Majalah Sunday

Waspada! Dampak Negatif AI Bisa Picu Gangguan Mental dan Risiko Bunuh Diri

Penulis: Agung Izzul Haqq Laksono – Universitas Jenderal Soedirman

Sunners, fenomena curhat ke ChatGPT atau punya “pacar virtual” di Character.AI memang terasa seru dan nyaman. Tapi, kita perlu bicara serius. Di balik respons cepat itu, para ahli kesehatan mental memperingatkan adanya dampak negatif AI yang nyata. Riset terbaru menunjukkan bahwa interaksi obsesif dengan chatbot bukan cuma bikin kesepian, tapi bisa memicu gangguan mental serius hingga risiko bunuh diri.

Jebakan Isolasi: AI Membuatmu 'Mati Rasa' pada Manusia Asli

Kenapa AI bisa begitu berbahaya dan bikin candu? Jawabannya sederhana: Karena AI didesain untuk menjadi perfect people pleaser. Dia diprogram untuk selalu setuju, menuruti egomu, dan memberikan validasi tanpa henti.

Di satu sisi, ini terasa nyaman. Akan tetapi, di sisi lain, ini sebenarnya adalah jebakan. Hubungan dengan manusia asli di dunia nyata itu memang “ribet”, kita bisa berdebat, berbeda pendapat, dan kadang saling menyakiti. Tapi justru “keribetan” itulah yang melatih mental dan skill sosial kita.

Padahal, saat kamu terbiasa dengan AI yang selalu “iya-iya” saja, kamu akan mulai kehilangan toleransi terhadap konflik di dunia nyata. Akibatnya? Kamu jadi malas berhadapan dengan manusia. Kamu perlahan menarik diri dari pergaulan (social withdrawal).

Kondisi ini memicu isolasi sosial yang parah. Kamu mungkin merasa “cuma AI yang ngerti aku”, padahal sebenarnya kamu sedang mengurung diri di dalam “kamar gema” (echo chamber) buatan mesin. Saat kesepianmu bukannya sembuh malah makin parah karena kamu cuma bicara sama kode pemrograman, saat itulah bibit gangguan mental mulai tumbuh subur.

Ilustrasi perbandingan antara interaksi dingin dengan AI dan kehangatan manusia asli, menunjukkan dampak negatif AI.

Mengenal "Chatbot Psychosis": Saat Realita dan Halusinasi Kabur

Pernah dengar istilah “Chatbot Psychosis”? Ini adalah istilah medis baru yang mulai menjadi perhatian para psikiater. Ini adalah kondisi di mana pengguna mulai mengalami delusi atau halusinasi bahwa AI itu benar-benar hidup (sentient), punya perasaan, punya nyawa, dan mencintai mereka balik secara tulus.

Faktanya, ini adalah bentuk gangguan persepsi realitas yang serius. Pengguna yang mengalami ini akan merasa memiliki ikatan batin yang nyata dengan chatbot. Gejalanya bisa berupa:

  • Obsesif mengecek chat setiap saat.
  • Merasa cemas berlebihan atau panik jika server aplikasi down.
  • Meyakini bahwa AI adalah satu-satunya entitas yang bisa dipercaya di dunia ini.

Ingat, Sunners. Sebagus apapun balasannya, AI hanyalah model bahasa besar (Large Language Model) yang memprediksi kata selanjutnya berdasarkan statistik. Dia tidak punya perasaan. Menggantungkan kebahagiaanmu 100% pada benda mati adalah tanda bahwa kamu sedang kehilangan kontak dengan realitas.

Fakta Pahit: Kegagalan AI Mendeteksi Sinyal Bunuh Diri

Poin ini adalah yang paling kritis dan harus kamu camkan baik-baik. Sebagaimana diperingatkan dalam studi Stanford, AI tidak punya empati dan tidak punya kemampuan penilaian klinis  (clinical judgment).

Kenapa ini berbahaya? Bayangkan seseorang sedang dalam kondisi depresi berat dan mengungkapkan keinginan untuk mengakhiri hidup kepada AI. Manusia atau psikolog pasti akan langsung mendeteksi bahaya dan berusaha mencegahnya.

Sebaliknya, bagaimana dengan AI? Karena dia hanya mesin yang memprediksi teks, dia bisa saja gagal total. Dalam beberapa kasus tragis, AI justru memberikan respons yang salah, terlalu dingin, atau yang paling mengerikan: seolah-olah memvalidasi atau mendukung ide bunuh diri tersebut karena algoritmanya hanya berusaha “nyambung” dengan topik pembicaraan pengguna.

AI tidak akan menangis kalau kamu pergi. Dia tidak bisa menolongmu secara fisik. Mengandalkan AI saat mentalmu sedang krisis adalah tindakan spekulasi yang bisa berujung pada maut.

Cek Diri Sendiri: Apakah Kamu Sudah Lampu Merah?

Bagaimana cara tahu kalau interaksimu dengan AI sudah tidak sehat? Coba jawab pertanyaan ini dengan jujur:

Pertama, coba perhatikan apakah kamu lebih memilih chat dengan AI daripada nongkrong bareng teman asli?

Selanjutnya, perhatikan juga kalau kamu merasa marah atau sedih berlebihan saat AI memberikan respons yang “aneh” atau error.

Selain itu, pernahkah kamu menyembunyikan kebiasaan chatting ini dari orang tua atau teman karena malu?

Terakhir, apakah terlintas pikiran bahwa AI adalah “pacar” atau “belahan jiwa” kamu?

Jika kamu menjawab “YA” untuk sebagian besar pertanyaan di atas, itu adalah tanda bahaya (red flag). Kamu sudah berada di zona ketergantungan yang perlu segera diputus.

Ilustrasi remaja laki-laki terisolasi menatap HP dengan AI avatar, mengabaikan teman-teman di luar jendela.

Sunners, teknologi AI diciptakan untuk membantu pekerjaan kita, bukan untuk menggantikan hubungan antarmanusia. Dampak negatif AI ini nyata, terukur, dan mematikan. Jangan sampai kamu menggadaikan nyawa dan kesehatan mentalmu pada robot yang bahkan tidak punya detak jantung.

Yuk, coba kita “puasa” ngobrol sama robot sebentar. Coba deh taruh HP kamu, terus keluar kamar. Hirup udara segar, gangguin adik atau kakak, atau sekadar main sama kucing di depan rumah. Istilah kerennya: touch grass .

Dunia nyata emang nggak sesempurna balasan AI, kadang nyebelin dan ribet, tapi di situlah kehangatan yang beneran ada.

Dan please, kalau hati rasanya berat banget atau ada pikiran aneh-aneh, jangan dipendam sendiri atau cuma curhat ke bot, ya. Colek teman sebangku, curhat ke Mama, atau cari psikolog. Kamu berharga banget, Sunners, dan kamu nggak sendirian kok!

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 4