Aroma rumput basah menyeruak ke dalam lubang hidung kecil Alsa, memberikan kesan menggelitik yang khas tiap kali ia pergi ke pekarangan setelah semalaman penuh hujan turun membasahi ibukota.
Jakarta.
Katanya, Jakarta itu macet, penuh polusi dan sering banjir. Tapi bagi Alsa, Jakarta adalah satu dari ribuan benda di alam semesta ini yang menyaksikan bagaimana Alsa hidup dengan tenang tanpa sekalipun berkeluh kesah.
Bibir mungilnya terangkat perlahan sembari menyusup dalam-dalam aroma tanah basah yang telah dijatuhi hujan.
Alsa selalu suka aroma ini.
Tiap kali hujan turun, dia akan memberikan aroma yang menyejukkan. Perempuan bermata biru itu bisa merasakan bagaimana tanah-tanah kecokelatan perlahan melapuk seiring dengan derasnya air hujan yang mengguyur. Ia selalu suka dengan pemandangan di mana hujan turun dengan deras seakan langit menangisi apa yang seharusnya tidak ia tangisi.
Membayangkan betapa indahnya warna-warni pelangi yang muncul ketika hujan mulai berhenti, atau menerka-nerka seberapa banyak burung yang mulai berterbangan mencari makan tatkala tanah-tanah basah mulai dikotori oleh kaki-kaki manusia.
Alsa suka pemandangan itu.
“Kasihan, ya. Dia selalu tersenyum seperti itu tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.”
Samar-samar, telinganya mendengar bisik-bisik orang berjarak lima meter darinya.
“Iya, benar. Apa yang akan terjadi jika dia melihat semuanya?”
Senyuman Alsa tidak berkurang satu senti pun. Gadis itu tetap tersenyum sembari membayangkan kedua insan yang sibuk berdiskusi di dekatnya. Sayup-sayup, indera pendengarannya menangkap sepasang sendal jepit yang bergerak menghampiri. Alsa menutup mata rapat-rapat sembari mendongak.
Langit yang begitu biru, awan yang putih dan terkadang berubah menjadi kelabu, dan burung-burung yang bercicit ria setiap pagi. Alsa selalu suka dengan semua itu.
“Ibu pikir kamu ada di kamar.”
Suara serak Ibu datang bersamaan dengan aroma jahe yang selalu ada dalam genggamannya. Alsa tahu Ibu selalu membiarkan jahe itu melekat dalam genggamannya. Seakan Ibu ingin dirinya mengetahui bahwa keberadaan sang ibu memanglah disana.
“Kamar itu nggak membuat Alsa bebas, Bu. Alsa lebih suka di sini. Lihat! Orang-orang sudah mulai berjalan menuju terminal dan stasiun. Burung-burung mulai berterbangan mencari makan, dan… Ah! Langit selalu ceria setiap kali ia selesai menangis.”
Alsa membuka matanya. Sebuah pemandangan indah yang tidak pernah ia lihat barang sedetik pun.
Alsa buta.
Tidak.
Alsa tidak buta.
Ia bisa melihat dengan caranya sendiri.
Alsa bisa tahu bahwa hujan akan bermetamorfosis menjadi pelangi ketika ia sudah selesai membasahi bumi adalah dengan delusinya sendiri.
Alsa tidak buta.
Ia tahu itu.
Samar-samar, gadis ini merasakan decitan roda yang bergesekan dengan rumput basah. Suaranya mirip seperti ketika Alsa menginjak rumput basah itu. Seperti suara ‘srekk’ dan ‘nyess’ yang digabung bersamaan.
“HENTIKAN SEMUA OMONG KOSONG ITU!”
Sudut bibirnya turun perlahan seraya mencba mempertajam indra pendengaran. Telinga kecilnya mencari siapa pemilik suara alto yang terus-menerus berteriak.
“SUDAH CUKUP!”
Alsa membalikkan tubuhnya sembilan puluh derajat ke arah kanan. Suara roda yang berdecit itu semakin mendekat. Ia tahu, ini seperti suara kursi roda.
“Dhil, denger—”
“APALAGI YANG HARUS AKU DENGER, SAN?”
Tubuhnya bergeming. Telinganya membandel untuk mendengarkan setiap kata yang terlontar dari kedua insan itu.
“Gue…” perempuan itu menahan napasnya. Alsa bisa mendengar bagaimana perempuan itu menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, “GUE INI UDAH LUMPUH! GUE UDAH NGGAK BISA NGAPA-NGAPAIN LAGI! GUE NGGAK BISA JADI PENARI DALAM TIAP TEATER YANG LO MAININ. GUE NGGAK BISA, SAN! HIDUP GUE UDAH NGGAK BERGUNA!”
Tanpa sadar, Alsa menahan napas. Kelopak matanya berkedip beberapa kali meski pemandangan yang ia lihat tidak akan pernah berubah; hitam, dan akan terus seperti itu.
“Dhila, dengerin du—”
“DIAM, RISAN!”
“Dhil, gue—”
“Gue mohon…”
Suara sesegukan terdengar. Baju yang Dhila remas kuat-kuat juga terdengar oleh Alsa.
“Gue mohon tinggalin gue sekaranog.”
Nadanya gemetar. Alsa yakin ada sesuatu yang menyakitkan menusuk-nusuk hati perempuan itu.
Sakit.
Alsa bisa merasakannya.
“Dia lumpuh dan kakinya harus diamputasi.” Kata ibu yang bersuara dari belakang. “Umurnya 19 tahun. Mahasiswa.”
Begitu, ya?
Kalau dipikir-pikir, hidup Alsa masih jauh lebih baik.
Sejak lahir, ia sudah tidak bisa melihat apa pun. Kegelapan adalah sahabat terdekat yang selalu ia temui. Mata biru gadis itu membuatnya paham bahwa indahnya dunia tidak harus dilihat secara langsung. Ia bisa merasakannya dan terbiasa dengan itu. Namun, untuk seorang mahasiswa yang senang menari dalam panggung teater, menerima kenyataan bahwa kakinya harus dipotong adalah suatu kesedihan terbesar.
“Kamu harus istirahat, sayang. Malam ini kamu akan transplantasi mata.”
Membayangkan mata sendiri dipegang oleh dokter dan diganti dengan mata orang lain sedikit banyak membuat Alsa jijik. Gadis itu tidak pernah meminta apa pun untuk kelanjutan penglihatannya. Ia menyukai ini. Semuanya terlihat jelas oleh indra yang lain.
“Ayo, ibu antar kamu ke kamar.”
Dan itu adalah suara parau terakhir ibu sebelum Alsa beristirahat dan menjalankan operasi.
***
Dokter. Baju putih. Stetoskop. Elektrokardiogram. Semua terbayang jelas dalam benak Alsa saat tadi ia menjalani operasi. Benar saja, semuanya sama. Semua hal yang ia bayangkan selama ini adalah sama. Warna-warni yang selalu ibu ceritakan, tekstur buku yang selalu ia bayangkan, semuanya persis seperti yang ada dalam benaknya. Alsa tersenyum senang saat semua hal yang dulu hanya ada dalam bayangnya kini menjadi nyata.
Usai waktu istirahatnya habis, ia berniat menemui ibu. Tadi, ibu bilang bahwa beliau harus menyelesaikan surat-surat selama dirinya menjalankan operasi sehingga tidak bisa menemaninya secara langsung. Dalam pikirnya, ibu adalah sosok perempuan paruh baya dengan kulit kuning langsat, hidung kecil, bulu mata panjang dan bibir yang tipis. Tekstur kulit ibu juga terasa seperti kurma yang ditanam ditempat panas: mengkerut. Mungkin ibu memiliki sedikit tahi lalat diwajahnya. Matanya hitam karena ia adalah orang asia. Meski sudah tua, Alsa tetap bisa merasakan aura kecantikan ibunya.
Dokter membawanya ke sebuah ruangan dimana tempat ibu berada. Mirip seperti ruang istirahatnya tadi. Begitu masuk, perempuan ini melihat sosok wanita paruh baya sedang tidur di atas kasur. Matanya terpejam.
Alsa mendekat dan memperhatikan dengan seksama wajah ibunya. Benar. Ini sama seperti dalam benaknya.
“Ibu?”
Dan suara kecil itu membangunkan ibu yang tadi memejamkan mata.
Ah, sedikit berbeda. Ibu memiliki mata berwarna biru.
“Hei, sayang.” Kata ibu. “Gimana dunia? Indah, kan?”
Satu hal yang Alsa yakin bahwa ternyata dunia tidak pernah seindah yang ibu ceritakan.
Ibu juga tidak bisa melihat dunia.
TAMAT
Novianti Sabani
Universitas Negeri Jakarta