Melkisedek Raffles – UKI
Yunani kuno, tanah kelahiran demokrasi dan filsafat, juga menyimpan catatan kelam tentang kekejaman. Di antara berbagai metode penyiksaan yang pernah ada, Brazen Bull atau Banteng Kuningan menonjol sebagai salah satu yang paling mengerikan. Alat ini bukan hanya sekadar instrumen eksekusi, tetapi juga simbol kekuasaan tirani dan sadisme.
Menurut catatan penulis kuno Diodorus Siculus, Brazen Bull atau banteng perunggu diciptakan pada abad ke-6 SM oleh Perillus dari Athena, seorang pembuat kuningan yang berbakat. Ia menawarkan penemuan ini kepada Phalaris, orang tiran Akragas yang kini berubah nama menjadi Agrigento di Sisilia, sebagai cara baru untuk mengeksekusi penjahat. Banteng ini dibuat dari perunggu, berongga di dalamnya, dengan pintu yang bisa dikunci di satu sisi. Desainnya memungkinkan korban untuk dimasukkan ke dalam banteng, kemudian api dinyalakan di bawahnya, memanggang korban hidup-hidup.
Sebelum hadirnya Brazen Bull ini, hukuman di Yunani kuno umumnya lebih standar, disbanding banteng perunggu yang ekstrem itu, seperti; denda atau penyitaan harta, pengasingan, kerja paksa, atau eksekusi biasa denga meminum racun, dirajam atau dilempar ke jurang. Sistem pemerintahannya juga beragam, karena Yunani kuno bukanlah negara Tunggal, melainkan Kumpulan polis (kota-negara), seperti Athena, Sparta, Korinthos, Thebes dan lainnya. Jenis pemerintahannya meliputi monarki, oligarki, tirani dan demokrasi.
Yang membuat Brazen Bull begitu mengerikan adalah desainnya yang “artistik”. Perillus merancang banteng sedemikian rupa sehingga jeritan korban diubah menjadi suara banteng yang meraung. Ini dicapai melalui sistem pipa dan tabung yang terpasang di dalam banteng. Dengan demikian, alih-alih mendengar jeritan kesakitan, para penonton—dan terutama Phalaris—mendengar “musik” yang mengerikan.
Mengenai kelanjutan Nasib korban dari eksekusi ini sayangnya Diodorus ridak menjelaskan secara rinci kondisi tubuh korban setelah korban dimasukkan ke Brazen Bull, tetapi dari hasil analisis logika sejarah dan ilmu forensik modern tentang pembakaran tubuh, bisa disimpulkan bahwa kulit dan daging bagian luar akan gosong dan menghitam. Panas ekstrem bisa menyebabkan tubuh mengerut, otot kaku, bahkan anggota badan tertekuk. Menurut penelitian juga tidak sepenuhnya menjadi abu, karena butuh suhu sangat tinggi sekitar 800°-1000°, seperti mayat yang dikremasi dijaman modern. Api di dalamnya kemungkinan tidak mencapai suhu stabil seperti itu, jadi jenazah korban masih utuh, tetapi dalam keadaan hangus parah, mirip mayat korban kebakaran hebat. Mengerikan bukan!?

Ironisnya, Phalaris menjadi orang pertama yang merasakan kengerian Brazen Bull. Setelah Perillus menyelesaikan karyanya, Phalaris memerintahkan agar Perillus sendiri masuk ke dalam banteng untuk menguji sistem suara. Setelah Perillus masuk, Phalaris mengunci pintu dan menyalakan api. Namun, sebelum Perillus mati, ia dikeluarkan dari banteng. Phalaris kemudian melemparkan Perillus dari tebing, menolak untuk membiarkan penemu itu hidup dan menikmati penemuannya.
Phalaris menggunakan Brazen Bull untuk mengeksekusi banyak musuh dan penjahat selama masa pemerintahannya. Eksekusi dengan banteng perunggu tidak hanya dimaksudkan untuk membunuh, tetapi juga sebagai tontonan publik. Suara jeritan korban yang diubah menjadi lenguhan banteng menambah efek psikologis, membuat rakyat sekaligus takut dan terintimidasi.
Alat ini segera menjadi simbol teror di Akragas. Nama Phalaris tersohor ke berbagai polis Yunani bukan karena kebijaksanaan, melainkan kekejamannya. Kisah Brazen Bull menyebar melalui cerita rakyat, pidato, hingga catatan penulis kuno. Dengan cepat, banteng perunggu dikenal sebagai salah satu metode eksekusi paling sadis dalam sejarah.
Meski bukti arkeologis langsung belum ditemukan, kisah Brazen Bull tetap hidup dalam ingatan kolektif. Bagi orang Yunani kuno, ia menjadi peringatan tentang bahaya tirani. Bagi dunia modern, Brazen Bull berdiri sebagai simbol gelap betapa kekuasaan absolut bisa melahirkan kreativitas yang kejam.
Kengerian Brazen Bull tidak berhenti di dunia kuno. Dalam karya sastra klasik, penulis seperti Lucian dan Pindaros menyebut banteng perunggu sebagai simbol tirani dan kekejaman, bahkan filsuf seperti Cicero pernah menyinggungnya sebagai contoh penyalahgunaan kekuasaan. Di era modern, Brazen Bull kerap muncul dalam karya seni dan hiburan. Dalam film, alat ini digambarkan di antaranya dalam Immortals (2011) dan serial dokumenter Ancient Discoveries, yang menyoroti rekayasa ekstrem pada masa lalu. Sementara itu, dalam televisi bertema horor atau sejarah, Brazen Bull kerap dijadikan simbol eksekusi brutal yang mengundang rasa ngeri sekaligus penasaran penonton. Dengan demikian, meski fisiknya tak pernah ditemukan, kisah banteng perunggu tetap hidup dalam imajinasi kolektif, menjadikannya salah satu ikon kekejaman paling dikenal di budaya populer.

Sejarah Brazen Bull sering kali diselimuti mitos dan legenda. Beberapa sejarawan meragukan keakuratan detail yang diceritakan, tetapi bukti arkeologis dan catatan sejarah lainnya menunjukkan bahwa alat serupa memang digunakan pada zaman kuno. Terlepas dari kebenarannya, Brazen Bull tetap menjadi simbol kuat tentang kekejaman manusia dan kapasitas untuk melakukan penyiksaan yang mengerikan.
Brazen Bull adalah pengingat yang mengerikan tentang sisi gelap sejarah manusia. Alat ini bukan hanya sekadar instrumen penyiksaan, tetapi juga cerminan dari kekuasaan yang korup dan hilangnya kemanusiaan. Kisah tentang Brazen Bull terus menghantui kita, mengingatkan akan pentingnya menjunjung tinggi keadilan dan mencegah kekejaman di masa depan.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
