Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta
Bangku yang ditempati Petra sudah tak betah lagi. Jarum jam pendek yang menunjukkan angka satu telah berpindah ke angka lima dengan Petra yang belum mandi pagi di atasnya. Singlet putihnya miring sebelah karena ia tak kunjung membetulkannya. Fokusnya hanya terpaku pada satu, aplikasi TikTok di ponsel pintar yang sedari tadi layarnya tak henti ia gulir. Kotoran di ujung mata, pinggir bibir, dan mungkin di balik celana dalamnya ia biarkan.
Seluruh atmosfer di terasnya kala itu Petra diamkan, ketika baru saja ia tak menggulir satu video lagi dan muncul unggahan video dengan takarir, “Mau dapet uang receh sampai Rp50.000? Klik link di bio dan chat ‘Mau’!” Langsung saja Petra meloncat dari rebahannya. Bangku agak sedikit terdorong ke belakang sebab tak kuasa menahan beban.
Tanpa mengecek lebih lanjut, Petra yang tergoda gaya iklan seperti itu pun buru-buru mengikuti intruksi serupa. Setelah ia mengirim pesan “Mau” pada ruang obrolan yang dituju, nomor Whatsapp-nya diundang ke sebuah grup “Job Receh”. Sebelum Petra sempat bertanya, muncul lagi pesan di dalam grup tersebut yang berbunyi, “Komen di link ini dengan kata kunci berikut: (a) makanan bau; (b) baunya aneh; (c) baunya seperti basi. Kirim bukti komentar per akun. Rp500,- per komentar.”
Melihat ada rupiah diikuti nominalnya, Petra kalang-kabut kegirangan. Itu pertama kalinya ia mendapati bahwa ia bisa mendapat uang dengan mudah walau hanya berkomentar. Kegiatan itu bisa dibilang merupakan kegiatan yang sudah lazim ia lakukan, mengingat ia yang lulusan SMA ini berujung menjadi pengangguran karena tak mau mendaftar kuliah. Hanya sambil rebahan ia bisa menghasilkan pundi-pundi untuknya jajan dan membeli kebutuhan Mobile Legend. Bayangkan kalau ia punya 10 akun untuk berkomentar, masing-masing akun rutin berkomentar, ia sudah bisa mengumpulkan Rp5.000,- dan jika hal itu dilakukan tiap hari, tiap bulan, setahun ….
Pikiran Petra telah melanglangbuana sejauh yang ia bisa. Ia pun tak menunggu lama dan langsung melakukan arahan yang ditulis oleh nomor yang tak ia kenal. Mula-mula ia mempertanyakan kata kunci yang ada pada arahan tersebut.
“Kenapa jelek-jelek gini komentarnya? Ah, tapi nggak apa-apa, deh. Mikirin amat, ‘kan aku cuma mau duitnya!”
Tautan biru membawa Petra ke sebuah laman video TikTok dari sebuah akun promosi minuman dingin setelah ia menekannya. Petra pun mulai berkomentar macam-macam menggunakan akun yang berbeda-beda. Sebagaimana petunjuk selanjutnya, maka ia memberikan bukti komentar-komentarnya kepada kontak yang tadi memberikan arahan tersebut.
“Baik, silakan kirim nomor rekening atau e-money,” balas kontak yang akhirnya Petra namakan “Admin Job Receh 1” takut-takut ternyata ada banyak admin lainnya di grup yang sama.
Senangnya bukan main. Karena merasa berhasil mendapatkan pundi sendiri, Petra terus melanjutkan pekerjaannya yang kala itu ia masih belum tahu namanya. Petra hanya yakin, yang pasti ia hanya perlu berkomentar. Berkomentar buruk lebih utamanya, sebab ia bisa memperkirakan kira-kira hanya ada sekali dalam seminggu dari arahan yang diberikan untuk memberikan komentar baik.
Petra tidak terlalu memusingkan hal itu, ia hanya butuh uangnya untuk jajan makanan atau kebutuhan gimnya. Kurang lebih sekitar 3 tahun berselang, Petra baru tahu pekerjaan apa yang dia sedang lakukan.
Dalam suatu video yang tautannya dilampirkan oleh sosok Admin Job Receh 1, terdapat seorang pemilik kedai ayam goreng yang tengah menangis. Sepanjang video ia memohon-mohon sembari menyatukan kedua telapak tangannya. Ketika Petra kemudian membuka kolom komentar, beberapa orang tampak sedang berdiskusi.
ssssleepy
sabar ya, kak, mungkin rating Kedai Ayam Sukaria rendah karena kerjaan buzzer tuh!
jabamiyume
buzzer itu apa kak?
ssssleepy
ituloh yang suka komentar aneh-aneh di akun orang lain, kadang jahat dan kadang baik, mereka dibayar juga meskipun cuma komentar.
Selanjutnya, Petra tidak mendapat jawaban apa pun lagi, kecuali komentar lainnya yang mengatakan bahwa Kedai Ayam Sukaria yang dimaksud akan tutup kedai karena bangkrut. “Ternyata namanya buzzer … eh, bentar, orang ini bangkrut cuma gara-gara komentar? Gara-gara buzzer? Halah palingan cuma biar rame aja tuh,” cibir Petra pelan.
Video yang tadi dilihat Petra sama sekali tak mengusik isi hatinya. Ia kembali menjadi buzzer sampai tahun-tahun berikutnya. Selain untuk membeli kebutuhan gim, ternyata Petra juga menabung uang sisanya.
Dua tahun berselang, ponsel pintarnya membunyikan nada dering telepon ketika ia sedang push rank. Ia hampir mengumpat kalau saja ia tak melihat nama yang terpampang. Itu telepon dari Jamal, teman sekelas di SMA-nya dulu.
“Pet, apa kabar, lu!”
“Baik-baik, lu?”
“Sama! Oh iya sekarang lagi sibuk apa nih, Pet?”
“Nge-buzzer aja sih.”
Telepon terjeda beberapa saat disusul oleh tawaan renyah dari seberang sana.
“Waduh, Petra … Petra … Bisa-bisanya lu nge-buzzer?”
“Apa salahnya?”
“Pekerjaan nggak bener itu! Ini aja, deh, jadi aslinya gua mau ngehubungin lu karena mau minjemin lu modal buat buka bisnis. Inget, nggak, waktu kita SMA lu bilang mau jadi pebisnis sukses? Nah, dari pada nganggur dan jadi buzzer buat selingan? Gua bisa bantu.”
Ditawari begitu, Petra kehabisan kata-kata. Semua yang dikatakan Jamal masuk akal. Setelahnya, Petra iyakan saja ajakan dari Jamal untuk membuka bisnis.
Segala yang Petra ketahui dalam membuka bisnis telah ia aplikasikan, dan yang belum diketahui ia coba untuk mempelajarinya. Setelah keputusan yang bulat pepat, hatinya pun menjadi mantap untuk membuka bisnis mie ayam. Petra juga tak lupa untuk mempromosikan bisnisnya itu ke TikTok. Ia beri nama, “Mie Ayam Petra Simpang Lima”.
Pada awalnya, Petra mampu menjual 10 sampai 20 mangkuk mie ayam kepada para pelanggan. Namun, ketika 2 bulan berlalu, ia sama sekali tidak mendapati adanya pelanggan. Ia coba buka Google Maps karena khawatir kedai mie ayamnya hilang dari peta. Nyatanya, kedainya itu masih ada, hanya saja memiliki penilaian yang buruk, yakni hanya menyentuh nilai 1.3 dengan dominasi bintang 1. Hati Petra mencelos saat itu pula. Ia tak tahu harus berbuat apa. Padahal, ia sudah yakin tidak ada yang protes dengan rasa mie ayam atau pelayanannya ketika melayani membeli. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya.
Halnya tidak jauh berbeda di TikTok. Akun promosi mie ayam milik Petra itu dipenuhi komentar buruk yang ia tak ketahui asalnya dari mana. Karena Petra yakin hanya muncul di internet saja, alhasil ia tidak terlalu memusingkan perkara tersebut. Namun, pada kenyataannya, bisnisnya benar-benar sepi. Tidak ada pembeli sama sekali.
Hal itu berlangsung sebulan sebelum Jamal kembali menelpon, “Gimana, bisnislu lancar?”
“Mal, kayanya gua bakalan bangkrut.”
“Apaan, sih? Gua udah sengaja minjemin uang ke lu, ternyata lunya nggak amanah begini. Udahlah besok kita ketemuan!”
Panggilan pun terputus. Kala itu, Petra putus asa. Ia tak sanggup berbicara banyak. Pikirannya selalu berputar pada kemungkinan kedainya mendapat penilaian jelek.
“Apa karena buzzer, ya, kaya Kedai Ayam Goreng Sukaria yang bangkrut waktu itu?”
Sesaat kemudian, Petra termenung. Ia lantas menampar wajahnya sendiri. Benar, seluruhnya pasti perbuatan buzzer. Semua itu juga pasti karena ada yang tak menyukainya, batinnya.
Habis sudah hidup Petra, besok Jamal akan menemuinya, sementara Petra tak lagi memegang uang dengan nilai cukup besar. Ketika sudah begini, hanya satu yang terpikirkan olehnya: kembali menjadi buzzer.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.