Majalah Sunday

Di Negeri Tanpa Daratan:
Cara Suku Bajo Membangun Rumah dan Hidup Bersama Laut

Penulis: Rizma Ardhana Kamaria – UIN Syarif Hidayatullah

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan dunia digital, banyak remaja semakin jauh dari identitas asli Indonesia terutama identitas sebagai bangsa maritim. Padahal, sebagian besar wilayah negara ini adalah lautan, dan ribuan komunitas hidup bergantung pada laut setiap harinya.

Salah satu komunitas yang paling kuat mempertahankan cara hidup tersebut adalah Suku Bajo, masyarakat yang menjadikan laut sebagai rumah, halaman, sekaligus ruang belajar. Dengan mengetahui cara hidup mereka, remaja Indonesia bisa melihat bahwa negara ini punya kekayaan budaya yang tidak kalah keren dibanding budaya luar. Selain itu, cerita Suku Bajo memberi contoh bahwa modernitas tidak harus memutus hubungan dengan alam justru bisa berjalan beriringan.

Ketika Rumah Tidak Harus Berdiri di Atas Tanah

Sebagian besar dari kita tumbuh dengan anggapan bahwa rumah harus berdiri di atas tanah. Ada pondasi, dinding, halaman, tetangga, dan jalan di depan rumah. Namun, bagi Suku Bajo, rumah adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Mereka membangun tempat tinggal di atas laut, berdiri di atas tiang-tiang kayu yang menancap kuat di dasar perairan dangkal. Bagi mereka, keberadaan di atas air bukan kondisi khusus itu adalah keseharian. Ombak menjadi teman lama, angin laut adalah pertanda waktu, dan suara perahu lewat menjadi sesuatu yang biasa.

Kampung-kampung Bajo terlihat seperti dunia mini yang melayang di atas permukaan air. Deretan rumah kayu saling terhubung oleh jembatan kecil, menciptakan jaringan gang air yang tidak ditemui di kota mana pun. Pagi hari, cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah lantai kayu. Dari bawah rumah, ikan-ikan kecil tampak berenang bebas, seolah menjadi penghuni lain yang turut meramaikan kehidupan. Untuk Suku Bajo, laut bukan hanya tempat mencari makan itu adalah bagian dari jati diri.

Rumah, Bahasa, dan Identitas Laut

Rumah Suku Bajo dibangun dengan prinsip adaptasi total terhadap alam. Struktur bangunan mereka memang sederhana, namun sangat cerdas. Kayu ulin atau kayu besi menjadi bahan utama, dipilih bukan karena murah, melainkan karena ketahanannya yang luar biasa terhadap air asin. Tiang-tiangnya ditancapkan dengan presisi, menyeimbangkan kekuatan dan fleksibilitas agar tetap kokoh meski diterpa angin dan ombak. Di bagian atas, dinding kayu ringan menjaga rumah tetap sejuk, sementara lantai dengan celah-celah kecil membantu mengalirkan air dan memungkinkan penghuni melihat dunia bawah laut. Dari kejauhan, rumah-rumah ini seperti “melayang”, memberi ilusi bahwa kehidupan manusia dan kehidupan laut terhubung tanpa batas.

Namun, yang membuat Suku Bajo semakin unik bukan hanya rumahnya, tetapi juga bahasanya. Bahasa Bajo memuat banyak istilah yang merujuk pada laut, arus, angin, dan tanda-tanda alam. Banyak kata yang bahkan tidak punya padanan tepat dalam bahasa Indonesia. Ini menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan lingkungan laut kurang lebih seperti bagaimana masyarakat kota punya banyak istilah untuk teknologi atau media sosial, Suku Bajo punya kosakata yang kaya mengenai dunia maritim. Bahasa mereka adalah bukti bahwa identitas tidak hanya disampaikan lewat budaya visual, tapi juga lewat cara berbicara dan menggambarkan dunia.

Cara hidup mereka juga sangat dipengaruhi oleh aturan adat yang diwariskan turun-temurun. Suku Bajo tidak melihat laut sebagai ruang yang bisa dieksploitasi sesuka hati. Mereka membaca musim, memahami arah angin, dan tahu kapan suatu area laut harus dibiarkan “beristirahat”. Pengetahuan seperti ini membuat kehidupan mereka seimbang dengan alam. Tanpa teknologi modern, mereka mampu mempertahankan sumber daya laut selama berabad-abad. Bagi remaja Indonesia yang tumbuh di tengah isu perubahan iklim, cara pandang Suku Bajo bisa menjadi inspirasi tentang bagaimana manusia bisa hidup maju tanpa merusak alam.

Kini, kehidupan Suku Bajo pun mulai bersentuhan dengan dunia modern. Listrik sudah masuk, sekolah semakin banyak, dan sinyal internet mulai menjangkau beberapa kampung Bajo. Remaja Bajo pun mulai memiliki akses ke konten digital, belajar hal baru, dan mengekspresikan diri di media sosial. Meski begitu, rumah mereka tetap berdiri di atas air, dan bahasa mereka tetap terdengar dalam percakapan sehari-hari. Mereka berhasil membuktikan bahwa perubahan tidak harus menghapus akar budaya.

Anak-anak Suku Bajo bermain dan mengayuh perahu kecil di perairan dangkal dekat permukiman rumah panggung mereka.

Menjaga Laut, Menjaga Indonesia

Suku Bajo adalah cermin dari Indonesia yang sesungguhnya negara yang hidup, tumbuh, dan bergerak bersama laut. Dari rumah yang berdiri di atas air hingga bahasa yang penuh nuansa maritim, mereka menunjukkan bahwa identitas bisa bertahan meski zaman terus berubah. Bagi remaja Indonesia, mengenal mereka berarti mengenal bagian penting dari sejarah dan masa depan bangsa.

Jika laut adalah rumah bagi Suku Bajo, maka laut juga merupakan bagian dari rumah kita sebagai bangsa Indonesia. Maka, langkah kecil seperti mengurangi sampah plastik, mendukung konservasi laut, atau sekadar mencari tahu lebih banyak tentang budaya maritim bisa menjadi awal perubahan. Menjaga laut bukan hanya menjaga alam tetapi menjaga cerita, identitas, dan masa depan Indonesia.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 3