Penulis: Syelvina Gusmarani – Universitas Negeri Jakarta
Malam itu, suara hujan rintik memecah keheningan kota kecil berinisial S. Di sebuah kos tua berlantai dua, Bu Ningsih baru saja menyelesaikan ritual malamnya mengunci pintu depan dan memeriksa setiap kamar kosong. Namun, langkahnya terhenti di depan kamar nomor 13. Ada yang aneh. Biasanya, Siska, mahasiswi semester akhir itu, selalu memutar musik klasik sampai larut malam. Tapi kali ini, hanya ada kesunyian.
“Siska?” Bu Ningsih mengetuk pintu perlahan. Tak ada jawaban. Dengan kunci cadangan di tangannya yang bergetar, ia membuka pintu dan dunianya seketika berhenti.
Di atas ranjang sempit itu, Siska terbaring dengan mata setengah terbuka. Sebuah laptop menyala di sampingnya, menampilkan draft skripsi yang tak akan pernah selesai. Thermometer digital di nakas menunjukkan angka 41.2°C demam yang telah mengambil nyawanya dalam diam.
Bu Ningsih, yang telah kehilangan suaminya tahun lalu, paham betul rasa kehilangan. Tapi kali ini berbeda. Ia ingat bagaimana Siska selalu membantunya membereskan halaman, bagaimana gadis itu memanggilnya “Mama Ning” dengan senyum hangatnya. Dan kini, ia harus menelepon orangtua Siska dengan berita terburuk.
“Maaf, Bu Ning,” suara Ayah Siska terdengar letih di telepon. “Banjir besar memutus jalan ke kota. Kami… kami tidak bisa menjemput Siska malam ini.”
Di tengah kebingungannya, Bu Ningsih teringati aplikasi ojek online itu sedang maintenance system. Satu-satunya harapan adalah Pak Rahmat, tukang ojek langganan yang sering mangkal di warung kopi seberang.
Pak Rahmat bukanlah orang biasa. Mantan paramedis yang beralih profesi setelah trauma menangani korban kecelakaan massal. Malam itu, ia duduk di warung kopi dengan secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok ritual yang membantunya melupakan masa lalu.
“Pak Rahmat,” Bu Ningsih menghampiri dengan wajah pucat. “Saya butuh bantuan mengantar seseorang ke rumahnya. Kondisinya… kondisinya kritis.”
Pak Rahmat menatap Bu Ningsih tajam. Sebagai mantan paramedis, ia tahu ada yang tidak beres. Tapi sesuatu dalam suara Bu Ningsih membuatnya tidak tega menolak.
Mereka mengangkat tubuh Siska yang terbungkus selimut tebal. Pak Rahmat merasakan dingin yang familiar dingin yang sama seperti yang ia rasakan di unit gawat darurat dulu. Tapi ia memilih diam.
Perjalanan malam itu seperti mimpi buruk yang panjang. Motor tuanya membelah kabut tebal, melewati jalan berliku yang diapit hutan pinus. Pak Rahmat bisa merasakan beban di belakangnya semakin berat seiring waktu, seolah ada yang menggelayut di pundaknya.
Di kilometer ke-15, hujan turun deras. Pak Rahmat berhenti di sebuah pos ronda kosong untuk berteduh. Saat itulah ia mendengar suara lirih dari belakang: “Pak… dingin…”
Jantung Pak Rahmat berhenti sejenak. Ia menoleh perlahan, dan melihat selimut yang terbuka sedikit memperlihatkan wajah pucat Siska. Dengan tangan gemetar, ia merapikan selimut itu.
“Maaf, Nak. Sebentar lagi sampai,” bisiknya, lebih kepada diri sendiri.
Ketika akhirnya tiba di desa tujuan, ia disambut oleh keluarga Siska yang tengah berkumpul di teras rumah mereka. Ayah Siska mendekat dengan wajah pucat.
“Bapak siapa?” tanyanya heran.
“Saya Pak Rahmat, disuruh Bu Ningsih mengantar anak Bapak…”
“Bu Ningsih?” Ayah Siska mengernyitkan dahi. “Kos anak saya sudah tutup setahun lalu. Bu Ningsih… meninggal dalam kebakaran bersama salah satu anak kosnya. Anak saya Siska yang malang…”
Pak Rahmat menoleh ke belakang motornya. Selimut tebal itu tergeletak kosong, basah oleh air hujan. Dalam benaknya terputar kembali wajah Bu Ningsih di warung kopi wajah yang kini ia sadari tampak terlalu pucat, terlalu familiar dengan kesedihan.
Sejak malam itu, Pak Rahmat tidak pernah sama. Ia masih mengojek, tapi hanya di siang hari. Setiap malam, ia duduk di warung kopi yang sama, memesan dua cangkir kopi hitam satu untuknya, satu untuk penumpang terakhirnya yang tak pernah tiba di tujuan.
Kos tua itu kini hanya puing-puing hangus yang ditumbuhi ilalang. Tapi kadang, di malam-malam sunyi, orang-orang yang lewat masih bisa mendengar alunan musik klasik samar-samar, dan melihat sosok seorang wanita paruh baya yang berdiri di jendela lantai dua, seolah masih setia menunggu anak-anak kosnya pulang.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.