Penulis: Salsabila Azahra – UNJ
Hari masih pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh, jam pelajaran di sekolah pun masih berlangsung. Tetapi, aku sudah ingin cepat-cepat pulang. Hampir seluruh anak laki-laki di kelasku menunjuk ke arahku sambil tertawa. Tadi Bu Sri memanggilku ke depan kelas untuk menyelesaikan soal persamaan linear. Aku mendengar suara Talita berbisik-bisik memanggil namaku dan juga suara cekikikan yang ditahan. Aku tidak menggubris semua kericuhan di belakang, takut Bu Sri akan memarahiku.
“Kenapa sih? Koncone lagi jawab soal diperhatikan!” Aku melirik ke kiri, Bu Sri menatap sinis seisi kelas. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Begitu kembali ke tempat duduk, aku baru paham penyebab huru-hara di kelas barusan.
“Nduk, kamu lagi datang bulan? Sampai bocor gitu, jorok sekali. Ke kamar mandi sana! Malu diliat seng lanang.” Tanpa bertanya lebih lanjut, aku langsung berlari ke kamar mandi dengan diiringi gelak tawa anak laki-laki. Hampir tiga puluh menit aku berkutat dengan noda darah. Tidak ada sabun di kamar mandi sekolah yang bau ini. Jadi dengan sekuat tenaga, aku hanya menggosoknya dengan air. Sebenarnya aku sudah tidak punya muka di hadapan teman-temanku, tetapi sekolah masih berlanjut dan dunia masih berputar.
Sekarang seisi kelas tahu kalau aku sedang datang bulan, tinggal menunggu waktu hingga berita ini tersebar ke seantero sekolah, bahkan desa. Begitu sampai di rumah, aku segera mencuci rok kotor ini dengan tenaga ekstra. Dosa-dosa yang menempel di rok ini harus segera musnah. Ibu menghampiriku dengan heran, tidak biasanya aku mencuci baju tepat setelah pulang sekolah. Aku terpaksa mengulang kembali kejadian tadi pagi dengan wajah yang panas.
“Kamu juga ndak hati-hati. Kalau lagi datang bulan, yo, diam-diam saja. Jangan banyak gerak! Ya sudah, abis itu langsung makan sama bapak.” Ibu malah menyemprotku dengan kalimatnya. Aku kembali mengucek rok sambil sedikit dibanting-banting.
Tersaji di hadapanku garang asem dan tempe bacem. Ibu jarang memasak garang asem karena harga ayam yang lumayan mahal. Jadi rasa jengkelku langsung hilang saat ini juga. Ibu menyendok nasi untuk bapak, lalu untukku. Kami makan sambil sedikit berbincang-bincang. Di saat makan bersama seperti ini, biasanya bapak baru menyadari perubahan fisik dalam diriku. Jika tidak makan bersama, bapak akan terus menganggapku anak SD.
“Cah wedok sudah gedhe, yo, bu. Berapa sih umurmu, nduk?” Aku menjawab pertanyaan bapak dengan mulut penuh nasi.
“Walah, sudah lima belas ternyata. Wes cukup umurlah, yo, bu.”
“Dulu pas ibu seumuran kamu, ibu sudah sama bapakmu, nduk. Malah wes meteng.” Aku mendengarkan omongan kedua orang tuaku sambil lalu. Mereka hanya basa-basi menceritakan masa lalu. Jadi tidak ada omongan yang harus didengar dengan saksama.
“Kamu nikah, yo, nduk. Umurmu wes lima belas, sudah cukup. Kalau ditunda malah jadi perawan tuo. Anaknya Pak Suhar mau meminang kamu, nduk.” Pantas saja ayam kurus ini tersaji hari ini, ternyata ibu dan bapak akan melemparkan pertunjukan. Aku tidak lagi bisa menelan garang asem bikinan ibu. Ayam yang sebelumnya minim daging ini seakan-akan bertambah besar sehingga kerongkonganku tidak sanggup menerimanya. Bapak setuju-setuju saja dengan perkataan ibu. Aku rasa mereka berdua memang sudah berkompromi. Pembahasan mengenai pernikahan ini ditutup dengan omongan bapak yang menyuruhku memikirkannya lagi, tapi sambil sedikit menekan untuk mengiyakan.
Besoknya aku menceritakan masalah ini ke Talita sambil bisik-bisik. Ia terkejut mendengar ceritaku. Tapi keterkejutannya tidak bertahan lama, selanjutnya ia malah terbahak-bahak. Gadis berponi itu menjodoh-jodohkanku dengan anaknya Pak Suhar yang bahkan aku tidak tahu bagaimana rupanya. Memang di usia tiga belas sampai enam belas tahun inilah teman dan tetanggaku menikah, tetapi saat ini aku belum memiliki keinginan untuk itu. Hampir semua perempuan di desaku yang menikah di usia ini pasti berhenti sekolah. Mereka yang tetap melanjutkan sekolah hanya dua sampai tiga orang, itu pun karena keluarganya kaya raya.
Saat ini aku hanya ingin menamatkan sekolahku. Aku tidak keberatan jika setelah itu memang diharuskan untuk menikah. Namun tekanan dari orang-orang di sekitar membuatku jengkel. Setiap ada kesempatan, tetanggaku membagikan pengalaman mereka saat menikah di usia belasan.
“Nikah itu enak, loh. Bisa mesra-mesraan setiap hari tanpa takut zina.”
“Lebih enaknya lagi nanti kamu sama anakmu umurnya tidak terlalu jauh. Jadi masih sepantaran!” Dan ocehan-ocehan lain di kesempatan lain, sialnya kesempatan itu selalu datang setiap saat. Aku yakin sekali ibu sudah memberi tahu seisi desa atas pinangan anaknya Pak Suhar itu. Ditambah lagi teman-teman SMP-ku yang sudah menikah ikut membagikan pengalaman mereka. Cerita mereka lebih vulgar dari tetanggaku yang kebanyakan seusia ibu dan bapak, aku jijik mendengarnya.
Talita pun tidak memihakku kali ini. Ia terus menjodoh-jodohkanku dengan bakal suamiku. Bahkan ia repot-repot menghadiahiku potret pemuda itu yang berpose di atas RX-King. Ibu dan bapak meyakiniku bahwa aku tetap bisa melanjutkan sekolah walaupun sudah menikah. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua tekanan ini. Mereka akan terus mengejekku jika tidak segera kuterima pinangan itu. Ibu dan bapak mengucap syukur banyak sekali begitu aku mengiyakan kemauan mereka. Akan aku buktikan bahwa menikah di usia belasan adalah ide buruk dan jauh dari kata romantis. Akan kubuat mereka menyesal sudah menikahkan anaknya yang masih ingin sekolah.
Ibu, bapak, suamiku, dan kedua orang tuanya menepati janji mereka untuk membiarkanku tetap sekolah meskipun sudah menikah. Tetapi janji manis mereka hanya bertahan sampai di bulan keempat. Setelah itu aku dipaksa berhenti sekolah dan harus mengurus rumah tanggaku sendiri. Jangan lupa “sedikit” membantu di rumah mertua karena kami memang tinggal satu atap dengan mereka. Di bulan kesembilan pernikahanku, ibu dan bapak datang berkunjung.
Ekspresi mereka sedikit terkejut melihat rupa anak semata wayangnya yang berbeda dari sembilan bulan lalu. Kantung mata yang menghitam, daster robek di bagian bahu, dan sisa rambut di kepala yang sudah ditinggal gugur oleh rambut yang lain. Jangan lupakan berat badanku yang berkurang banyak. Di siang ini, Embunnya ibu dan bapak bukan lagi embun yang sejuk.
Di hadapan besan, mereka berusaha sangat keras menutupi rasa iba ketika melihatku. Sepertinya mereka menyesal sudah menikahkan anaknya yang masih ingin sekolah. Aku tersenyum puas di hadapan ibu dan bapak. Ini hari kemenanganku.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.