap remote control

“Aku pernah berpikir Jonathan akan mencariku,” katanya suatu hari.“Tapi dunia mereka bergerak terlalu cepat.”

Kami melewati taman-taman, pasar loak, tempat penitipan barang hilang, bahkan sempat masuk ke rumah lama Tommy—mencari wajah itu. Wajah yang aku hafal di luar kepala. 

“Dan jika dia tak mengenalmu lagi?” tanya Speedster saat kami berteduh di bawah bangku taman.

“Aku tetap harus melihatnya,” jawabku.

“Aku hanya ingin tahu… apakah aku masih berarti.”

Sampai suatu siang, kami tiba di taman bermain yang familiar. Ayunannya masih berderit seperti dulu. Rumputnya masih bau embun pagi. Aku berdiri diam di tengah pasir.

“Tempat ini…” gumamku. “Kami sering ke sini. Aku, Tommy, dan Ayahnya.”
Kami duduk lama. Kenangan menyeruak, menyengat.

Lalu aku melihatnya. Sebuah papan pengumuman tua, dipenuhi selebaran dan
jadwal kegiatan. Salah satunya: daftar siswa pindahan ke di sekolah itu. Dan di baris keempat: Tommy Rodgers.
Aku hampir tak bisa berdiri karena rasa yang mengalir begitu deras: harapan.

“Dia… dia masih ada,” kataku. “Speedster, kita bisa menemuinya!”
Perjalanan ke kota lain bukan hal mudah. Speedster kehilangan satu roda belakangnya. Kami harus berganti kendaraan, menumpang bak truk, dan tidur di
bawah bangunan kosong. Tapi kami terus maju.
Sampai akhirnya, kami tiba. Sekolah Moon Valley menjulang tinggi di depan kami, modern dan terang. Anak-anak berlarian, membawa tablet, robot mainan, dan boneka canggih yang bisa bicara.
Aku berdiri diam. Di balik pagar, aku melihat sosok itu—Tommy. Tingginya sudah bertambah, rambutnya lebih rapi. Tapi itu dia. Anak kecilku. Namun aku tak bisa melangkah.

“Vargas?” suara Speedster pelan.

Aku menunduk. “Lihat dia… dia sudah berubah.”

“Lalu? Bukankah itu yang kau tunggu?”

Aku menatap tangan-tangan kecil itu. Mereka tak lagi memegangku. Tak butuh jubah merah atau seruan petualangan. Tommy tumbuh… dan aku tidak ikut tumbuh bersamanya.
Kami menunggu sampai lonceng pulang berbunyi. Lalu kami duduk diam di tepi jalan. Tak satu pun dari kami berbicara.

“Aku pikir aku ingin dilihat olehnya,” kataku pelan. “Tapi sekarang… aku tahu. Aku tak ingin mengganggu hidupnya. Aku ingin dia bahagia.”
Speedster menatapku dengan mata retaknya. “Kau akhirnya mengerti.”

Kami kembali ke taman tempat kami pernah berhenti. Anak-anak kecil berlarian, tertawa tanpa beban. Seorang bocah perempuan melihatku dari kejauhan, lalu memungutku.

“Lihat, Kak! Matador! Bisa diajak main!” serunya.

Tak lama, Speedster pun diangkat oleh seorang anak laki-laki. Mereka membuat arena balap berukuran luas di belakang taman kanak-kanak, menyalakan imajinasi, menciptakan dunia baru.

“Ayo Owen, mari balapan! Aku akan menggunakan mobil balap biru dan kamu bisa memakai mobil mainan milikmu.” Ucap seorang anak dengan wajah yang ceria.

Aku menoleh pada Speedster yang sudah ditempatkan di sebuah arena balapan
bersama dengan tiga mobil lainnya berwarna putih, hitam, dan merah. Mereka semua siap untuk bertanding dan menghibur anak-anak.

“Kita tak lagi mainan lama,” kataku.

“Kita memiliki kesempatan baru disini,” jawabnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, aku merasa pulang. Bukan karena aku kembali ke tangan Tommy. Tapi karena aku kembali menjadi sesuatu yang berarti—untuk tangan kecil yang lain.

Aku akhirnya mengerti, pencarian ini bukan tentang kembali ke masa lalu. Tapi tentang menemukan tempat baru di dunia yang terus berubah. Speedster dan aku mungkin tak pernah lagi dimiliki. Tapi kami masih bisa dicintai. Dan kadang, itu lebih
dari cukup.

Seorang anak yang sedang bermain dengan tiga buah mainan di taman kanak-kanak. Maneki Neko, Crackerjack, dan Vargas.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 50