Penulis: Widya Ajeng Saputri – UGM
Kamu pernah merasa terjebak di dalam situasi di mana kata “tidak” menjadi terasa sulit diucapkan? Bayangkan, pasangan kamu sebagai sosok yang kamu percaya dan cintai meminta kamu untuk melakukan aktivitas hubungan seksual yang tidak kamu inginkan. Mungkin dia akan mengatakan “Teman-teman aku sama pacarnya udah kok. Mereka jadi makin langgeng,” “Kamu beneran sayang sama aku gak, kalo kamu sayang pasti kamu mau,” “Kalau kamu nggak mau, kita putus aja,” atau “ Aku gak minta apa-apa cuma ini yang aku minta aku janji gak akan ada yang tau.” Hal ini dapat dikategorikan sebagai paksaan seksual lho Sunners.
Kalimat-kalimat di atas biasanya disampaikan dengan nada iba atau bahkan paksaan secara halus. Taktik ini biasanya bertujuan membuat kamu terjebak dalam guilt tripping atau perasaan bersalah yang biasanya akan diikuti ketakutan ditinggalkan atau kehilangan pasangan. Hasilnya, karena tekanan dan manipulasi yang berulang, membuat kamu terpaksa mengikuti permintaannya yang sebenarnya melebihi sexsual bounderies yang kamu miliki, baik karena prinsip untuk tidak melakukan hubungan seksual pranikah atau memang tidak ingin melakukan aktivitas seksual dengan pasangan saat ini. Miris bukan?
Hal seperti ini bukan kejadian langka terjadi di sekitar kita. Banyak orang, terutama dalam hubungan pacaran, beranggapan bahwa ketika sudah berada di dalam jalinan hubungan romansa seperti pacaran/hubungan tanpa status/friends with benefit, seolah-olah menjadi izin otomatis untuk pasangan bisa melakukan hal-hal yang bersifat fisik personal, termasuk aktivitas seksual kepada kamu sebagai pasangannya. Banyak orang menganggap karena sudah pacaran genuine consent atau persetujuan murni sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Padahal, pemikiran seperti inilah yang menjadi akar dari bentuk paksaan dan manipulasi lanjutan. Kondisi ini pastinya juga akan berdampak pada penghilangan batasan pribadi dan menciptakan kekerasan emosional hingga seksual pada diri kamu sebagai korban sekaligus pasangan.
Perlu ditegaskan bahwa “persetujuan” tidak bisa diasumsikan, salah satu pihak tidak bisa begitu saja menganggap pihak lainnya setuju melakukan aktivitas seksual hanya karena pasangan tidak menunjukan penolakan secara verbal yang disampaikan. Alibi karena sudah berada dalam jalinan hubungan romansa, atau alasan karena kamu dan pasangan telah melakukan aktivitas romansa lain sebelumnya (seperti berciuman, berpelukan, atau hal lainnya), bukanlah persetujuan tulus melainkan pemaksaan seksual dan termasuk pada kekerasan seksual. Persetujuan melakukan aktivitas seksual yang sah harus diberikan secara bebas, sadar, dan sukarela, tanpa adanya tekanan, ancaman, atau manipulasi dalam bentuk apapun.
Pertama kamu perlu mengenali tanda-tanda yang mengarah pada pemaksaan berhubungan seksual
Lalu bagaimana mempertahankan kendali diri yang kamu miliki?
Perlu diketahui bahwa sexual boundaries merupakan batasan yang dinamis atau mudah berubah, mungkin kamu merasa tidak nyaman melakukan aktivitas tertentu saat ini namun dalam berjalannya waktu kamu merasa nyaman atau sebaliknya. Hal seperti ini sangat wajar terjadi, tidak ada masalah dengan hal itu dan kamu bisa menetapkan batasan baru kapan saja. Namun, ingat bahwa batasan tersebut harus tercipta karena kesadaran dan keinginan diri kamu sendiri bukan karena keterpaksaan.
Bagaimana jika kamu ingin mempertahankan sexual boundaries yang kamu tetapkan tapi dia mengancam akan meninggalkan kamu? Perlu diketahui bahwa hubungan yang sehat tidak akan menuntut melakukan hal yang tidak kamu inginkan atau membuat kamu bersalah karena batasan yang kamu miliki. Hubungan yang sehat tidak didasarkan pada rasa takut atau kewajiban, melainkan pada rasa hormat dan kompromi untuk menemukan titik tengah tanpa mengorbankan salah satu pihak. Ingat bahwa diri kamu merupakan subjek, bukan sekedar objek. Kamu memiliki hak penuh atas tubuh, pikiran, dan perasaan kamu. Hak untuk berkata “tidak” adalah kekuatan terbesarmu, siapa pun yang mencoba merampasnya menandakan pasangan tidak menghormati pilihanmu dan kemungkinan besar pasangan tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai yang kamu anut.
Bangunlah hubungan dengan fondasi kuat yang melibatkan kepercayaan, rasa hormat, dan persetujuan ya Sunners. Pada akhirnya, cinta bukan tentang bukti atau pengorbanan yang menyakitkan. Cinta adalah tempat di mana kamu bisa merasa aman tanpa harus kehilangan dirimu sendiri, terlebih terjadi paksaan seksual.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.