Penulis: Wafiq Azizah – UNJ
Mazude pahami betul hanya tinggal selangkah lagi pesawat yang akan membawanya ke angkasa lepas, selesai dirakit. Maz juga paham kalau ia memang ilmuwan gila. Waktu 20 tahun setelah ia lulus kuliah jurusan astronomi malah ia pergunakan untuk merakit sebuah pesawat angkasa.
Sedari kecil, ia memang astrofili sejati. Semerta-merta kecintaan itu didukung oleh orang tuanya. Namun, semenjak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, Mazude Barthon seolah tak punya kompas jati diri lagi. Bocah ingusan itu telah tumbuh sesuka dirinya semenjak ia meraih gelar magister.
Adalah ketika ia berhasil mengerjakan sebuah projek kuliahnya. Maz muda mencoba untuk menonton film demi membuat pikirannya sedikit tercerahkan dari kejenuhan. Film berjudul Black to White menggaet atensinya. Dalam film itu, kedua obsidian Maz berbinar sebab kekaguman tak terhingga. Film yang sebenarnya bergenre fiksi dan hanyalah akal-akalan sang penulis naskah film itu ternyata telah membuka paradigma baru. Sesuatu yang berada di angka dan memiliki jarak dekat dengan lubang hitam atau blackhole akan muncul di suatu tempat melalui lubang putih atau whitehole.
Maz ingat para ahli berpendapat bahwa **tidak ada yang benar-benar bisa diduga dari blackhole. Belum pernah ada yang memasukinya. Hal yang pasti, gaya gravitasi di angkasa memang nol, tetapi blackhole akan menarik apa pun yang melewatinya dengan sekuat tenaga. Blackhole memuat ilusi dimensi waktu yang akan sulit dicerna manusia. Belum ada penelitian mendalam terhadap blackhole, kausa uji coba begitu sukar dilakukan.
Begitu demikian pikiran yang juga ditanamkan oleh Maz. Akan tetapi, setelah film berdurasi 1 jam 37 menit yang dominasi latarnya adalah luar angkasa itu, Maz merasa plot tersebut cukup masuk akal. Si pemuda Barthon mengira blackhole dan whitehole itu bekerja seperti sebuah antonim yang berlawanan konsepnya, dan ia ingin menunjukkannya. Siapa tahu ia bisa menjadi terkenal setelah mengungkapkannya? Siapa tahu ….
Maka sekarang di sinilah ia, berkutat di sekian purnama pada pesawat luar angkasa yang tengah dibuatnya. Satu lagi baut dikencangkan, setelah itu Maz mundur beberapa langkah. Kepalanya menengadah untuk melihat pucuk pesawat luar angkasa tingginya seukuran 5 pria dewasa dan besarnya lebih mirip satu buah helikopter.
“Akhirnya …,” gumam Maz. “Blackhole, pasti engkau telah menungguku begitu lama. Sebentar lagi, ya!”
Terdengar suara ayam berkokok, cicit burung murai, dan siraman cahaya hangat sang surya telah membentuk siluet pesawat luar angkasa ketika Maz tahu ia berhasil menyelesaikan projek pesawat luar angkasa buatannya hingga pagi hari. Selanjutnya, seluruh perkakas ia bereskan dan masuk ke dalam rumah untuk pergi tidur.
Selama tertidur, Maz tahu ia mimpi indah. Dalam mimpinya ia dibawa masuk ke dalam blackhole oleh pesawat luar angkasa buatannya dan menelusuri terowongan tak terbatas di dalamnya. Ia kemudian dimuntahkan kembali ke bumi melalui whitehole. Itu manifestasi pikirannya sendiri. Ketika Maz ingin menilik whitehole tersebut, ia terpental begitu saja. Di saat itu pula ia bangun setelah tersentak dari tidurnya.
Jendela kamarnya tidak tertutup barang sehelai tirai. Matanya sudah bisa menangkap langit yang tadinya putih kebiru-biruan muda berubah menjadi hitam kelam. Maz pun langsung bergegas menyiapkan keperluan untuknya di luar angkasa nanti. Ia bahkan membawa roti lapis sebagai bekal nanti. Ketika seluruh perlengkapan dan keperluannya dipastikan siap, Maz keluar. Tak lupa ia mengunci pintu rumahnya sebelum benar-benar minggat dari sana.
“Blackhole, aku datang.”
Setelah Maz memakai seragam astronaut, ia memasuki pesawat luar angkasanya untuk kemudian melihat ke sekeliling. “Aku tidak percaya aku benar-benar membuat semua ini.” Mata Maz tak berhenti berbinar bahkan sampai ia duduk di kursi pengemudi. Tuas ditarik, berbagai jenis tombol ditekannya. Perlahan mesin pesawat mulai menyala.
Maz akhirnya menekan tombol berwarna merah yang sengaja diberi pelindung. Pesawat melintas lepas tanpa ragu-ragu dengan Maz yang mengendalikan mesin. Ia sedikit panik dan takut, tetapi hasrat untuk mencapai blackhole lebih besar daripada itu.
Jantungnya semakin berdebum kencang seiring dengan pemandangan pesawatnya yang telah berubah menjadi luar angkasa. Bintang, asteroid, planet-planet, dan alam angkasa yang tak terhingga. Panel kontrol tak absen dari sentuhan jari-jari Maz. Ia harus mengatur pesawatnya untuk menemukan medan magnet. Dengan itu, ia bisa menuju blackhole dengan lebih cepat.
Selama kurang lebih 5 jam di angkasa, Mazude terus mengontrol pesawatnya, termasuk menghindar dari asteroid yang melaju bebas. Di sebelah kiri, ada radar yang menunjukkan magnet terkuat di sekitar pesawat itu. Radar itu perlahan menunjukkan tanda darurat dengan maksud memberitahukan bahwa pesawatnya telah begitu dekat dengan medan magnet.
Masih ada jarak sejauh 100 kilometer jika dibandingkan dengan skala pada radar, tetapi Maz mulai kehilangan kendali dengan pesawatnya. Tuasnya bahkan patah ketika ia coba tarik. Maz masih mencoba untuk tetap tenang. Perlahan, justru senyumnya merekah lantaran ia senang akhirnya bisa melihat blackhole.
Sayang sungguh sayang, senyuman itu lama-kelamaan hilang dari wajahnya saat Maz tahu keadaannya berubah drastis. Pesawatnya melaju dengan kencang dan terhempas ke depan begitu saja sebab ditarik oleh medan magnet yang begitu kuat. Maz tak dapat lagi mengatur mesin pesawatnya, semuanya sia-sia.
Di depan, Maz melihat ada lubang hitam raksasa yang ia kira adalah blackhole. Namun, ia tak sempat berkata-kata karena tubuhnya lebih dulu terasa nyeri. Ia mual. Darah segar tetiba menetes dari lubang hidungnya. Ia mimisan.
Hal yang terjadi selanjutnya di luar rencana Maz. Setengah badan dari pesawat luar angkasa miliknya itu sudah pecah berkeping-keping. Sementara itu, magnet menarik dirinya ke dalam lubang hitam.
“TOLONG!” Maz berteriak meski tak ada yang mampu mendengarnya.
Maz tidak bisa bernapas. Tangan dan kakinya keram, Jari-jemarinya turut pecah sehingga darahnya mencuat ke mana-mana.
“Tidak, ini tidak benar. Pasti ada whitehole di depan sana, benda mati saja bisa keluar,” bisik Maz.
Ia terus berpikir demikian sampai kedua kakinya pecah, diikuti oleh perut, dada, dan kedua tangannya.
“Ayah! Ibu! Aku menyesal!” Sementara akhirnya kepala Maz turut pecah.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.