Penulis: Dieny Zaina Izzati – UNJ
“Ih, kamu kok makin gendut ya sekarang?”
“Wah, dia kecil tapi montok, euy!”
“Mukamu cocok deh jadi meme!”
Coba jujur: kamu pernah dengar kalimat-kalimat seperti ini, kan? Entah dilontarkan ke teman, kakak kelas, atau… ke kamu sendiri?
Di kalangan remaja, komentar tentang tubuh sering dilontarkan dengan nada bercanda. Tapi yang perlu diingat adalah: nggak semua yang dianggap lucu itu benar-benar lucu bagi yang dijadikan bahan tertawaan. Karena itu termasuk ke dalam body shaming.
Pelecehan verbal adalah bentuk pelecehan nonfisik yang dilakukan lewat kata-kata. Kadang dalam bentuk ejekan, sindiran, atau “candaan” yang merendahkan tubuh orang lain. Misalnya:
Candaan seperti ini sering dianggap biasa, padahal sebenarnya menyakitkan.
Lebih parah lagi, beberapa remaja bisa sampai mengalami gangguan makan karena terus merasa tubuhnya salah.
“Cuma bercanda kok.”
Kalimat ini sering dipakai untuk membenarkan komentar yang menyakitkan. Tapi kebenarannya, bercanda yang melukai bukanlah candaan yang sehat.
Tiap orang berhak atas tubuhnya. Kita tidak pernah tahu perjuangan apa yang sedang mereka hadapi—bisa jadi mereka sedang berjuang dengan kesehatan, kepercayaan diri, atau trauma masa lalu.
Berikut beberapa cara untuk merespons jika kamu mengalami body shaming:
Dan kalau kamu melihat temanmu terkena body shaming, jangan diam atau ikut tertawa. Tunjukkan bahwa kamu mendukung mereka:
Kita semua punya tubuh yang unik. Nggak ada yang sempurna, dan itu bukan alasan untuk jadi bahan ejekan. Tubuhmu layak dihormati. Tubuh siapa pun juga.
Yuk, bangun ruang aman buat diri sendiri dan orang lain.
Mulai dari: nggak ikut bercanda soal fisik, nggak mengomentari penampilan orang, dan berani bilang ‘stop’ kalau ada yang kelewatan.
Karena tubuhku, tubuhmu, tubuh kita semua, bukan bahan bercanda!
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.