Penulis: Chiara Irma Ardelia – Universitas Negeri Jakarta
Debu beterbangan di udara loteng yang pengap. Reza menutup hidungnya dengan lengan baju sambil mengangkat kardus demi kardus yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh.
“Reza, kamu sudah selesai belum di atas?” teriak Ibu dari bawah.
“Sebentar lagi, Bu! Masih ada beberapa kotak,” jawab Reza sambil menyeka keringat di dahinya.
Rumah tua warisan nenek ini memang perlu dibersihkan total. Setelah nenek meninggal tiga bulan lalu, keluarga Reza baru sempat mengurus barang-barang lama yang menumpuk di loteng. Ayahnya bilang, sebagian akan dibuang, sebagian lagi akan disimpan sebagai kenang-kenangan.
Reza mengangkat sebuah kotak kayu berwarna coklat pudar. Lebih berat dari yang ia kira. Saat membukanya, aroma apek langsung menyeruak. Di dalamnya tersimpan rapi foto-foto hitam putih, surat-surat lama, dan sebuah buku kecil bersampul kulit yang menarik perhatiannya.
“Catatan Harian Milik Ida, 1945,” gumam Reza membaca tulisan yang tertera di sampul. Sepertinya itu adalah sebuah catatan di balik waktu.

Ida. Nama itu familiar. Reza ingat nenek pernah bercerita tentang nenek buyutnya yang bernama Ida, tapi tidak banyak yang diceritakan. Setiap kali Reza bertanya, nenek selalu mengalihkan pembicaraan.
“Reza! Ayo turun, waktunya makan siang!” suara Ibu kembali terdengar.
“Iya, Bu!”
Reza memasukkan buku itu ke dalam tas ranselnya. Entah mengapa, ia merasa perlu membaca isi catatan harian nenek buyutnya itu nanti malam.
***
Malam harinya, setelah menyelesaikan tugas sekolah, Reza duduk di tepi tempat tidur dengan buku catatan di pangkuannya. Lampu meja menyinari halaman-halaman yang menguning.
15 September 1945
Hari ini aku melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Malam terasa lebih asing dari biasanya. Suara-suara itu kembali, seperti bisikan dari ruang kosong di rumah ini. Aku tidak tahu apakah ini hanya khayalan, tapi aku merasa diawasi.
Reza mengernyitkan dahi. Tulisan nenek buyutnya rapi, tapi isinya… aneh. Ia membalik halaman.
16 September 1945
Ibu bertanya mengapa aku sering terbangun tengah malam. Bagaimana aku menjelaskan bahwa ada bayangan yang berjalan di koridor setiap jam dua pagi? Cermin di ruang tamu tadi malam retak sendiri. Tidak ada yang memukul atau menjatuhkannya.
“Aneh,” gumam Reza. Ia melirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Sudah waktunya tidur, tapi rasa penasaran membuatnya ingin terus membaca.
Reza menutup buku dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Besok ia akan melanjutkan membaca.
***
Reza terbangun karena suara langkah kaki di koridor. Ia mengecek jam, tepat pukul dua pagi. Jantungnya berdegup kencang. Mungkin Ayah atau Ibu ke kamar mandi, pikirnya.
Tapi suaranya terlalu pelan, seperti orang yang berjalan mengendap-endap. Reza bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar perlahan. Koridor gelap gulita. Tidak ada siapa-siapa.
“Ayah? Ibu?” bisiknya. Tidak ada jawaban. Ia mendengar suara pelan dari arah ruang tamu, seperti suara retak. Reza berjalan perlahan menuju ruang tamu dengan hati-hati.
Di ruang tamu, ia terkejut melihat cermin hias yang tergantung di dinding retak di bagian tengahnya, persis seperti yang ditulis di catatan harian.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Reza hampir melompat. Ayahnya berdiri di belakangnya dengan wajah mengantuk.
“Ayah… aku dengar suara. Terus cermin ini…” Reza menunjuk cermin yang retak.
Ayah mengamati cermin itu dengan bingung. “Aneh. Mungkin karena usia. Cermin ini sudah tua sekali. Besok kita ganti yang baru.”
“Tapi Yah, ini retak sendiri. Aku tidak mendengar suara keras atau benturan.”
“Mungkin karena perubahan suhu malam hari. Sudah, ayo tidur. Besok sekolah.”
Reza kembali ke kamar dengan pikiran kacau. Kebetulan yang terlalu aneh.
***
Keesokan harinya di sekolah, Reza tidak bisa konsentrasi. Ia terus memikirkan kejadian semalam dan isi catatan harian. Saat istirahat, ia menceritakan semuanya pada sahabatnya, Dani.
“Jadi kamu bilang, apa yang ditulis di catatan itu terjadi juga di rumahmu?” tanya Dani sambil mengunyah roti.
“Iya, Dan. Cermin retak persis seperti yang ditulis. Dan kemarin malam aku dengar langkah kaki di koridor, sama seperti yang ditulis nenek buyutku.”
Dani terdiam sejenak. “Mungkin cuma kebetulan, Rez. Atau mungkin kamu sugesti karena baca catatannya.”
“Tapi kan—”
“Atau,” Dani memotong, “mungkin nenek buyutmu dulu mengalami hal yang sama seperti yang terjadi sekarang. Rumah tua kan sering begitu. Kayak siklus gitu.”
Penjelasan Dani masuk akal, tapi Reza masih merasa ada yang tidak beres.
Sepulang sekolah, Reza langsung naik ke kamarnya dan membuka catatan harian lagi.
17 September 1945
Hari ini aku beranikan diri bertanya pada Ibu tentang sejarah rumah ini. Ternyata, rumah ini dibangun di atas tanah yang dulu adalah kuburan tua. Ibu bilang, dulu sempat ada ritual khusus yang dilakukan untuk menenangkan arwah-arwah yang menghuni tempat ini. Tapi ritual itu hanya berhasil untuk sementara.
Reza menelan ludah. Rumah di atas bekas kuburan? Kenapa nenek tidak pernah cerita soal ini?
18 September 1945
Pintu kamarku terkunci dari dalam semalam. Padahal aku tidak menguncinya. Ibu harus memanggil tukang kunci untuk membukanya. Di dalam kamar, aku menemukan bunga kering di atas bantal yang tidak pernah kutaruh di sana.
Mata Reza membulat. Ia melirik pintu kamarnya, lalu memeriksa kendalnya. Tidak ada yang aneh. Tapi ia jadi tidak tenang.
***
Malam itu, Reza sengaja tidak mengunci pintu kamarnya. Ia ingin membuktikan apakah yang tertulis di catatan akan terjadi lagi. Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika ia memutuskan untuk tidur.
Pagi harinya, Reza terbangun dan langsung memeriksa kendalnya. Terkunci rapat. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak mengunci pintu semalam, ia yakin betul.
“Ibu! IBU!” teriak Reza dari dalam kamar.
“Ada apa, Rez?” suara Ibu dari luar.
“Pintunya terkunci dari dalam! Aku tidak bisa keluar!”
“Lho? Dari dalam? Coba kamu putar kendalnya.”
“Sudah! Tidak bisa!”
Beberapa menit kemudian, Ayah datang dengan toolbox. Setelah hampir setengah jam berkutat, akhirnya pintu bisa dibuka.
“Aneh sekali. Kendalnya seperti macet total,” kata Ayah sambil mengamati kunci pintu.
Ibu masuk ke kamar Reza. “Reza, kamu yakin tidak mengunci pintu semalam?”
“Yakin banget, Bu. Aku sengaja tidak mengunci karena…” Reza terdiam. Ia tidak bisa menjelaskan tentang catatan harian.
“Karena apa?”
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin memang kendalnya rusak.”
Setelah orangtuanya keluar, Reza memeriksa bantalnya. Di atasnya, tergeletak sebuah bunga kering yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Tangannya gemetar saat mengambil catatan harian dari laci meja.
***
“Bu, aku mau tanya sesuatu,” kata Reza saat sarapan.
“Apa, Nak?”
“Tentang nenek buyut Ida. Ibu tahu sejarah rumah ini tidak?” Ibu berhenti mengunyah. Ayah juga melirik dengan tatapan penasaran. “Kenapa tiba-tiba tanya soal nenek buyut?”
“Aku menemukan catatan harian di loteng kemarin. Catatan milik nenek buyut Ida.” Wajah Ibu berubah. “Catatan harian? Kamu baca isinya?”
“Sebagian. Bu, apa benar rumah ini dibangun di atas bekas kuburan?”
Ibu dan Ayah saling pandang. Keheningan menyelimuti meja makan. “Siapa yang cerita begitu?” tanya Ibu pelan.
“Di catatan harian. Nenek buyut menulis tentang hal-hal aneh yang terjadi di rumah ini. Dan Bu…” Reza menarik napas dalam-dalam, “hal-hal yang sama terjadi padaku sekarang.”
Ayah meletakkan sendoknya. “Rez, kamu yakin tidak sedang berhalusinasi?”
“Ayah bisa lihat sendiri cermin yang retak kemarin. Dan tadi pagi pintu kamarku terkunci padahal aku tidak menguncinya. Plus, ada bunga kering di atas bantal yang tidak pernah kutaruh.”
Ibu mengusap wajahnya. “Reza, ada hal yang memang tidak pernah kami ceritakan. Tentang nenek buyutmu dan rumah ini.”
“Apa, Bu?”
“Nenek buyut Ida memang mengalami hal serupa dulu. Dan… ia meninggal secara misterius di rumah ini.”
Reza merasa darahnya mengucur deras. “Meninggal misterius?”
“Ia ditemukan di loteng dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dokter bilang seperti kelelahan ekstrem, tapi tidak ada penyakit apapun. Sebelum meninggal, ia sempat bercerita tentang ‘sesuatu’ yang mengganggu di rumah ini.”
Ayah menambahkan, “Setelah nenek buyutmu meninggal, hal-hal aneh itu berhenti. Rumah jadi tenang sampai sekarang. Nenek—ibumu—tidak pernah mengalami gangguan serupa.”
“Tapi sekarang terjadi lagi,” bisik Reza.
***
Sore harinya, Reza naik ke loteng bersama Ibu. Mereka membawa catatan harian dan senter tambahan. Ibu sepertinya juga penasaran dengan isi lengkap catatan tersebut.
“Ibu yakin mau ikut?” tanya Reza.
“Iya. Mungkin sudah waktunya kita tahu kebenaran tentang rumah ini.”
Di loteng, mereka duduk bersila di dekat kotak tempat Reza menemukan catatan harian. Ibu membuka halaman-halaman yang belum dibaca Reza.
25 September 1945
Aku sudah tidak tahan lagi. Setiap malam, sosok itu datang. Seorang wanita tua berpakaian putih. Ia tidak pernah bicara, hanya menatap dengan mata kosong. Aku rasa ia ingin menyampaikan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa.
26 September 1945
Hari ini aku bertemu dengan dukun kampung. Ia bilang, ada arwah yang terjebak di rumah ini. Arwah seorang wanita yang dulu dikubur di tanah ini, tapi kuburannya dipindah secara paksa saat rumah akan dibangun. Prosesi pemindahan tidak dilakukan dengan benar, sehingga arwahnya gelisah.
Ibu berhenti membaca. “Astaga…”
“Terus baca, Bu.”
27 September 1945
Dukun itu memberiku sebuah ritual sederhana. Katanya, aku harus memberikan penghormatan yang layak dan meminta maaf atas ketidakpedulian keluarga terdahulu. Ritual ini harus dilakukan di loteng, tempat yang paling dekat dengan ‘dunia lain’ di rumah ini.
28 September 1945
Malam ini aku akan melakukan ritual itu. Semoga berhasil dan keluarga kami bisa hidup tenang.
Halaman berikutnya kosong. Tidak ada tulisan lagi.
“Jadi nenek buyut meninggal setelah melakukan ritual itu?” tanya Reza.
“Sepertinya begitu,” jawab Ibu pelan. “Mungkin ritualnya berhasil, tapi menguras tenaga nenek buyutmu hingga…”
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki di bawah loteng. Padahal Ayah sedang pergi ke kantor. “Ada orang di bawah?” bisik Reza.
Ibu menggeleng. Mereka mendengarkan dengan seksama. Langkah kaki itu berjalan perlahan, dari ruang tamu ke arah tangga menuju loteng. “Bu, kita turun sekarang,” bisik Reza.
Tapi langkah kaki itu semakin mendekat. Suara derit tangga kayu terdengar satu per satu. Ada yang naik ke loteng. Reza dan Ibu saling berpegangan. Senter di tangan Ibu sedikit bergetar.
Kepala seorang wanita tua berambut panjang terurai muncul dari lubang tangga. Wajahnya pucat, matanya kosong menatap ke arah mereka. Ibu hampir berteriak, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan.
Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap. Lalu perlahan, ia menunjuk ke arah kotak tempat catatan harian ditemukan.
“Dia… dia ingin sesuatu dari kotak itu,” bisik Reza. Dengan tangan gemetar, Reza mendekati kotak kayu itu. Sosok wanita tua itu tetap berdiri di pinggir lubang tangga, memperhatikan setiap gerakan Reza.
Di dalam kotak, di bawah tumpukan foto dan surat, Reza menemukan selembar kertas yang terlipat rapi. Saat dibuka, tertulis instruksi ritual dengan tulisan tangan nenek buyutnya. “Ritual untuk menghormati arwah yang gelisah,” baca Reza pelan. Sosok itu mengangguk perlahan.
Ibu yang sudah sedikit tenang ikut membaca instruksi tersebut. “Reza, sepertinya kita harus menyelesaikan apa yang nenek buyutmu mulai.”
Ritual itu sederhana: menyalakan lilin putih, menaruh bunga kering di tengah loteng, dan meminta maaf secara tulus atas ketidakpedulian keluarga di masa lalu terhadap arwah yang menghuni tanah tersebut.
“Tapi Bu, kita tidak punya lilin putih dan bunga kering.”
Sosok wanita itu bergerak. Ia berjalan ke sudut loteng dan menunjuk sebuah kotak kecil yang tersembunyi di balik tumpukan kain lama. Reza membuka kotak itu. Di dalamnya ada lilin putih dan bunga kering—persis seperti yang dibutuhkan untuk ritual.
“Nenek buyut sudah menyiapkan semuanya,” gumam Reza.
Mereka mengikuti instruksi ritual dengan hati-hati. Reza menyalakan lilin putih dan meletakkannya di tengah loteng. Ibu menaruh bunga kering di sekitar lilin dalam bentuk lingkaran. Kemudian, dengan suara bergetar, Ibu mulai bicara, “Kami keluarga yang menghuni rumah ini mohon maaf atas ketidakpedulian kami di masa lalu. Kami tidak bermaksud mengganggu atau tidak menghormati arwah yang dulunya beristirahat di tanah ini.” Reza melanjutkan, “Kami berharap, dengan ritual ini, arwah yang gelisah bisa menemukan ketenangan dan kami bisa hidup berdampingan dengan damai.”
Sosok wanita tua itu perlahan tersenyum. Wajahnya yang tadinya menyeramkan kini terlihat lembut dan bijaksana. Ia mengangguk sekali, lalu tubuhnya mulai memudar hingga hilang sama sekali.
Angin sepoi-sepoi tiba-tiba tertiup di loteng, meski tidak ada jendela yang terbuka. Lilin bergoyang perlahan, lalu mati dengan sendirinya. Keheningan menyelimuti loteng. Tapi kali ini, keheningan yang damai.
***
Seminggu setelah ritual itu, rumah benar-benar tenang. Tidak ada lagi langkah kaki misterius di tengah malam, tidak ada pintu yang terkunci sendiri, tidak ada suara-suara aneh.
Reza duduk di meja belajarnya, menulis di buku diary barunya.
15 Oktober 2025
Hari ini tepat seminggu setelah ritual di loteng. Rumah sudah kembali normal. Aku belajar banyak dari pengalaman ini. Bahwa masa lalu keluarga adalah bagian dari diriku, dan tidak semua rahasia harus ditakuti. Nenek buyut Ida adalah wanita pemberani yang mencoba menyelesaikan masalah keluarga, meski harus mengorbankan nyawanya.
Sekarang aku mengerti mengapa nenek tidak pernah mau bercerita tentang hal ini. Mungkin ia takut kami akan ketakutan. Tapi justru dengan mengetahui kebenaran, kami bisa menyelesaikan masalah yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Reza, makan malam!” teriak Ibu dari bawah.
“Iya, Bu!”
Reza menutup diary-nya dan turun ke ruang makan. Di meja, Ayah dan Ibu sudah menunggu dengan wajah ceria.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Ayah.
“Baik, Yah. Sangat baik.”
“Sudah tidak ada gangguan lagi kan?” tanya Ibu sambil menyendokkan nasi.
“Tidak ada, Bu. Malah aku merasa lebih tenang sekarang.”
Ayah tersenyum. “Syukurlah. Omong-omong, tadi Ayah ke toko bangunan untuk beli cat. Ayah pikir sudah waktunya kita cat ulang rumah ini. Biar lebih segar.”
“Ide bagus, Yah. Tapi jangan cat lotengnya ya. Biarkan apa adanya sebagai kenang-kenangan.”
Ibu dan Ayah tertawa. “Baiklah, loteng tetap seperti apa adanya.”
Saat makan malam, mereka bercerita tentang rencana renovasi rumah, tentang sekolah Reza, dan hal-hal ringan lainnya. Tidak ada lagi ketegangan atau ketakutan yang menyelimuti keluarga ini.
Tiga bulan kemudian, rumah sudah tampak lebih cerah dengan cat baru. Reza sering naik ke loteng, tidak untuk ketakutan, tapi untuk membaca dan belajar di tempat yang tenang.
Catatan harian nenek buyut Ida kini tersimpan rapi di rak buku kamar Reza, bersama diary-nya sendiri. Ia menganggap catatan itu sebagai warisan berharga yang mengajarkannya tentang keberanian dan tanggung jawab terhadap keluarga.
Kadang-kadang, teman-teman sekolah bertanya tentang rumah tuanya yang “angker”. Reza hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak ada yang perlu ditakuti dari rumah tua. Yang ada hanya kenangan dan pelajaran hidup.”
Rumah itu kini menjadi tempat yang hangat dan damai, dihuni oleh keluarga yang akhirnya memahami sejarah mereka dan menghormati masa lalu dengan cara yang tepat. Di rak buku, catatan harian Ida dan diary Reza berdampingan—simbol dari dua generasi yang berbeda, tapi terhubung oleh keberanian untuk menghadapi kebenaran dan menyelesaikan masalah keluarga dengan kasih sayang.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
