Penulis: Dyah Pramesti Purbowati – Universitas Negeri Jakarta
Tamara memandang dirinya di depan cermin. Ia terlihat sangat cantik di sana, tubuhnya yang gembul dengan beberapa lemak yang terlihat di bawah dagunya tak menjadi fokus utamanya. tatapan nya justru jatuh pada sebuah kalung yang baru saja datang setelah ia membelinya dari toko online beberapa hari lalu. Kalung itu terlihat cantik bergantung di lehernya meskipun terlihat menyesakkan seakan ia dapat tercekik kapan pun ia bergerak. Tamara memundurkan langkahnya, ia kembali menatap tubuhnya yang terpantul di kaca yang lebih besar dari ukuran tubuhnya itu. Ia memutar tubuhnya, terus memuji tubuhnya dengan senyum puas dan hati yang gembira.
“Ih, cantik banget sih aku hari ini! Tamara cantik dan akan selalu cantik!” ucapnya masih dengan menatap pantulan tubuhnya itu. Setelah berpuas diri menatap dirinya sendiri, ia melangkah pergi menuju kampusnya yang terletak di tengah kota jakarta.
Jalanan kota Jakarta di pagi hari memang tak pernah gagal membuatnya emosi. Entah sudah berapa kali ia terpaksa mengalah untuk memasuki angkutan umum hanya karena ruang kosong yang tersisa di dalamnya tak cukup untuk menampung tubuh besarnya. Ia menghela napas gusar ketika jam telah menunjukkan pukul 08.00 yang mana kelasnya akan dimulai sekitar 30 menit lagi. Tamara menyerah menunggu bus selanjutnya, ia langsung keluar dari halte dan memesan ojek online guna mempersingkat waktu.
“Mas Akbar, ya?” tanya Tamara dengan wajah seramah mungkin walaupun ia sudah sangat panik sekarang.
“Mas, bisa lebih cepat? Saya udah terlambat,” tanya Tamara dengan suara yang lumayan keras, takut-takut jika orang di depannya ini tak mendengar apa yang ia ucapkan karena suara bising dari kendaraan lain.
“Maaf enggak bisa, Mbak, soalnya Mbaknya gemuk banget, motor saya enggak kuat kalau ngebut. Lain kali mesennya mobil aja, Mbak, jangan motor,” balasnya. Setelah jawaban itu, tak ada percakapan lain di atas motor butut itu lagi.
Tamara kini sampai di depan gedung tempat ia kuliah hari ini. Ia memberikan uang dengan jumlah sesuai dengan yang tertera di aplikasi, lalu pergi tanpa mau repot-repot membalas cacian pengemudi itu. Kini ia telah sampai di depan kelasnya. Benar saja, ia telat cukup lama. Kini semua orang menatapnya karena menyela kesunyian kelas pagi ini.
“Pagi, Pak,” ia hanya dapat tersenyum kikuk sambil berjalan masuk kala dosen tua itu menatapnya dengan aura menyeramkan.
“Ya, langsung duduk dengan kelompokmu. Kalau enggak tau, tanya temannya,” ucap lelaki itu lalu melanjutkan materi yang sebelumnya sempat tertunda karena kedatangannya. Sedangkan di sisi lain, Tamara bertanya-tanya apa maksud dari kelompok yang sebelumnya disebutkan oleh dosennya itu.
“Eh Tam, sini! Kita satu kelompok,” seru seseorang dengan suara yang lumayan kencang, itu Kia. Tamara mengangguk dan berjalan cepat ke arah perempuan yang tadi memanggilnya.
“Eh Tam, bawa kursi sendiri, ya. Kursi di samping gue buat tas Kia soalnya,” ucap Adi dengan senyuman menjengkelkan di wajahnya. Tamara menghela napas berat, ia tau kalau proyek ini tak akan berjalan dengan mudah.
*****
Ini sudah pukul 12 siang, Tamara sudah dibiarkan menunggu di kafe dekat kampusnya selama 2 jam penuh. Ia menatap marah ke arah layar ponsel yang menampilkan percakapan grup. Tidak ada satupun anggota kelompoknya yang menjawabnya, ia benar-benar diabaikan. Ia membuka buku komik yang ia bawa untuk berjaga-jaga jika hal seperti saat ini terjadi, ini bukanlah kali pertama Tamara merasakannya, jadi tak ada celah untuknya merasa sakit hati lagi.
“Eh Tam, udah dari tadi?” Tanya Adi yang baru saja datang. Menjawab pertanyaannya, Tamara hanya mengangguk singkat. “Wih, lo wibu? Lo pasti tipikal cewek pick me yang mau dianggap keren karena nonton anime, ya?” tuduh Adi dengan diakhiri tawanya yang renyah.
“Enak aja! Gue udah punya semua seri komiknya!” ucap Tamara tak terima.
“Yaelah, baperan amat. Bercanda! Pantesan lo enggak punya temen! Minimal kalau enggak cantik tuh pinter bergaul, Tam,” jawab Adi. Lalu setelahnya, ia pergi meninggalkan Tamara sendirian.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul 15.00, Tamara memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe tanpa memberikan kabar pada teman sekelompoknya. Ia memutuskan untuk mengerjakan proyek pembuatan buku ini sendirian tanpa bantuan teman-temannya. Namun, baru saja ia menutup laptopnya, Kia datang menghampiri Tamara. Perempuan cantik itu mengutarakan rasa bersalahnya dan mengucapkan kata maaf berulang kali. Tamara luluh, ia kembali mengambil duduknya dan kembali membuka laptopnya yang baru saja ia tutup tadi.
Tidak berselang lama setelah kedatangan Kia, semua anggota kelompoknya satu per satu datang. Mereka duduk mengelilingi Kia seakan dirinya tak ada, ide yang digunakan ialah ide pilihan Kia meskipun dirinya telah banyak memaparkan banyak ide menarik, desain yang digunakan juga desain pilihan perempuan itu meskipun Tamara telah banyak memberikan banyak contoh desain unik, begitu pula dengan pengambilan keputusan lainnya. Semua hanya berputar di sekitar Kia.
“Jadi, siapa yang jadi ketua? Kia?” tanya Tamara
“Enggak, kamu aja, Tam,” jawab perempuan itu dengan senyuman manis. Sontak anggota yang lain setuju dengan usulan perempuan itu. “Lo kan dari tadi enggak ngapa-ngapain, masa masih nyuruh Kia jadi Ketua?” Tanya Adi.
Setelah ucapan Adi yang sedikit melukainya, Tamara memilih diam, tak ada pula yang berniat membelanya. Diamnya Tamara pun tak berarti apa-apa untuk mereka. Hingga akhirnya Kia mengintrupsi.
“Guys, gue pulang duluan boleh? Gue ada urusan nih, kita lanjut besok aja gimana?” Ajak Kia. Sontak semua orang setuju, Kia meninggalkan meja tanpa peduli dengan Tamara yang belum menyatakan penolakannya.
“Eh Ki, udah malem nih, mau gue anter?” Tanya Adi yang tetap mengikuti langkah kaki perempuan itu tanpa mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Setelah kepergian Kia, teman-teman kelompoknya ikut meninggalkan kafe tanpa bertanya atau setidaknya basa-basi mengajaknya keluar kafe bersama.
Tamara kembali sendirian. Perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak, ia menatap lama bangku yang diduduki Kia belum lama ini. Ia sedikit berandai, bagaimana rasanya menjadi cantik? Bagaimana rasanya dipahami banyak orang? Bagaimana rasanya dimengerti tanpa perlu diminta? Atau setidaknya bagaimana rasanya diterima di mana pun?
Haruskah Tamara membunuh rasa nyamannya hanya untuk diterima oleh semua orang? Haruskah ia membunuh jati dirinya hanya untuk dipandang menyenangkan? Atau haruskah ia menjadi cantik hanya untuk didengar dan tak diabaikan?
“Menjadi jelek memanglah bukan sebuah dosa, tetapi menjadi cantik berarti punya kuasa,” ucapnya malam itu.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.