Majalah Sunday

Di Tembok Kamar

Penulis: Salsabila Azahra – Universitas Negeri Jakarta

Aku hanya satu, tetapi dibagi empat. Aku Pertama tempat bertenggernya pakaian yang baru dipakai sebentar, terlalu bersih untuk dicuci dan terlalu kotor untuk masuk kembali ke lemari. Untuk keperluan keluar masuk pun tugasnya Aku Pertama. Aku Kedua tempat bersandarnya Kasur yang biasa Dia pakai untuk tidur, tetapi kadang Dia juga makan di Kasur. Aku Ketiga tempat tinggalnya jendela, meja belajar, dan rak buku. Aku Keempat hanya ada lemari kayu besar. Tanpa lemari itu menempel di tubuhku, aku yakin sekali kamar 3×3 ini terlihat luas.

Di tengah-tengah kamar, tergeletak mengenaskan plastik putih dan stirofoam bekas makanan. Kuahnya yang merah itu sedikit menyiprat ke Lantai, tadi aku dengar dia memaki-maki dan hampir membuat Dia terpeleset. Pakaian yang bertengger di Aku Pertama tidak terlalu banyak, hanya satu jaket dan satu celana jeans. Sejak satu tahun yang lalu, aku perhatikan Dia jarang keluar rumah, keluar kamar pun hanya untuk ke kamar mandi dan dapur. Yang Dia lakukan sepanjang hari hanya duduk di kursi meja belajar, menatap laptop, buku, kertas, dan kadang Aku Ketiga.

Beberapa minggu yang lalu, Dia keluar rumah pagi sekali, lebih pagi dari ayam berbunyi. Dengan pakaian rapi, tas ransel yang bernaung di pundak, dan masker yang terlentang nyaman di wajah. Dia baru pulang saat matahari hampir redup. Sesampainya di kamar, Dia langsung melemparkan dirinya ke Kasur. Setelah hari itu, Dia tidak pernah lagi meninggalkan kamar dengan waktu yang lama.

Seperti saat ini, sejak alarm berbunyi di jam lima subuh, Dia langsung duduk di kursi meja belajarnya. Berkutat dengan buku yang sangat tebal dan laptop yang terus tercolok dengan pengisi dayanya. Jangan lupakan kertas yang terhampar di mana-mana, di meja belajar, rak buku, Kasur, dan di atas Lantai. Kali ini Lantai tidak memaki Dia. Dua lembar kertas tidak membuat kotor dan bau jadi dia biasa saja

Dia berkali-kali gagal diterima PTN. Di tembok kamar, dia melampiaskan amarahnya. Namun, di tembok kamar pula dia berdamai dengan sendirinya.
Meja belajarnya diisi laptop, buku tebal, dan kertas di mana-mana

Di hari-hari lain, sejak Dia berhenti keluar rumah, raut wajahnya selalu terlihat lesu. Punggungnya semakin bungkuk dan tulang-tulang di tangannya semakin menonjol. Padahal umurnya belum genap delapan belas tahun. Hari ini raut wajahnya semakin lesu, matanya tambah sayu, lingkaran hitam pun lebih menonjol dari pada warna irisnya yang cokelat. Punggunggnya bertambah bungkuk, aku ngeri sebentar lagi hidungnya akan menyentuh lututnya sendiri.

“Hari ini pengumuman, kan? Jangan terlalu dipikirin. Ayo sini, makan dulu!” Ibunya tiba-tiba nongol dari pintu. Tidak membawa seluruh tubuhnya masuk kamar, hanya sedikit menyembulkan kepalanya di bagian pintu yang terbuka. Dia hanya mengangguk singkat, kemudian kembali menatap layar laptop. Ibunya menarik kembali kepalanya dan menutup pintu rapat-rapat. Paham anak perempuannya tidak ingin diganggu.

Dia tidak keluar kamar untuk makan, Dia tidak keluar kamar untuk menemui keluarganya. Dia tidak keluar kamar. Hanya tetap di kursi meja belajarnya tanpa menggerakan pantat sedikit pun. Matanya terpaku ke layar laptop, jari yang sedikit gemetar itu menari di atas papan tik dengan kaku. Satu menit, dua menit. Tatapannya tidak berhenti tertuju kepada laptop, padahal jarinya sudah berhenti menari. Dia melayangkan kepalan tangannya ke Aku Ketiga. Tangan yang didominasi oleh tulang itu dua kali bertubrukan dengan Aku Ketiga. Aku Ketiga sama sekali tidak merasa sakit, jelas lebih keras Aku Ketiga daripada tangan tulang itu.

Dia melemparkan tubuhnya ke atas Kasur, menenggelamkan wajahnya di Bantal. Setelah itu, yang terdengar di seluruh penjuru kamar ini hanyalah tangisan dan erangan. Aku Pertama melihat layar laptop diterangi dengan warna merah. Tidak terlihat jelas apa tulisannya, tetapi menurutku warna merah itulah yang membuatnya menangis. Sampai matahari pulang ke tempat asalnya, masih terdengar suara tangisan diiringi dengan tendangan-tendangan kecil untuk Aku Kedua. Saat bulan sudah semakin tegak, suara tangisan menghilang.

Kasur bilang, Dia sudah tidur. Bantal sedikit jengkel dengan ingus yang menempelinya, tetapi ia tidak tega untuk memaki. Bantal yang paling mengetahui isi kepalanya. Empat bulan terakhir ini, Dia tidak pernah tertidur nyenyak. Waktu istirahatnya selalu diganggu oleh mimpi-mimpi kegagalan. Menurut pengakuan dari Bantal, Dia terlalu takut untuk gagal lagi. Jadi untuk memakinya karena ingus, mana mungkin Bantal bisa.

Dia tidak menunggu alarm berbunyi dan ayam bernyanyi untuk bangun. Bulan masih berdiri gagah, Dia sudah duduk di kasur, menghadap ke Aku Kedua. Empat menit hanya diam, menatap ke satu titik sambil mengedip dua puluh detik sekali. Pada menit kelima, Dia mulai menghembuskan napasnya dengan keras. Seakan ingin pamer ke seluruh dunia kalau Dia masih bernapas.

“Masih ada dua kesempatan lagi, tapi kalau sampai percobaan terakhir tetap dapat merah gimana? Nggak mungkin di swasta, biayanya lebih mahal. Kenapa susah banget, ya? Padahal udah belajar setiap hari. Apa nggak usah kuliah aja?” Dia menatap Aku Kedua dengan kosong. Aku Kedua tidak bisa menanggapi semua ocehannya. Aku tidak dibuat untuk berbicara, aku hanya didesain untuk mendengarkan. Dia menarik napas lagi. Lalu menangis lagi.

Dia berkali-kali gagal diterima PTN. Di tembok kamar, dia melampiaskan amarahnya. Namun, di tembok kamar pula dia berdamai dengan sendirinya.
Punggungnya semakin bungkuk

Tubuhnya ambruk, tidak lagi bisa duduk meskipun alasnya seempuk Kasur. Punggungnya semakin bungkuk, lututnya dilipat, tangannya mengunci lutut agar tetap terlipat. Dengan posisi seperti ini, hidungnya benar-benar menyentuh lutut. Aku memang dibagi empat, tetapi sekarang menjadi satu. Aku bersatu, bergandengan tangan, bahkan Aku Keempat yang selama ini jarang terlihat karena terhalang lemari pun ikut bergabung. Aku semakin merapat, mendekat, merapat, mendekat, mengecil. Berkumpul di tempat Aku Kedua, mengelilingi Dia yang hidungnya semakin menempel lutut.

Aku berdiri tepat di samping Kasur. Ia sudah memberiku izin untuk ikut duduk di atasnya. Aku mendekatkan diriku ke kepalanya. Mengelus-elus rambutnya yang berantakan, menyanyikan lagu apa pun yang membuatnya tenang. Lama-kelamaan deru napasnya kembali normal, isak tangisnya berhenti, dan matanya terpejam damai. Aku memperbaiki posisi tubuhnya yang hampir seperti janin. Kujauhkan hidung dengan lututnya. Kubawa dia ke pelukanku, menghangatkan tubuhnya yang selalu bergetar dingin. Malam ini, Dia terlahir kembali. Dengan tubuh yang tegap, mata yang bersinar terang, dan bibir terangkat membentuk senyuman paling indah.

Aku memang satu, tetapi kembali dibagi empat. Dia terbangun saat ayam bernyanyi keras. Menutup laptop yang layarnya sudah mati sejak kemarin sore, menumpuk buku-buku di atas meja belajar, menyortir kertas yang berserakan, dan membuang sampah makanan yang berada di atas Lantai. Keluar kamar dengan pikiran yang mantap dan kembali satu jam kemudian. Wangi bunga mawar memenuhi seluruh ruangan. Aku sempat berpikir kamar ini berubah menjadi taman bunga. Dia berpakaian rapi dengan sedikit berdandan. Meninggalkan kamar setelah tersenyum kepada dirinya sendiri di cermin.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 6
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?