Majalah Sunday

Dia, Laura

“Laura!”
“Laura!”
“woi! Laura!”
Gadis bernama Laura itu menoleh dengan wajah ketusnya,
“ada apasih, Nav?”
“gue ama Laura mau ngedate dulu, ganggu banget sih lo” Tyler, pacar Laura, mendorong bahu laki laki itu. Ia menunduk dan terkekeh sambil menggelengkan kepalanya,
“dulu aja lo butuh gue banget kalo kemana mana, Ra” gadis itu tertawa mengejek
“ih Naveen. Udah deh. Itu kita masi SD. Grow up !” Laura menyilangkan tangan di dadanya,
“sekarang kita udah punya kehidupan sosial masing masing. Gue di atas sini” ia mengangkat tangannya keatas,
“lo? Dibawah sini” lalu, Laura menjatuhkan tangannya dari atas. Tyler bersama teman teman Laura menertawakan Naveen yang sudah bersemu merah pipinya karena malu.
“udah yuk ah” Laura dan kelompoknya meninggalkan Naveen yang merasa sangat kecewa dengan tingkah sahabat kecilnya itu. Memang, sejak Laura pacaran dengan Tyler, seketika status kepopulerannya melunjak di sekolah. Laura secara perlahan membuang pertemanannya dengan Naveen karena laki laki itu tidak populer. Awalnya, Naveen masih mencoba untuk merajut kembali pertemanan mereka dan Naveen berkali kali memaafkan sifat Laura yang berubah drastis itu, tapi kini, ia kecewa karena sudah dipermalukan oleh sahabatnya sendiri.
“sumpa deh cowo itu kenapa nyoba banget buat gabung ama kita sih?” tanya Iva, salah satu teman Laura,
“maksudnya ga sekali dua kali gitu. Hampir setiap hari gue denger dia ngerengek mulu” sambung Jessie. Laura hanya mengedikkan bahunya tak peduli. Sebenarnya, ia tidak terlalu terganggu dengan keberadaan Naveen yang terus menerus mencoba berteman lagi. Diam diam, Laura sedikit merindukan sosok Naveen sebagai satu satunya orang yang tulus menjadi sahabatnya.
“babe” panggil Tyler yang masih merangkul bahunya,
“malam ini ke rumah gue ya¬? Kita ngedate” Laura tersenyum pasrah karena ia tau Tyler tidak pernah membayar date mereka padahal Tyler sama kaya dengannya. Laki laki itu sangat manipulatif. Iva dan Jessie juga sering memeras Laura. Karena mereka lebih populer daripada Laura, ia terpaksa menurutinya. Laura sangat tidak ingin kehilangan reputasi.
“o-oke..”
“good girl..” Tyler mengacak puncak kepala Laura dan masuk kedalam mobilnya,
“sampai ketemu nanti malam” ah iya, Tyler juga enggan mengantar jemput Laura.
“eh ra, gue ama Jessie laper ni” Laura menghela napas lalu memasang senyum palsunya
“ayo deh”
Menjadi disukai itu—melelahkan hati ya, pikirnya.
“Nav udah deh” Giyo menepuk pelan bahunya Naveen. Ia mencoba menenangkan Naveen yang memperhatikan Laura di pergunakan teman temannya dari kejauhan,
“dia yang milih tetep temenan ama mereka”
“tapi seenggaknya mereka punya hati kek”
“dia punya hati gak pas memperlmalukan elo?”
“gak tau gue, Yo. Gue kenal dia dari kecil. Gue tau ini cuman fase—“
“mungkin elo yang ga terlalu kenal dia, Nav” Gio bangkit dari duduknya, “gue duluan ya. Gue harap lo bisa buka mata kalau lo ama Laura udah beda dunia” Memang, Naveen kecewa karena sudah diperlakukan tidak lebih dari sebuah sampah oleh Laura tapi Laura juga sahabatnya dari kecil. Orang yang sempat dijaganya dan orang yang sempat membuatnya tersenyum karena tingkah gadis itu sangat ceroboh. Naveen tidak bisa membiarkan Laura dimanfaatkan mereka. Ia sebaik mungkin mencoba untuk melindungi gadis itu, walau egonya tinggi sekali.
BRAK! tiba tiba, seorang gadis menabrak Naveen dan bukunya berserakan dimana mana
“ADU ADU MAAP MAAP” Naveen menunduk lalu mengangkat buku buku itu,
“udah ih gausa bantuin…, maap banget yak” Naveen tertawa kecil karena gadis ini mengingatkannya dengan Laura—ah Laura lagi Laura lagi. Ia membantu gadis itu membereskan buku bukunya,
“lain kali hati hati ya, um, Kristin”
“l-lo tau nama gue???” ia terlihat kaget,
“itu ada di baju lo” jawabnya acuh,
“ah, eh iya, hehe” Kristin berterimakasih. Kristin segera berjalan pergi tapi sebelum gadis itu jauh meninggalkannya, Naveen berlari mendekat lalu membawa beberapa buku yang tadi dibawa Kristin,
“cewe ga boleh berat berat bawa barang” Kristin tersenyum dengan tersipu sipu,
“m-makasih, Naveen”
“lo tau gue? Gue kan gapake nametag hari i—“
“siapa yang gatau elo, Nav?” ucapnya berbisik tapi Naveen bisa mendengarnya. Entah kenapa, hati Naveen berkata kalau Kristin menyukainya. Apakah mungkin ini tanda dari Tuhan? Apakah Naveen harus melupakan Laura lalu mencoba dengan Kristin?
“lo pulang ama siapa, Kris?” gadis itu awalnya terkejut karena Naveen menanyakan sesuatu tentangnya,
“a, itu, um, naik busway sih. Kenapa?”
“gausa. Bareng gue aja” Ia tersenyum sambil tersipu lagi,
“oke!”
Laura sibuk memperhatikan gelembung gelembung di gelas sodanya. Iva dan Jessie sedang bercanda ria. Gadis itu tidak mengeluarkan usaha sama sekali untuk masuk ke dalam pembicaraan mereka, sampai Jessie berkata,
“eh itu seriusan cewe culun kek Kristin ngedate ama cowo?” awalnya Laura tidak peduli, ia hanya melirik kearah yang ditunjuk temannya tapi betapa kagetnya ia saat melihat ternyata Kristin makan bersama Naveen di meja yang tak jauh dari mejanya,
“maksud dia apasih?” Iva menertawakan pertanyaan Laura,
“dia nyoba bikin lo cemburu kali” Laura ikut tertawa walau terasa hambar, apa apaan ini pikirnya,
“mau ngeprank mereka ga gais?” tanya Jessie. Seketika, Iva dan Laura saling bertatap mata lalu setuju. Iva berjalan mendekati meja Kristin dan Naveen, “wah wah ada apa ini?” Naveen melempar pandangannya yang tajam karena ia tau Kristin tidak berani melawan Iva,
“pergi ga,va?” Laura datang lalu merangkul Iva,
“loh kenapa, Nav? Masa lo ngusir temen lo sendiri?” Kristin mengangkat kepalanya sedikit,
“temen?” Laura pura pura terkejut
“wah lo ga bilang ke dia kalau kita best friend forever?” Laura duduk disebelah Naveen lalu merangkul lengannya,
“jangan jangan—lo ngira dia bener bener mau temenan ama lo, Kris???” Kristin melihat ke mata Naveen dengan tatapan kecewa,
“m-maksudnya?” Jessie muncul dari belakang kursi Kristin,
“ih lo jahat banget sih Nav, masa milih cewe baik baik gini buat di prank? kita kan nyuruhnya cewe culun—oh iya, Kristin kan culun. Banget” ketiga perempuan itu tertawa melihat Kristin yang sudah menangis dalam diam,
“g-gue kira…” Laura seakan akan tau apa yang akan diucapkan Kristin lalu ia langsung memotongnya,
“no. Naveen terlalu ngestuck ama gue, Kris. Ngarepnya jangan setinggi itu dong” Jessie dan Iva menatap Laura bingung, kenapa Laura mengatakan itu? “MAKSUD LO APA SIH?” Naveen benar benar kehabisan kesabarannya. Kristin bangun lalu berlari keluar. Naveen ingin mengejarnya tapi Laura menahannya,
“serius? Lo milih dia buat bikin gue cemburu? Maksud lo apaan? Ga ngaruh!” Naveen menatapnya tak percaya,
“bikin cemburu apaan sih?! G-gue gak suka lo kek gitu! Minggir! Gue mo ngejer Kristin!” sebelum Naveen meninggalkan cafe, Laura menangkap tangannya,
“l-lo beneran suka sama—dia?” ia menghempaskan tangan gadis itu, “seenggaknya dia gak ninggalin gue, Ra. Tapi makasih atas tingkah lo, gue makin menderita dan kehilangan satu satunya orang yang bikin gue seneng” anehnya, setelah Naveen pergi, air mata Laura jatuh begitu saja dari pelupuk matanya.
Laura kembali ke Iva dan Jessie tapi kedua gadis itu memandangnya sinis,
“gue gak percaya ini—lo suka sama Naveen?” Iva menertawakannya,
“lo harusnya liat seberapa payahnya lo ngejer dia, Ra. Malu gue” Jessie terkekeh mengejek,
“gue bilang ke Tyler ah” katanya sambil mengambil tas, Iva juga melakukan hal yang sama,
“j-jangan!” Laura menahan tangan keduanya tapi mereka menghempaskan Laura,
“lo ga pantes satu status sosial ama kita” Laura menangis dan terus memohon, “dadaaaaah” mereka meninggalkannya dengan tertawa tawa. Jahat, mereka jahat, pikir Laura penuh penyesalan.
Gadis itu menghempaskan dirinya ke ranjang lalu melepaskan kalung yang selalu ia pakai sejak kecil. Pemberian Naveen. Dulu, Naveen memberikan kalung itu yang artinya Laura adalah orang paling spesial dihidupnya karena Naveen hidup tanpa orangtua. Ia diasuh kakek neneknya yang sudah sangat lemah. Jadi, saat itu hanya Lauralah yang menemaninya sehari hari. Laura menangisi perbuatannya. Ia tidak boleh begini. Naveen tidak pantas diperlakuakn seperti ini olehnya. Kalau memang kini kebahagiaan Naveen ada pada Kristin, ia akan melakukan segalanya agar Kristin bersedia menggantikan posisinya. Meskipun, itu artinya Laura harus mengorbankan perasaannya.
“Naveen!” ia berlari mendekati laki laki itu yang sedang membereskan barang di lokernya. Naveen memandangnya tak suka lalu buru buru menutup lokernya,
“heh! Tunggu!” orang orang yang sedang di lorong itu menatap mereka bingung, tak biasanya Laura si kapten pemadu sorak mengejar laki laki yang bukan seorang Tyler Syarief.
“apa sih?!” akhirnya Naveen mengalah dan meladeni gadis itu,
“g-gue mau minta maaf” ia berbicara dengan tersengal sengal,
“biar gue yang benerin hubungan lo ama Kristin” Naveen mengernyitkan dahinya,
“buat apa? Gue ga butuh bantuan lo. Lagian udah telat. Kristin udah benci gue” Laura menunduk, ia terus berpikir keras,
“udahlah Ra. Kita beda dunia” gadis itu seakan akan ditusuk tepat di dadanya. Tidak tidak.. ia masih bisa memperbaikinya. Tanpa berpikir panjang, Laura melepaskan kalungnya,
“kasih ini ke dia, Nav” Naveen menoleh ke tangan Laura. Kaget. Iya. Iya kaget. Laura masih menyimpan kalung yang bahkan ia lupa kapan memberikannya, “katakan kepadanya seberapa spesial kalung ini, lalu—um, lalu ajak ia berkencan” kata kata yang keluar dari mulutnya sendiri terasa sangat menyakitkan,
“gue tau lo gatau spot spot yang bagus di kota ini. T-tapi gue tau” Naveen terkejut dengan setiap ucapan mantan sahabatnya itu,
“m-maksud lo.., lo mau bantu gue?” Laura terkekeh lalu mengangguk,
“kalau itu berarti kita temenan lagi, kenapa enggak?”
Kristin keluar dari rumahnya dengan gaun merah selutut. Ia terlihat sangat cantik, ucap batin Laura, memang cewe baik baik seperti Kristin lah yang pantas untuk Naveen yang—sempurna. Gadis itu memakai kalung yang tadinya milik leher Laura, lagi lagi, Laura merasa seperti dadanya di hujam pisau berkali kali. Naveen menatapnya takjub, ia menghampiri Kristin lalu memujinya. Tak ingin berlama lama melihat adegan itu, Laura berdeham, “ayo tuan dan nyonya. Silahkan masuk” ia membukakan pintu mobil bagian penumpang untuk kedua pasangan itu. Setelah keduanya sudah di dalam, Laura menutupnya lalu duduk dibagian pengemudi. Laura mengantar mereka ke restoran termewah, ah iya, Laura bersukarelawan membayarkan mereka walaupun awalnya Naveen menolak keras,
“loh? Lu ga ikut makan?” Laura tertawa hambar,
“dih enggalah. Bayangkan seberapa canggungnya” ia pun segera menyuruh keduanya masuk meskipun butuh beberapa perdebatan. Laura meletakkan dahinya di setir,
“perih” ucapnya pelan karena takut Naveen dengar. Ah bodohnya dia.
Setelah berkunjung ke tempat tempat yang membuat Kristin bahkan Naveen tertawa gembira, akhirnya, mereka sampai di pemberhentian terakhir. “nah kita sampaiiii!” Laura benar benar akan menertawakan dirinya yang pura pura bahagia ini nanti. Naveen melihat keluar dengan matanya yang membelalak,
“La-laura, ini kan..” sebelum Naveen melanjutkan ucapannya, Laura keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk mereka,
“selamat datang di Istana Naveen!!!” Kristin menatapnya takjub dan terpesona dengan lampu lampu warna warni dari botol kaca,
“ini—cantik! Terimakasih Laura!” Laura benci Kristin, sangat benci. Tapi, gadis itu memberikan tawa ke wajah Naveen. Mau tidak mau, Laura tersenyum kecil sebagai balasan dari pujian Kristin.
“nah kalian have fun ya!” Laura memberikan kunci mobilnya kepada Naveen, “besok pagi bawa balik ke rumah gue ya. Jangan lecet. Awas lu” sebelum Laura pergi, Naveen menahannya,
“lo gimana?” gadis itu tertawa pelan,
“naik kereta lah. Deket sini ada stasiun. Yaudah ya” ia perlahan melepaskan tangan yang sangat ingin ia pegang,
“yang langgeng ya kalian” lalu—Laura pergi.
Kristin melihat isi rumah pohon yang disebut sebagai Istana Naveen oleh Laura. Ada foto foto kecil Naveen, ada perabotan unik dan lucu, bahkan ada mainan lama Naveen yang dulu ia buang karena sudah bosan. Setiap sudut rumah pohon itu sangatlah unik.
“ini seriusan yang bikin si Laura?” Naveen mengangguk dengan kepalanya yang terus menatap ke bawah,
“d-dulu gue mau punya istana. Gue mau jadi raja.” Naveen duduk di sofa empuk berwarna biru lalu mengajak Kristin untuk duduk juga,
“Laura gapernah mau jadi ratu nya” Kristin tertawa,
“kenapa? Padahal dia yang cantik begitu sangat cocok menjadi ratu” laki laki itu mengangguk pelan,
“memang. Ia sangat—sangat cantik. Tapi, ia tidak bisa melihatnya. Bahkan sampai sekarang.” Kristin memperhatikan Naveen yang makin murung saja, “ia tidak mau jadi ratu karena ia merasa terlalu jelek untuk bersanding bersamaku di takhta. Laura bilang, ia lebih baik menjadi penasihat raja. Agar ia bisa selalu melindungi dan menuruti dan setia—sama gue..” entah kenapa, kini Naveen merasa lehernya tercekat, ia tidak bisa bernapas dengan benar, “Nav?” gadis di sebelahnya itu tau ada yang aneh dengan Naveen, ia terlihat sangat sedih,
“lo yakin mau jadiin gue sebagai ratu lo?” tanyanya penuh pengertian. Naveen mengangkat kepalanya lalu melihat ke mata Kristin,
“ya—iyalah. Maksud lo gimana deh?” Kristin terkekeh lalu melepaskan kalungnya,
“gue bahagia, Nav. Setidaknya cowo yang gue kagumi selama ini akhirnya mau jadi temen gue” ia meraih tangan Naveen. Kristin meletakkan kalungnya di telapak tangan laki laki itu,
“jujur, gue emang suka ama lo, suka banget. Tapi bukan suka dengan maksud mau pacaran sama lo, Nav” Naveen masih tidak mengerti,
“gue yang lebih cocok jadi penasihat. Gue mau jadi temen lo yang bantuin lo biar lo gak salah jalan. Dan sekarang, lo udah salah banget” ia bangun dari duduknya,
“Laura ga pernah cocok jadi penasihat raja. Dari dulu, dia emang udah ratu lo, tapi lo aja yang ga sadar, Nav.” Lalu, Kristin membantu Naveen untuk bangun juga,
“sekarang, gue mau lo kejer Laura. Sebelum, dia bener bener pergi dari takhtanya” Naveen sempat ragu, namun, ia segera menarik Kristin keluar dari rumah pohon itu.
Mereka menaiki mobil Laura dan menyetir secepat mungkin ke stasiun terdekat. Sialnya, mereka ditemani hujan yang deras.
“cepetan turun!!!” seru Kristin sambil mendorong dorong Naveen. Ia berlari masuk ke stasiun tapi tidak menemukan siapa siapa. Bahkan, kereta terakhir sudah berangkat. Di titik ini, Naveen benar benar kehilangan harapan. Terlambat. Ia terlambat. Naveen keluar dari stasiun lewat pintu belakang dan betapa terkejutnya ia menemukan Laura berteduh di bawah pohon,
“LAURA!” gadis itu menoleh dengan cepat,
“LOH?! NAVEEN?!” Naveen menghampirinya,
“kenapa ga berteduh di stasiun sih?!” Laura menggelengkan kepalanya,
“sepi banget. Gue takut. Jadi gue tunggu disini nunggu taksi ato angkot, karena batre hp gue juga abis” Naveen menatapnya bingung,
“tapi kan tadi lo belum telat, kereta lo masi ada pas tadi lo per—“ seakan akan tersadar, Naveen memeluk gadis didepannya itu,
“bego. Dasar cewe bego!” iya, Laura bukannya tidak dapat kereta. Tapi, Laura masih berharap di hatinya yang paling dalam, ia berharap Naveen datang dan membalas perasaannya yang sudah lama bertepuk sebelah tangan. Naveen melepaskan pelukannya lalu menempelkan dahinya pada dahi Laura,
“Ra. Setelah gue pikir pikir, lo payah jadi penasehat” Laura bingung,
“loh jadi gue ga masuk di istana lo dong? Gue jadi apaan wei?” Naveen tertawa lalu menggelengkan kepalanya,
“Kristin lebih cocok jadi penasehat gue” gadis itu terkejut,
“m-maksud lo? G-gue—“ Naveen mengangguk pelan,
“ayo ah. Ratu gaboleh lama lama maen ujan, tar kalo sakit, yang ribet rajanya” Laura tertawa setelah air mata perlahan lahan mengalir deras. Naveen pun segera memakaikan kalungnya kepada si pemilik sebenarnya.
“Ra? Pulang yuk?” ia terkekeh sebelum mengangguk mantap,
“yuk” lalu keduanya berpegangan tangan. Saling mensyukuri setiap detiknya. Bersyukur karena mereka belum terlambat untuk menyadari bahwa yang mereka butuhkan selama ini—tidaklah jauh, melainkan, sangat dekat. ¬

-S E L E S A I-

by :

Siti Danilla Chaerani

SMKN 48 Jakarta

sitidanillachaerani@gmail.com

Nah, Sunners, buat kalian yang punya karya seperti di atas. Bisa kirim karya kalian ke majalahsunday@gmail.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?