Majalah Sunday

Berita Pilu dari Si Jaket Hijau

Penulis: Wafiq Azizah – UNJ

Tanganmu menjangkau gelas plastik berisikan kopi hitam tanpa gula yang disodorkan oleh bapak penjual kopi keliling. Kamu begitu semangat untuk menenggaknya sampai seluruh gigi cemerlangmu itu nampak dari celah bibir.

“Terima kasih, Pak. Ini duitnya,” kamu berujar.

Kamu pun berbalik, gigi-gerigimu masih nampak bahkan sampai kamu mendapatkan tempat duduk di samping Suseno. Tangannya sedang menggetarkan sepuntung rokok yang kamu dapat hidu asapnya. Mirip jenis Surya.

Jaket hijau Suseno sedang tidak ia pakai, melainkan disangkutkan di atas stang motor. Bersama Suseno, ada Umar, Malong, dan Bogip yang sedang berdiri. Mereka kompak bersenda gurau sambil menunggu notifikasi pesanan masuk ke aplikasi ojek online (ojol) masing-masing.

Awalnya, kamu tak tahu apa yang sebenarnya rekan pasukan hijau di sekitarmu itu sedang bicarakan. Barulah saat ada yang bertanya, kamu mulai menangkap keseruan pembicaraan dari tongkrongan tersebut.

“Far, pernah nggak, sih, ente nolongin orang kecelakaan tapi masih pake jaket ojol punyalu itu?” Malong menunjuk dirimu. Alisnya terangkat sepersekian detik.

“Pernah, kenapa, tuh?”

“Sama kita-kita juga pernah. Tapi gara-gara itu orang-orang jadi bertanya-tanya, ‘Kenapa setiap ada kecelakaan atau musibah selalu ada abang ojol?’”

“Iya, ‘kan, padahal mah sebenarnya siapa aja bisa nolongin, cuma kebetulan aja kitanya harus pake jaket ojol setiap saat,” timpal Umar.

“Nih, ya, gua pernah nemu di jalan suami istri lagi berantem karena istrinya mau mesen ojol soalnya ban motor suaminya kempes,” tiba giliran Suseno bercerita, ”tapi suaminya malah nuduh istrinya selingkuh! Wuahahaha, awalnya gua santai aja berusaha ngelerai, tapi makin lama makin rame! Orang-orang pada ngerekam. Alamat dimasukin ke TikTok, tuh!”

Karena menurutmu lucu, jadi kamu balas curhatan Suseno dengan tawaan setelah menyesap kopimu.

“Belum aja ada yang bikin abang ojol core. Itu, tuh, yang kompilasi video-video lucu tentang abang ojol di Tiktok,” cetus Bogip.

Sekali lagi kamu sesap kopimu, kamu pun berujar, “Iya lagi, iya lagi, iya lagi. Saya pernah lihat abang ojol core.”

“Kocak, ‘kan, videonya? Besok-besok muka Bang Gofar tuh yang masuk ke abang ojol core.”

Mendengar cetusan Bogip lainnya, kamu hanya bisa tertawa sembari tmenggeleng-geleng dan tak sanggup berkata-kata.

Kamu kembali menyesap kopimu tanpa menyadari itu adalah tetesan terakhir sebelum bibirmu menyentuh ampas kopinya. Di saat yang tak jauh berbeda, terdengar dentingan notifikasi tanda ada pesanan masuk.

“Gofar, ada yang order-an masuk, tuh!” kata Suseno menyadarkan.

“Eh iya-iya, saya cabut duluan, ya.”

 

“Hati-hati, Bang.”

Hati-hati. Pikiranmu mengulang kembali kata berulang itu setelah Bogip yang berkata demikian. Kalau dipikir-pikir dan mengingat topik tadi, kata “hati-hati” tidaklah sepele. Mungkin terdengar santai diucapkan, tetapi boleh jadi maknanya sangat krusial.

Dengan pikiran yang serius itu, kamu akhirnya menarik resleting jaket hijaumu setelah naik ke atas motor. Helm yang tadinya hanya menggantung di penyangga pun kamu pakaikan ke kepalamu. Honda putih setia milikmu itu kamu tumpangi menjemput penumpang. Ponselmu kamu tautkan pada pegangan ponsel di stang motor. Pengguna akun atas nama Maira sedang menunggu di jarak 2 kilometer. Kamu telah menyalakan mesin dan memanaskan motormu, selanjutnya adalah mengabari sang penumpang.

“Lokasi sesuai titik, ya, Mba.”

“Mohon ditunggu.”

Tanpa menunggu balasan, kamu langsung menancap gas dan segera melenggang di jalan raya besar siang hari itu. Ketika sedang mengendarai motormu, kamu hanya terpikirkan nominal yang didapat setelah nanti menjemput penumpang bernama Maira. Untungnya, sang penumpang memilih pembayaran secara tunai sehingga uangnya nanti bisa untuk dibelikan makan siang.

Meskipun pikiranmu sudah memikirkan semur jengkol dan tempe orek di Warteg Slamet langgananmu, tetapi kamu tetap berhati-hati dalam berkendara. Kamu tidak terburu-buru dan berharap tidak ada kemacetan di depan nanti. Sesekali matamu melirik ke bawah untuk melihat peta yang tersaji di gawaimu. Ada sebuah perempatan beberapa meter lagi dan kamu harus berbelok ke arah kiri. Kamu ingat lekat-lekat agar saat nanti bertemu perempatan tersebut kamu bisa langsung mengambil langkah.

Manakala perempatan itu semakin dekat dengan jarak pandangmu, kamu pun mengalihkan motormu agar sedikit ke pinggir. Lampu sen kiri kamu nyalakan, siap untuk berbelok. Namun, tiba-tiba saja ada motor dengan kecepatan tinggi hendak menyalip dirimu. Kamu tak siap untuk menghindar sampai motormu oleng dan terjatuh.

Dalam posisi tertiban motor, helmmu lepas dari kepala. Karena takut membuat penumpang terlalu lama menunggu, lantas kamu cepat-cepat mengambil helm dan mengendarai motor kembali. Telinga sebelah kananmu terasa pengang, tetapi kamu tak sudi gusar dan terus fokus berkendara.

Saat sampai di titik lokasi penjemputan, kamu tak melihat letak penumpang yang bernama Maira. “Atas nama Maira! Maira!” teriak dirimu, “Maira?”

Panggilan yang terakhir kali disambut oleh suara perempuan yang menjawab panggilamu. “Iya, Bang, saya Maira.” Tanpa bimbang, sang gadis langsung naik ke jok motor belakang. “Nggak usah pakai helm, Bang.”

Kamu agak sedikit terkejut lantaran belum sempat menawarkan hal tersebut kepada sang penumpang. Akan tetapi, selanjutnya kamu iyakan perkataannya tersebut dan langsung beranjak menuju titik tujuan.

Saat sampai, kamu pun langsung menerima uang tunai dari Maira tanpa sempat menatap matanya. Namun, lagi-lagi kamu tak ambil pusing. Toh, itu juga sudah biasa terjadi. Tinggal menunggu penilaian diberikan olehnya. Semoga bintang lima, batinmu.

Akhirnya kamu kembali ke tongkronganmu bersama teman-temanmu tadi. Masih ada tukang penjual kopi keliling. Kamu pun berinisiatif untuk membeli kopi, siapa tahu dirimu yang tadi terjatuh adalah karena mengantuk?

“Terima kasih, Pak. Ini duitnya,” kamu berujar setelah menerima segelas plastik kopi hitam tanpa gula. Kamu kemudian duduk di dekat kawanmu, Suseno. Di depan Suseno juga masih ada Umar, Malong, dan Bogip.

Baru sekali kamu sesap kopimu itu, tiba-tiba muncul denting secara bersamaan. Seketika Suseno, Umar, Malong, dan Bogip pun mengecek gawainya.

“Innalillahi, ada yang kecelakaan deket sini!” pekik Bogip menutup mulutnya.

“Eh bantu-bantu, ayo!” Malong mengekor.

Meski tanpa berbicara, Suseno dan Umar juga turut bergegas. Kamu yang tak mau ketinggalan pun segera meletakkan kopimu di dekat tempatmu duduk dan mengikuti rekanmu yang lain.

Kamu melihat rekan-rekanmu mengarah ke tempatmu tadi berbelok di perempatan. Mereka berempat sampai lebih dulu, dengan banyak orang sudah berkerumun. Saat kamu memarkirkan motor, kamu lihat Suseno jatuh terduduk, sedangkan Bogip membalikkan tubuhnya lantas mematung.

“Apa sebegitu ngerinya?” kamu berbisik.

Kamu pun mendekat, kemudian sedikit berjinjit untuk melihat korban yang mengalami kecelakaan. Rupanya seorang ojol yang memakai jaket hijau seperti dirimu. Helmnya terlepas entah ke mana. Seluruh wajahnya bersimbah darah sampai kamu tak bisa memastikan siapa ia sebenarnya. Kamu masih terus melihat yang berada di sekitar orang tersebut demi memastikan siapa tahu itu adalah kenalanmu. Sampai matamu tertuju pada gawai yang masih tertopang di penyangga yang berada di atas stang motor.

“Bang, saya batalkan aja, ya, maaf.”

Penumpang ini membatalkan pesanannya karena menunggu terlalu lama.

Pada laman obrolan tertulis, “Maira”.

 

Kamu paksa untuk teguk salivamu yang tertahan di kerongkongan. Nyatanya, kamu tak pernah berhasil menjemput penumpang terakhirmu itu.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 75