Majalah Sunday

Egg Freezing: Teknologi Reproduksi yang Wajib Kamu Kenal Sejak Remaja!

Penulis: Dieny Zaina Izzati – UNJ

Beberapa waktu lalu, media sosial ramai membicarakan pernikahan Luna Maya. Banyak yang menyambut bahagia, tapi ada juga komentar miring yang berbicara tentang usia. Katanya, Luna menikah “terlambat.” Namun, Luna Maya sendiri justru terlihat santai dan percaya diri. Salah satu alasannya karena ia sudah membekukan sel telurnya jauh sebelum menikah. Yup, Luna telah merencanakan masa depan reproduksinya dengan teknologi yang disebut egg freezing.

Fenomena ini membuka mata banyak orang bahwa perempuan saat ini punya lebih banyak pilihan dalam merancang hidupnya. Sayangnya, banyak remaja belum tahu apa itu egg freezing, apalagi memahami kenapa hal ini penting diketahui sejak dini. Di tengah tren menunda pernikahan, melanjutkan pendidikan tinggi, atau fokus membangun karier dulu, informasi tentang kesehatan reproduksi justru semakin relevan untuk generasi muda.

Apa itu Pembekuan Sel Telur?

Pembekuan sel telur (egg freezing) atau dalam istilah medis disebut oocyte cryopreservation, adalah proses menyimpan sel telur perempuan dalam suhu sangat rendah (dibekukan) agar bisa digunakan di masa depan saat ingin memiliki anak. Sel telur ini biasanya diambil saat perempuan masih muda dan dalam kondisi subur, kemudian disimpan di fasilitas khusus (seperti bank sel) untuk waktu yang bisa bertahun-tahun.

Tujuan utama teknologi ini adalah memberi kendali lebih kepada perempuan atas waktu dan kondisi terbaik untuk memiliki anak. Jadi, sel telur yang kualitasnya masih baik bisa digunakan nanti saat perempuan merasa siap, baik secara fisik, emosional, maupun finansial.

Bagaimana Prosesnya?

Proses pembekuan sel telur melibatkan beberapa tahap medis:

1. Stimulasi hormon:

Perempuan akan diberikan obat hormon selama beberapa hari untuk merangsang indung telur agar menghasilkan banyak sel telur (biasanya hanya satu per bulan, tapi dengan hormon bisa lebih dari 10).

2. Pengambilan sel telur:

Sel telur yang matang akan diambil melalui prosedur ringan dan aman, biasanya menggunakan jarum kecil yang dimasukkan melalui vagina.

3. Pembekuan:

Sel telur yang telah diambil kemudian dibekukan dengan teknologi khusus dan disimpan dalam suhu minus 196 derajat Celsius.

4. Penyimpanan:

Sel telur bisa disimpan dalam jangka panjang. Saat perempuan siap untuk hamil, sel telur ini bisa dicairkan, dibuahi dengan sperma, lalu ditanamkan kembali ke rahim melalui prosedur bayi tabung (IVF).

Siapa yang Biasanya Melakukan dan Mengapa?

Egg freezing awalnya dikembangkan untuk pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi atau tindakan medis lain yang bisa merusak kesuburan. Tapi sekarang, teknologi ini juga banyak digunakan oleh perempuan yang:

  • Belum menemukan pasangan yang tepat tapi ingin punya anak di masa depan.
  • Fokus membangun karier atau menyelesaikan pendidikan lebih dulu.
  • Mengalami kondisi medis tertentu yang bisa mengurangi kesuburan lebih cepat.
  • Ingin merencanakan hidup tanpa diburu waktu dan tekanan usia biologis.

Dengan kata lain, egg freezing bukan hanya untuk mereka yang “bermasalah,” tapi juga untuk perempuan yang ingin punya kendali atas waktunya sendiri.

egg freezing bukan hanya untuk mereka yang “bermasalah,” tapi juga untuk perempuan yang ingin punya kendali atas waktunya sendiri.

Kenapa Remaja Harus Tahu?

Mungkin kamu berpikir, “Aku masih sekolah, ngapain sih mikirin hal begini?”. Justru karena masih muda, kamu perlu tahu lebih awal. Ini bukan berarti kamu harus segera melakukannya, tapi punya informasi sejak dini bisa membantu kamu membuat keputusan yang lebih sadar nantinya.

Banyak perempuan baru mendengar tentang egg freezing di usia 35 ke atas, saat kesuburan sudah mulai menurun. Padahal, hasil terbaik biasanya didapat saat sel telur diambil di usia 20-an. Jadi, semakin kita tahu lebih cepat, semakin kita punya lebih banyak opsi dan waktu untuk mempertimbangkan.

Selain itu, dengan mengenal teknologi ini, kamu juga jadi lebih peduli dengan kesehatan reproduksi, yang sering kali diabaikan karena dianggap “belum perlu”.

Tantangan dan Hal yang Perlu Dipertimbangkan

Tentu saja, egg freezing bukan tanpa tantangan. Ada beberapa hal penting yang perlu dipahami:

  • Biaya mahal: Prosedur pembekuan sel telur di Indonesia umumnya berkisar antara Rp 40 juta hingga Rp 80 juta. Biaya ini mencakup konsultasi, stimulasi hormon, pengambilan sel telur (ovum pick-up), dan proses pembekuan.
  • Tidak menjamin kehamilan: Egg freezing meningkatkan peluang, tapi tidak memberi jaminan mutlak. Keberhasilan tetap tergantung usia, kualitas sel telur, dan kondisi tubuh saat digunakan nanti.
  • Efek samping medis: Meski relatif aman, prosedur ini tetap melibatkan pengobatan hormon dan intervensi medis yang perlu dikonsultasikan secara serius. Jadi, sebelum memutuskan, penting untuk melakukan konseling medis dan psikologis agar paham sepenuhnya dampak dan risikonya.
egg freezing bukan hanya untuk mereka yang “bermasalah,” tapi juga untuk perempuan yang ingin punya kendali atas waktunya sendiri.

Remaja zaman sekarang hidup di dunia yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Teknologi terus berkembang, termasuk di bidang reproduksi. Egg freezing adalah salah satu contoh bagaimana sains memberi perempuan pilihan lebih luas untuk merancang masa depan.

Mungkin kamu belum membutuhkannya sekarang. Tapi mengetahui bahwa pilihan ini ada adalah langkah awal untuk memberdayakan diri sendiri. Informasi soal kesehatan reproduksi bukan merupakan hal yang tabu, tetapi justru penting untuk dimulai sejak remaja, agar kita nggak menyesal karena kurang informasi di kemudian hari.

Jadi, yuk mulai buka mata, buka pikiran, dan buka pembicaraan. Bicarakan soal tubuhmu, masa depanmu, dan hakmu untuk memilih. Jangan lupa dipastikan lagi bahwa informasi yang kamu temukan tepat!

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 63