Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Fixing What was Never Actually Broken

Penulis: Cindy Trianita – UKI

“Kita pernah saling butuh, tapi tak pernah saling sembuh”

Sebuah ironi, karena yang perlu disembuhkan bukan hubungan ini, tapi jiwa kami sendiri. Akankah kisah seorang avoidant attachment dan anxious bisa bersama menuju secure?

Dipertemukan kala itu

Malam itu, dinginnya udara Bandung terasa menusuk kulit. Reyno, mahasiswa Fakultas Ekonomi yang selalu punya segudang jadwal, baru saja selesai rapat BEM dan berjalan gontai menuju parkiran. Lampu-lampu jalan di area kampus sudah banyak yang mati, hanya menyisakan sorotan dari beberapa lampu di parkiran. Ia berjalan menuju motornya, matanya terpaku pada sosok yang duduk sendirian di kursi taman depan parkiran. Rambutnya terurai, dengan poni tipis menutupi dahi dan jepitan bunga kecil di samping telinganya. Pandangan mereka bertemu sejenak, membuat jantung Reyno berdetak kencang. Ia mengangguk pelan menyapa gadis itu, dan Lana membalasnya dengan senyum tipis.

Reyno terpaku. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, melainkan oleh rasa penasaran yang sulit ia pahami. Dengan langkah cepat ia menuju motornya, menyalakan mesin, lalu melaju keluar dari parkiran. Namun, baru beberapa meter meninggalkan gerbang kampus, ia merasa ada sesuatu yang menahannya. Rasa ingin tahu itu terlalu kuat untuk diabaikan.

Dengan helaan napas berat, Reyno memutar balik motornya. Roda dua itu kembali berputar menuju halaman kampus. Pandangannya langsung tertuju pada sosok gadis yang sejak tadi menarik perhatiannya. Ia masih duduk di bangku dekat taman itu, sibuk dengan ponselnya, seolah dunia di sekitarnya tak pernah ada.

Reyno menghentikan motornya tak jauh dari sana. Untuk sesaat, ia hanya berdiri sambil mengamati. Ada semacam aura misterius dari gadis itu—bukan sekadar karena wajahnya yang teduh, tapi juga caranya begitu larut dalam layar ponsel, seakan sedang menunggu sesuatu yang penting.

Keraguan sempat menahan langkah Reyno. “Ngapain juga aku balik? Memangnya aku siapa sampai berani nyamperin dia?” batinnya bergulat. Tapi detak jantungnya yang tak kunjung tenang justru mendorongnya. Dengan memberanikan diri, Reyno melangkah perlahan.

“Permisi…” suaranya akhirnya terdengar, sedikit serak.

Gadis itu mendongak, tampak terkejut. Matanya yang bening menatap Reyno, seakan baru sadar ada seseorang yang memperhatikannya.

“Udah malam. Sendirian?” tanya Reyno, mendekat.

“Eh… iya, ini lagi nunggu aja kok,” jawab gadis itu dengan nada bingung.

“Bandung lagi dingin banget, lho. Mau ditemenin?” tawar Reyno, suaranya terdengar kikuk.

Gadis itu sempat terdiam beberapa detik. Alisnya terangkat, menatap Reyno dengan campuran bingung dan geli. “Hah? Maksudnya?” tanyanya sambil memiringkan kepala, seolah memastikan kalau ia tak salah dengar.

Reyno menggaruk tengkuknya, wajahnya sedikit memerah. “Eh… maksud aku, kamu sendirian aja di sini. Ya… siapa tahu kedinginan butuh ditemenin biar jadi hangat hehe..” Tawa kecilnya terdengar canggung, membuat suasana sejenak terasa janggal.

Namun, gadis itu tiba-tiba terkekeh pelan. “Lucu juga cara kamu nawarin,” ujarnya, kali ini dengan senyum tipis yang justru membuat Reyno makin salah tingkah.

“Aku Reyno, mahasiswa sini juga, gausah takut,” ucapnya cepat, mencoba mengalihkan rasa kikuk. “Kamu… lagi nunggu seseorang, ya?”

Gadis itu menutup ponselnya, lalu menatap Reyno penuh rasa ingin tahu. “Iya nih, aku lagi nunggu jemputan.” Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sedikit kekecewaan yang terselip di baliknya.

Beberapa detik keheningan berlalu sebelum gadis itu mencoba mencairkan suasana. “Aku Lana. Anak Sastra.”

“Reyno, anak Ekonomi.” Reyno tersenyum lebar. “Kalau nggak keberatan, kita ngobrol aja sambil nunggu?”

Lana mengangguk kecil, lalu mereka pun larut dalam percakapan ringan. Awalnya canggung, tapi perlahan obrolan mengalir begitu saja—tentang kelas yang melelahkan, dosen yang unik, hingga makanan kantin favorit. Sesekali tawa Lana pecah, membuat Reyno merasa seakan malam itu lebih hangat dari udara Bandung yang dingin.

Tanpa terasa, waktu berjalan cepat. Lampu-lampu kampus mulai redup, menandakan hari sudah semakin malam. Lana melirik jam di ponselnya, lalu menarik napas panjang.

“Aku coba hubungin jemputanku dulu, ya,” katanya sambil mengetik cepat. Reyno hanya mengangguk, menunggu di sampingnya.

Beberapa menit berlalu. Ekspresi Lana perlahan berubah. Ia menghela napas kecil, lalu menatap Reyno. “Kayaknya… jemputanku batal. Dia nggak aktif nih daritadi, mana udah larut malam juga..”

Reyno terdiam sejenak, lalu dengan ragu ia menawarkan, “Kalau kamu nggak keberatan… aku bisa nganterin. Malam makin dingin, nggak enak juga kalau sendirian.”

Lana menatapnya sejenak, seperti menimbang-nimbang. Senyum kecil muncul di wajahnya. “Boleh. Tapi jangan ngebut, ya.”

Reyno terkekeh, menyalakan motornya. “Tenang aja. Supir pribadi biasanya hati-hati.”

Mereka pun beranjak, meninggalkan kampus yang mulai sepi. Di sepanjang perjalanan, angin malam berhembus dingin, tapi entah kenapa, Reyno merasa dadanya hangat. Dan di balik senyum tipis Lana yang terpantul dari kaca spion, ia tahu malam itu bukan sekadar kebetulan.

Pernahkah gak nyoba berelasi dengan harapan kalian akan sembuh secara mental? Cerpen "Fixig What was Never Actually Broken" relate denganmu

Kebutuhan dan Jarak

Setelah pertemuan malam itu, tak butuh waktu lama mereka akhirnya memutuskan untuk ada didalam satu hubungan. Seperti layaknya hubungan yang melibatkan perasaan, itu tidak akan pernah berjalan mulus. Seiring berjalannya waktu tentunya Reyno selalu ingin dekat, sementara Lana sering kali menjauh. Seperti dua kutub yang saling tarik-menarik, mereka jatuh cinta tapi juga terluka oleh kebutuhan yang berbeda.
 
Reyno adalah tipikal anxious. Ia haus akan kepastian, validasi, dan kehadiran Lana. Setiap kali Lana sibuk dan tidak membalas pesannya dalam satu atau dua jam, kecemasan Reyno menyeruak.
Lana, lagi ngapain? Kamu marah?” “kok aku dicuekin?” ” are u okay?” tulis Reyno beruntun.

Di lain sisi, Lana adalah tipikal avoidant. Ia butuh ruang untuk bernapas. Ia takut kehilangan dirinya bila terlalu lekat dengan orang lain. Luka lama masih membekas— ia pernah kehilangan karena terikat terlalu erat pada sebuah hubungan. Trauma itu menjelma menjadi jarak yang selalu dijaga Lana.  Saat itu, Lana sedang menulis puisi di kamarnya, sementara jemarinya sibuk menari di atas kertas. Ponselnya bergetar, berkali-kali. Ia menatap layar dengan rasa jengah.

Nggak, Rey. Aku lagi me time aja.”
Balasan singkat itu membuat Reyno sedikit lega, tapi hanya sebentar. Karena saat Lana kembali diam, pikirannya berlarian ke arah yang keliru.
Tapi kenapa nggak balas pesanku? Aku kira kamu kenapa-napa.”
 
Lana mendesah. Ia tahu Reyno tulus, tapi tuntutan untuk selalu ada membuatnya tercekik. Setiap kali Reyno mendekat, naluri bertahan hidup dalam dirinya justru memaksa untuk menjauh.
Hari-hari berikutnya, pertengkaran kecil jadi makanan sehari-hari. Reyno ingin Lana lebih terbuka; Lana ingin Reyno lebih tenang.
 
“Aku butuh tahu kamu ada buat aku, Lan. Kalau nggak, aku jadi kepikiran terus,” ujar Reyno suatu malam, nada suaranya penuh ketegangan.
 
Lana menunduk. “Aku ada, Rey. Tapi aku juga butuh sendiri. Aku nggak bisa kalau setiap jam harus laporan ke kamu. Aku… takut kehilangan diriku sendiri.”
 
“Kamu selalu ngomong begitu,” suara Reyno meninggi. “Kamu sadar nggak sih, kamu bikin aku ngerasa nggak penting?”
 
Kata-kata itu menusuk Lana. Ia bukan tidak peduli, justru sebaliknya—ia peduli begitu besar, tapi rasa takut membuatnya menjaga jarak. Mereka sama-sama saling mencintai, tapi cinta itu seperti berdiri di antara kaca tipis: indah, tapi rapuh. Reyno ingin mendekap Lana erat-erat, namun semakin ia menggenggam, semakin Lana merasa terjebak.
us in the future (cr insta)

Luka yang terbuka

Demi sebuah hubungan yang sehat, Lana  mencoba memperbaiki dirinya untuk lebih bisa terbuka kepada Reyno, kekasihnya. Lana belajar bahwa rasa takut ditinggalkan itu harus dilawan agar mereka bisa menjadi hubungan yang secure. Lana banyak belajar juga mengenai anxious attachment yang dimiliki Reyno, semakin lama Lana berani untuk keluar dari zona nyamannya dan merasa hidupnya lebih baik dengan Reyno, Ia sudah mulai menaruh harapan dan kepercayaannya kepada lelaki itu. Hubungan mereka akhirnya mulai membaik, Lana merasa sangat dicintai Reyno kala itu dan sifat dewasa Reyno yang mau ikut berubah demi kepentingan bersama selalu membuat Lana semakin yakin bahwa hubungan mereka semakin baik kedepannya. 

Di suatu masa ketika Ujian akhir dan libur akhir semester akan segera datang, Lana sibuk dengan Project kelas dan begitupun Reyno. Mereka memiliki waktu yang sedikit untuk bertemu kala itu. 

Pada ketidaksengajaan waktu itu Reyno bertemu Lala dalam suatu project kampus antar fakultas. Mahasiswi Psikologi yang selalu ramah dan ceria. Lala adalah kebalikan Lana. Ia selalu memberikan perhatian dan validasi yang Reyno dambakan, meskipun secara sifat sangat berbanding terbalik dengan Lana, tetapi visual Lala hampir mirip dengan Lana. Lala selalu membalas pesan dengan cepat, bahkan saat Reyno hanya mengirim emotikon. Tak jarang Lala memuji hal-hal kecil yang Reyno lakukan sehingga beberapa kali Reyno membandingkan Lana dan Lala didalam hatinya. Di sisi Lala, Reyno merasa egonya sebagai seorang anxious dimenangkan. Ia merasa lebih senang mendapat perhatian lebih oleh Lala. Diam-diam, ia mulai membagi waktunya dengan Lala. Ia menggunakan Lala sebagai pelarian ketika Lana sibuk kala itu. Ia tidak ingin meninggalkan Lana, tetapi juga tidak mampu melepaskan kenyamanan yang diberikan Lala.

 
Seiring berjalannya waktu, hal itu tanpa sengaja diketahui oleh Lana,
bukankah hal sebaik apapun ditutupi akan selalu terbuka jika Tuhan izinkan kan?
 
Malam itu hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan Bandung yang lengang. Reyno melangkah cepat menuju kafe kecil di sudut kampus, tempat segelas kopi dan cerita jadi saksi awal hubungan mereka. Reyno pergi kesana untuk bertemu dengan Lana. Tapi malam ini, atmosfernya berbeda.
 
Di dalam, Lana duduk sendirian di dekat jendela. Segelas vanila latte menemaninya, tangannya sembari memegang ponsel, wajahnya pucat diterangi layar. Reyno yang baru sampai tersenyum mendapati keberadaan Lana disana.
 
Kedatangan Reyno tak digubris. Mendapati Lana tengah fokus dengan ponselnya, Reyno pun mengambil ponsel Lana, ia melihat foto dirinya bersama Lala—seorang mahasiswi psikologi yang belakangan ini jadi tempat pelariannya . Foto itu diunggah salah satu temannya tanpa sengaja, tapi cukup menghancurkan.
 
“Lana…” suara Reno parau, seakan tercekik oleh rasa bersalah dan ketakutan. Ia menaruh ponsel Lana diatas meja.
 
Lana menatapnya. Tidak ada air mata, hanya tatapan kosong yang menyakitkan, seakan semua tenaga sudah terkuras.
 
“Berapa lama, Rey?” suaranya tenang, tapi dingin.
 
Reyno tidak bisa menjawab. Kata-kata yang ia simpan di dadanya terasa tumpul. Akhirnya, ia hanya berbisik, “Aku nggak bermaksud ninggalin kamu… aku cuma… aku cuma butuh seseorang yang bikin aku ngerasa aman. Kamu sibuk, kamu sering menjauh… Sedangkan Lala—dia selalu ada buat aku”
 
Hening merambat. Detik jam di dinding terdengar lebih nyaring daripada suara mereka.
 
Lana menghela napas panjang. “Dan kamu pikir aku nggak butuh aman juga, Rey? Aku juga takut… Aku takut kehilangan diriku kalau terlalu dekat. Aku butuh waktu, aku butuh ruang. Tapi kamu malah… cari kenyamanan di orang lain.”
 
Reyno meraih meja, berusaha mendekat. “Aku cuma takut kamu ninggalin aku. Aku nggak kuat kalau kamu pergi. Terus… aku nemu surat pemberitahuan ini.” Ia mengeluarkan selembar kertas dari jaketnya—surat penerimaan beasiswa Lana ke luar negeri.
 
“Kamu bakal pergi juga, kan? Kamu bakal ninggalin aku, kayak semua orang.” Nada suara Reyno pecah, matanya berkaca-kaca.
 
Lana menatap surat itu sebentar, lalu kembali menatap Reyno. “Aku belum cerita ke kamu karena aku tahu kamu bakal panik Rey.. Bahkan tiap malam kamu pikir aku menghindar, menghilang itu bukan karena aku ga peduli sama kamu, karena aku terlalu takut buat kamu kecewa, aku selalu mikirin gimana caranya kamu bisa nerima ini nantinya dan aku juga pikir apa aku masih bisa sama kamu terus karena semua orang bilang aku jahat Rey, mereka bilang aku menyepelekan keberadaan kamu terus, aku juga padahal mau kamu bahagia sama aku dengan cara aku yang mungkin ga bisa terlihat sama kamu. Tapi sekarang… ternyata kamu duluan yang pergi, Rey. Bukan fisikmu, tapi hatimu.”
 
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang Reyno bayangkan. Ia terdiam, lidahnya kelu.
 
“Aku yang harusnya ngomong gitu,” lanjut Lana, suaranya bergetar meski tetap tegas. “Aku yang harusnya takut di tinggalin. Tapi ternyata kamu yang nyari jalan lain.”
 

Reyno mencoba menyentuh tangannya, tapi Lana menarik diri. “ Aku masih butuh kamu Lan, kamu yang ngajarin aku buat lebih tenang dan berusaha menghargai hal-hal kecil yang terjadi di hidup aku. Tapi aku salah sekarang, aku terlalu  fokus sama apa yang membuat aku tenang tanpa mikirin apa yang buat kamu senang Lan ” ucap Reyno dengan rasa bersalahnya.

Lana hanya terdiam, melamun dan mengeluarkan senyum getirnya. Badannya lemas dan bingung harus apa, dia sakit tapi hanya dia yang tau bagaimana sakitnya kala itu.  Hujan di luar semakin deras, menabuh kaca jendela dengan irama kacau. Reyno merasa dunia di sekelilingnya runtuh.

“Jadi… ini akhirnya?” tanyanya lirih. “Kamu nyerah?”

 
Lana menarik napas panjang, menahan getir yang hampir meledak menjadi tangis. Suaranya bergetar, tapi tajam. “Bukan nyerah rey, ini melepaskan. Aku tadinya benar-benar percaya sama kamu, Reyno. Aku pikir sama kamu, akhirnya aku bisa merasa aman, bisa berhenti terus-terusan takut ditinggalkan. Tapi ternyata, kamu malah yang paling tega menusuk aku dari belakang. Rasanya seperti semua hal yang pernah aku percaya hancur di depan mata.”
 
Reyno berdiri dan mencoba memeluk Lana, ia tau ini adalah hal yang tidak ia inginkan “Lan, aku sayang.. Aku minta maaf karena aku yang udah mulai semua ini dari awal. Aku tau aku brengsek Lan, ga seharusnya kamu ada disituasi ini, aku minta maaf” Reyno memberi penjelasan, dan Lana hanya mencoba melepaskan dekapan Reyno saat itu.
 
“Kita terlalu sakit buat bisa saling menyembuhkan sekarang. Karena sekarang aku sadar, luka kita bukan cuma karena kita terlalu sakit, tapi karena kamu memilih orang lain untuk mengobati sepi kamu. Dan apapun alasan kamu untuk memulai dengan yang lain, aku rasa itu udah tepat. Aku minta maaf karena ga pernah bisa jadi cukup untuk kamu. Aku tau ini terdengar jahat, tapi tolong jangan muncul dalam kehidupanku sebagai apapun dan sampai kapanpun”
 
Ia berdiri, menyampirkan tas di bahu. Sebelum pergi, ia menatap Reyno sekali lagi—tatapan yang bukan lagi penuh cinta, melainkan keikhlasan pahit.
 
Lana menangis, “Aku harap suatu hari kamu sadar, yang kamu khianati hari ini bukan cuma aku, tapi juga dirimu sendiri.”
 
Dengan langkah mantap, Lana berjalan keluar, meninggalkan Reyno di meja yang dingin dan sepi.
 
Untuk pertama kalinya, Reyno sadar: kehilangan terbesar bukan karena Lana pergi, tetapi karena ia sendiri yang membiarkan dirinya tenggelam dalam pengkhianatan murah dengan Lala.
 
Dan malam itu, di antara denting suara hujan yang tak kunjung reda, hubungan mereka resmi patah—bukan oleh jarak, tapi oleh sebuah pengkhianatan yang tak akan pernah bisa diperbaiki.
 
 

Jalan Terbaik

Pesawat yang membawa Lana pergi meninggalkan Indonesia menjadi saksi awal dari hidup baru yang ia pilih. Matanya sempat basah, bukan karena ragu, tapi karena ia tahu: semua kenangan yang dulu begitu berarti kini harus ditinggalkan. Di negeri asing, ia menata mimpi, menyembuhkan luka, dan belajar berdiri tanpa bayangan siapa pun.
 
Sementara itu, Reyno tetap bersama Lala. Awalnya ia pikir keputusan itu tepat—Lala hadir dengan wajah yang seakan mengingatkan pada Lana. Senyum, gestur, bahkan intonasi suara, semuanya samar-samar menyerupai. Tapi semakin lama ia hidup bersama Lala, semakin ia sadar: kesamaan visual tidak pernah bisa menggantikan jiwa. Lala bukan Lana, dan tak akan pernah jadi Lana.
 
Malam demi malam Reyno merasa terjebak. Lala ada di sisinya, tapi hatinya kosong. Setiap kali Lala tertawa, yang ia dengar adalah gema tawa Lana yang kini jauh di seberang benua. Setiap kali Lala menyentuh tangannya, yang ia rindukan adalah genggaman yang dulu membuatnya merasa aman.
 
Namun meninggalkan Lala bukan pilihan. Terlalu banyak mata yang akan memandangnya hina, terlalu banyak harga diri yang harus ia jaga. Dan di situlah ironinya—ego yang dulu membuatnya memilih Lala, kini menjadi jerat yang membuatnya tidak bisa lari, meskipun hatinya sudah tidak di sana.
 
Di malam-malam sepi, Reyno sering terjaga, menatap bayangan dirinya di kaca. Ia melihat lelaki asing yang kehilangan segalanya demi sesuatu yang semu. Ia sadar, satu-satunya yang benar-benar ia cari sejak dulu hanyalah Lana—sosok yang sekarang bahkan tidak mungkin ia hampiri lagi.
 

Lana mungkin sesekali masih mengingatnya, mungkin masih mendoakannya dalam senyap. Tapi doa itu tak lagi berwujud harapan untuk kembali, melainkan doa agar Reyno menemukan damai dalam pilihan yang telah ia buat sendiri.

 

Dalam buku hariannya Reno menuliskan;
-Aku pergi karena lelah mengejar, dan kau tinggal karena takut kehilangan,tapi kita berdua sama-sama kalah pada cinta yang tak pernah tiba di waktu yang tepat.
 
Dan begitulah akhir mereka: Lana berjalan mantap menjemput masa depan di negeri jauh, sementara Reyno terkurung dalam hidup yang ia ciptakan sendiri—hidup yang penuh sesal, bersama seseorang yang setiap hari mengingatkannya bahwa kebahagiaan yang hilang sudah tak akan pernah ia miliki kembali.
 

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 5