Melkisedek Raffles – UKI
Kata penyihir “witch” memang sering diasosiasikan dengan kejahatan, ilmu hitam dan kutukan. Padahal istilah ini berasal dari kata “wicce” untuk perempuan dan “wicca” untuk laki-laki, dalam bahasa Inggris Kuno yang berarti orang yang tahu atau orang bijak. Dari akar kata itulah lahir istilah witchcraft, yang sebenarnya bermakna kerajian atau keahlian orang bijak, bukan sihir jahat seperti yang sering digambarkan.
Sebelum dianggap berbahaya, witchcraft berasal dari praktik kuno yang berakar pada budaya Celtic, Nordik, dan paganisme Eropa. Penyihir awalnya adalah penyembuh, dukun, dan pemelihara tradisi alam. Mereka mengerti ramuan herbal, fase bulan, dan energi alam — bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menyeimbangkan kehidupan. Namun, ketika pengaruh gereja menguat, pengetahuan ini dianggap menyesatkan dan bertentangan dengan ajaran agama.
Pada masa pra-Kristen, terutama di Eropa Utara dan Kepulauan Inggris, penyihir adalah penyembuh, tabib, dan penjaga ilmu alamiah. Catatan antropologis dari Sir James Frazer dalam The Golden Bough (1890) menyebut bahwa masyarakat Celtic, Nordik, dan Romawi memiliki kelompok spiritual yang mempelajari kekuatan alam, bintang, dan unsur bumi. Mereka disebut Druid, seiðr (di Skandinavia), atau oracle priestesses di Yunani kuno. Ritual mereka melibatkan meditasi, ramuan herbal, dan komunikasi simbolik dengan alam — bukan pemujaan setan seperti yang kelak dituduhkan.
Catatan Latin karya Tacitus (Germania, abad ke-1 M) bahkan menggambarkan perempuan Nordik dengan kemampuan divination (meramal masa depan) sebagai sosok terhormat di masyarakat. Namun, seiring masuknya kekuasaan gereja pada abad pertengahan, semua praktik non-Kristen dicap sebagai heresy (ajaran sesat), dan dari situlah “witch” mulai berubah maknanya menjadi sosok yang berbahaya.

Sihir dalam bentuk tertulis sering kali disamarkan dalam simbol dan tanda-tanda rahasia. Bangsa Nordik kuno menggunakan rune — sistem huruf yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Misalnya:
Algiz (ᛉ) melambangkan perlindungan dari bahaya,
Ansuz (ᚨ) melambangkan kebijaksanaan dan ilham ilahi,
Fehu (ᚠ) untuk kemakmuran dan kekuatan materi.
Catatan tentang penggunaan rune ditemukan di situs arkeologi Lindholm Høje (Denmark) dan Rök Runestone (Swedia), menunjukkan bahwa tulisan-tulisan itu bukan sekadar alfabet, tapi bagian dari ritual spiritual.
Selain rune, muncul juga sigil, yaitu lambang pribadi yang dibuat untuk menyalurkan energi atau niat tertentu. Tradisi sigil populer di kalangan penyihir abad ke-15–16, terutama setelah berkembangnya Grimoires (kitab sihir) seperti The Lesser Key of Solomon. Simbol-simbol itu sering digambar di lilin, jimat logam, atau bahkan disulam di pakaian, agar tidak dikenali sebagai sihir oleh pihak gereja.
Dalam studi Occult Philosophy (1531) karya Heinrich Cornelius Agrippa, dijelaskan bahwa simbol dan tanda adalah “jembatan antara dunia material dan spiritual.” Banyak penyihir percaya simbol tertentu bisa menghubungkan pikiran manusia dengan energi kosmik, seolah-olah mereka menulis doa dalam bahasa alam semesta.

Penyihir kuno dikenal sebagai herbalist dan alchemist — ilmuwan alam sebelum sains modern lahir. Mereka memahami bahwa setiap tumbuhan, batu, dan warna memiliki getaran energi atau frekuensi yang berbeda. Contohnya:
Dalam Herbarium Apuleius (abad ke-11), kitab medis Anglo-Saxon, banyak resep pengobatan herbal yang diambil dari praktik witchcraft kuno, hanya diganti istilah religius agar tidak dianggap sesat. Sementara di Italia, teks abad ke-14 berjudul “Compendium Maleficarum” menggambarkan bagaimana penyihir menggunakan salep dari tanaman belladonna dan mandrake untuk memicu halusinasi — yang kemudian diyakini masyarakat sebagai “sihir terbang dengan sapu”.
Ritual dengan lilin juga berasal dari praktik kuno fire magic. Warna lilin dipercaya mewakili intensitas energi: merah untuk kekuatan, hijau untuk kesuburan, putih untuk perlindungan. Bahkan kini, tradisi candle magic masih bertahan dalam Wicca dan neopaganisme modern, sebagai bentuk meditasi dengan elemen api — bukan pemujaan iblis, melainkan harmonisasi dengan energi alam.

Banyak catatan sejarah dan folklor menyebut penyihir memiliki kemampuan supernatural. Dalam teks Islandia abad ke-13, Edda Prose, diceritakan para seiðr bisa memanggil badai atau mengubah cuaca — kemampuan yang oleh masyarakat Kristen disebut “kuasa iblis”.
Konsep seperti clairvoyance (melihat masa depan), clairsentience (merasakan energi), dan claircognizance (mengetahui tanpa proses logika) sebenarnya punya akar kuat dalam mistisisme kuno. Para filsuf Yunani seperti Plotinus dan Pythagoras percaya manusia memiliki psyche yang bisa menangkap getaran realitas tak kasat mata. Ini sejalan dengan keyakinan penyihir bahwa intuisi adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan — sesuatu yang kini banyak diteliti dalam psikologi transpersonal dan metafisika modern.
Catatan antropolog Margaret Murray dalam The Witch-Cult in Western Europe (1921) mengemukakan bahwa penyihir menjaga rahasia mereka dalam coven — kelompok tertutup beranggotakan 12 orang dan satu pemimpin (High Priestess). Mereka bertemu di malam tertentu, seperti Sabbath of Beltane atau Samhain, untuk ritual yang lebih menyerupai doa dan meditasi energi daripada pemujaan iblis seperti yang digambarkan gereja.
Karena tekanan dan ancaman eksekusi, mereka menulis catatan dalam simbol, menyembunyikan alat ritual sebagai benda rumah tangga, dan mewariskan pengetahuan hanya lewat lisan. Semakin ditekan, semakin misterius dunia mereka terlihat..
Pada Maret 1644, seorang pria bernama Matthew Hopkins mengaku telah menemukan enam penyihir di desa Manningtree, Inggris. Ia menuduh mereka berusaha membunuhnya dengan sihir. Dari situlah Hopkins mulai dikenal sebagai “Witchfinder General” — pemburu penyihir paling terkenal sekaligus paling kejam dalam sejarah Inggris.
Antara tahun 1644 hingga 1647, Hopkins bertanggung jawab atas lebih dari 300 eksekusi penyihir, sebagian besar di wilayah Essex, Suffolk, Norfolk, Huntingdon, dan daerah East Anglia. Ia berkeliling dari satu kota ke kota lain, menawarkan “jasa” untuk memburu dan memaksa para tersangka mengaku sebagai penyihir, sering kali melalui siksaan berat. Bayaran yang diterimanya bisa setara dengan gaji satu bulan pejabat kota.
Salah satu metode paling kejam yang digunakan adalah “ujian air”. Para tersangka akan diikat lalu dilemparkan ke dalam sungai atau danau. Jika mereka tenggelam dan mati, berarti mereka tidak bersalah. Namun jika mereka mengapung, itu dianggap bukti bahwa air “menolak” mereka — tanda bahwa mereka adalah penyihir yang menolak baptisan. Ironisnya, pada tahun 1647, Hopkins sendiri dituduh sebagai penyihir dan meninggal dunia tak lama kemudian, dengan rumor bahwa ia menjadi korban dari sistem kejam yang ia ciptakan sendiri.
Selama masa puncak perburuan penyihir di Eropa antara abad 15 hingga 17, ribuan perempuan dan beberapa laki-laki dituduh melakukan sihir hitam. Mereka sering kali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Tuduhan muncul dari gosip, penyakit misterius, gagal panen, hingga mimpi warga yang mengaku “melihat” mereka terbang di malam hari.
Metode eksekusi yang paling terkenal adalah dibakar hidup-hidup di tiang kayu. Tangan dan kaki para tersangka diikat, lalu tubuh mereka dinaikkan ke tiang sebelum api dinyalakan di bawahnya. Upacara pembakaran ini dilakukan di depan umum — di alun-alun kota, dengan banyak warga datang menyaksikan, bahkan bersorak, menganggapnya sebagai tindakan “pembersihan dosa.”
Salah satu kasus paling terkenal terjadi di Würzburg dan Bamberg (Jerman) antara 1626–1631, di mana lebih dari 900 orang dieksekusi karena tuduhan sihir. Di Skotlandia, sekitar 4.000 orang juga menjadi korban, sementara di Perancis dan Swiss, angka totalnya mencapai belasan ribu. Catatan sejarah menyebutkan bahwa banyak dari mereka hanyalah tabib, bidan, atau perempuan independen yang dianggap mengancam tatanan sosial patriarkal dan dogma gereja.
Di balik nyala api itu, bukan sihir yang dibasmi — melainkan pengetahuan kuno, kebijaksanaan alam, dan suara perempuan yang dibungkam oleh ketakutan dan kekuasaan.

Ketika Eropa memasuki abad ke-15, Gereja Katolik dan otoritas sekuler mulai melancarkan perburuan penyihir besar-besaran. Ironisnya, sebagian besar korban bukanlah pelaku sihir jahat, tetapi perempuan tua, bidan, atau herbalis yang menentang dogma resmi. Catatan resmi dari Malleus Maleficarum (1487) menunjukkan bagaimana ilmu herbal dan pengetahuan alam distempel sebagai bentuk “kebersekutuan dengan setan.”
Namun di balik stigma itu, para penyihir kuno sebenarnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Mereka memahami bahwa energi tidak baik atau jahat, hanya bagaimana manusia menggunakannya. Dalam pandangan neopagan modern seperti Wicca (Gerald Gardner, 1950-an), penyihir adalah sosok spiritual yang menekankan tiga prinsip utama: harm none, respect nature, dan seek wisdom.
Kini, warisan witchcraft hidup kembali dalam bentuk baru: praktik meditasi, aromaterapi, astrologi, dan spiritual healing. Semua berakar dari ajaran penyihir kuno tentang harmoni antara energi, pikiran, dan alam. Mereka bukan makhluk kegelapan — hanya manusia dengan sensitivitas terhadap dunia yang tak bisa dilihat orang lain.
Witchcraft adalah cermin bagaimana ketakutan bisa mengubah makna pengetahuan. Dahulu mereka disebut bidan, herbalis, atau filsuf alam; kini mereka disebut penyihir. Namun di balik semua legenda, satu hal tetap sama: mereka adalah pencari kebenaran yang tak takut menelusuri hal-hal yang tak dimengerti dunia.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
