Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Plotwist Hidup Si Pembully

Penulis: Cindy Trianita – UKI

Namaku Rasya, Aku bukan tipe cowok populer di sekolah. Aku rapi, nilai oke, dan temenku lebih banyak cewek karena… ya mereka nggak ribet. Tapi buat sebagian orang, itu cukup jadi bahan tuduhan.

Sejak awal kelas 11, ada berbagai rumor muncul:

“Eh, si Rasya itu suka cowok deh kayaknya.”

“Iya, liat aja gayanya! Terlalu bersih kaya cewe banget.”

Dan tokoh utamanya: Rayhan Azhura. 

Kapten basket, wajah good-looking, anak jaksel vibes, semua orang nge-idolain dia.

Termasuk guru BK yang sering bilang, “Coba Rayhan jadi contoh kalian semua.” Padahal kenyataannya?

“Woy, Rasya! Jangan duduk deket gue lah, gue takut ketularan!” kata Rayhan, di kantin sambil ketawa keras. Semua ikut tertawa, sedangkan ku cuma menatap nasi ayamku. 
Ya, Rayhan si idola adalah sang pembully bagi orang sepertiku, dia bukanlah orang yang pantas diidolakan.

Pura-pura nggak peduli itu melelahkan. Tapi yang paling nyakitin?

Aku nggak pernah melakukan apapun ke dia.

Tuduhan tanpa bukti, cih.. omong kosong

Hari itu, sepulang sekolah, aku lagi ambil sepatu di loker ketika Rayhan dan gengnya nongol.

“Lu tuh aneh banget sih.” Rayhan menepuk pundakku keras.

“Kalau lu emang normal… buktiin. Deketin Cewek. Siapa kek.”

Aku diam.

Nggak semua orang perlu bukti untuk jadi normal.

“Gue nggak ngerti lo kenapa ngurusin orientasi gue banget sih.” jawabku pelan tapi jelas. Dia langsung menarik kerah seragamku.

“Udah berani jawab ya sekarang si cupu”

Dengan santai aku melepas tarikannya di kerah bajuku dan  membalas omongan si idola itu “Gue takut orang yang ngomong paling kenceng… justru yang paling takut ketahuan.” sembari jalan meninggalkan Rayhan dengan geng nya.

Dia terdiam kaku.

Yang aku lihat sekilas matanya saat itu… bukan marah.

Lebih kayak takut ketahuan sesuatu.

Seorang remaja pendiam yang dituduh LGBT dan dibully di sekolah, hingga akhirnya terungkap bahwa pelaku bullyah yang menyimpan rahasia besar.

Sosok yang berbeda

Minggu berikutnya, wali kelas nunjuk aku jadi partner tugas kelompok dengan Rayhan.

Kebetulan? Kayaknya sih semesta lagi iseng deh.

Saat itu kami memutuskan kerja kelompok dirumahku. 

Dirumahku, dia tiba-tiba terlihat sangat berbeda. Dia nggak norak, nggak nge-judge. Dia bahkan memperhatikan foto keluargaku.

 “Nyokap lu baik ya? Masakin kue?” katanya sambil ngeliatin dapur

Aku ngangguk.

“Nyokap gue suka marah kalau gue salah potong bawang.” Ia tertawa kecil. 

“Bokap jarang pulang… suka marah juga sih.”

Itu pertama kalinya aku lihat dia rapuh. Nggak ada teman yang ikut tertawa di belakangnya. Nggak ada topeng anak populer.

Kami sempat tertawa saat mengerjakan tugas.

Lalu dia bilang… “Lo sebenernya… nggak kayak yang gue kira.”

Aku nyaris tersenyum, tapi… untungnya tidak terjadi.

Keesokan harinya? Boom. Semua kembali seperti biasa. Iya Rayhan, ia lagi-lagi mencemoohku di depan banyak orang.

Seolah kejadian kemarin nggak pernah ada.

Aku semakin yakin: Sepertinya Rayhan itu  hidup dalam dua dunia.

                                                                                 *****             

Aku sebenarnya mulai melihat hal kecil yang aneh dari Rayhan :

• Kalau ngeledek aku, dia selalu yang paling emosional
• Dia sering ngeliatin aku diam-diam
• Setiap aku ngobrol sama cowok lain, wajahnya mengeras
• Dia selalu cari alasan buat dekat… tapi sambil ngehina?

Sampai suatu hari di lapangan basket, saat aku keluar dari perpustakaan.  Dimana anak-anak lain sudah pulang.
Aku lewat sambil membawa laptop, jatuh. Rayhan datang, buru-buru bantuin.

“Biar gue—”

“Jangan sok baik.” kataku ketus

Dia terlihat kaget.
Sangat kaget.

“Gue… gue cuma…” suaranya pelan

Aku menatapnya, benar-benar menatap.

“Kenapa sih lo benci banget sama gue? Gue nggak pernah ganggu hidup lo Ray. Dan gue harap gue ga bersinggungan dengan lo lagi sampe kapanpun”

Rayhan menggigit bibirnya.
Lalu dengan wajah merah:

“Karena lo…”

“Karena gue apa?”

“LO ITU NGEBUAT GUE GILA!”
Aku membeku. Dia tersadar bahwa kata-katanya barusan… kebablasan.

Wajahnya pucat, dia langsung pergi lari.

Sejak kejadian di lapangan basket, Rayhan mulai… berjarak.

Tidak ada bully. Tidak ada olok-olok. Justru keheningan yang lebih menakutkan.

Ketika aku lewat di lorong, dia menunduk. Ketika aku duduk di kelas, dia diam.

Teman-temannya mulai bertanya,

Bro, kenapa nggak bully Rasya lagi? udah bosan?”

Aku sempat berpikir,

“Mungkin dia menyesal?” Tapi ternyata… bukan itu.

Suatu sore, aku pulang telat setelah rapat OSIS. Dan aku melihat Rayhan sedang sendiri di tribun lapangan basket. Ia mengusap matanya dengan cepat. Bahu bergetar. Seolah habis menangis.

Aku ingin pergi… tapi langkahku malah mendekat.

“Rayhan?” panggilku pelan

Dia mendongak, kaget bukan main. “Apa yang lo liat?!” bentaknya terputus

Aku hanya sedikit mendekat dan duduk di ujung bangku, memberi jarak aman. Gue nggak bakal cerita ke siapa-siapa kok.”

Dia tertawa… tapi terdengar patah. “Of course. Si anak baik nggak pernah ngelapor.ujarnya sinis, lalu menatap kosong ke lapangan yang gelap.

“Kalau semua orang tau kelemahan gue… gue bakal hancur.” ucapnya pelan. Aku menahan napas. 

“Semua orang udah bikin gue kayak idola. Padahal… gue nggak bisa jadi diri gue sendiri.”

Suara itu…

Nada itu…

Itu bukan nada seorang pembully.

Itu nada seorang anak yang terjebak. “Kadang… gue iri sama lo,” gumamnya lirih. “Lo kelihatan nggak peduli apa kata orang. Lo berani jadi diri lo.”

Aku menggeleng pelan. “Lo salah. Gue setiap hari takut.” ucapku jujur. “Gue cuma… capek kelihatan lemah.”

Ia menoleh, untuk pertama kalinya menatap tanpa benci. Sunyi mendominasi. Tapi entah kenapa, sunyi itu nggak terasa mengancam.

Lebih mirip… kedamaian yang asing.

Hingga tiba-tiba “RAYHAAAAN!!”

Suara teman-temannya datang dari jauh.

Dengan cepat, ia berdiri, memakai masker arogan yang biasa.

“Nggak usah cerita apa-apa. Lo tau konsekuensinya.”

Dan ia pergi, menjauh dariku lagi. Meninggalkan banyak pertanyaan yang menekan dada.
                                                                             *****

 

Setelah kejadian di tribun itu, aku mulai memperhatikan Rayhan.
Bukan karena aku suka dia, setidaknya bukan itu yang kupahami tapi karena aku penasaran… Kenapa seseorang yang terlihat begitu sempurna, justru terlihat paling rapuh saat sendirian? Aku menemukan jawabannya secara tidak sengaja.

 

Suatu pagi, aku datang lebih awal untuk mengurus stand bazar sekolah. Tiba-tiba aku mendengar suara pertengkaran keras dari depan aula. Suara laki-laki dewasa. “GUE UDAH BILANG! ANAK LAKI-LAKI GAK BOLEH LEMBEK!”

Suara itu diikuti bentakan lain, semakin keras, semakin menusuk.

Aku mendekat dan melihat sesuatu yang membuatku membeku: Rayhan. Dicekal kerah seragamnya oleh seorang pria tinggi bersetelan rapi. Ayahnya, sepertinya. Rayhan berusaha menahan emosinya. Namun matanya… penuh ketakutan.

“Ayah, pliss jangan di sini…” suaranya bergetar, memohon. 

“KAMU ITU HARUS JADI COWOK! JANGAN MALU-MALUIN SAYA!”

DAMN.
Ayahnya mendorong dada Rayhan begitu keras hingga ia hampir jatuh. Aku spontan melangkah keluar dari tempat sembunyi.

“Berhenti!”

Ayahnya langsung menatapku tajam. Tatapan yang membuat lututku lemas. Rayhan panik.

“Sya, pergi.”katanya lirih “Ini bukan urusan lo.”

Tapi aku tidak bisa… Aku tidak mau pergi kali ini.

“Dia nggak salah apa-apa.” suaraku terdengar jauh lebih berani dari yang kurasakan.  Ayahnya hanya tersenyum sinis.

“Kamu temannya? Pantas… penampilan kamu juga nggak jauh beda ya.”

Kalimat itu menusuk. Bukan karena hinaannya untukku… tapi karena aku melihat bagaimana kata itu menampar Rayhan.

Ayahnya pergi setelah mengancam akan “membicarakan ini lagi di rumah”. Dan meninggalkan Rayhan yang tampak hancur.

Aku mendekat perlahan. “Kamu nggak apa—”

“JANGAN SENTUH GUE!”

Rayhan menepis tanganku, napasnya memburu. Mata yang biasanya penuh keberanian… kini kacau.

 Rayhan berlari kencang menuju taman yang letaknya tidak jauh dari sekolah, karena khawatir dengan situasi yang baru saja terjadi aku refleks mengikuti kemana Rayhan pergi.
Sampai akhirnya Rayhan berhenti di bawah pohon dan memukul batang pohon dengan kepalan tangannya, frustasi tampak diwajahnya.
Aku menahan tangannya. Hingga akhirnya Rayhan menjatuhkan badannya di rumput dibawah sana.

“Lo nggak ngerti apa-apa.” katanya dengan suara pecah. 

“Lo tau apa rasanya… jadi gue?”

Aku terdiam.

“Lo difitnah LGBT, lo dibully…”Rayhan menatapku lurus

“Tapi lo masih punya KEBEBASAN buat milih jadi diri lo.”

“Gue? Gue bahkan ngga boleh mikir beda sedikit pun.”

Ada jeda panjang.
Lalu…
“Hidup gue selama ini cuma pura-pura sya.” Aku diam, membiarkannya bicara.“Gue benci sama apa yang gue rasain… karena dunia juga benci.”

Rayhan menunduk, kemudian dengan suara hampir tak terdengar:

“Gue suka lo, sya.”

Dunia berhenti.

Aku hanya bisa menatapnya. Tidak ada kata yang keluar. Rayhan tertawa kecil, tawa patah.

“Lihat? Lo bingung. Lo jijik, kan?” ujarnya lirih

“Semua orang bakal begitu kalau tau gue… kayak gini.” cemasnya.
Aku menggeleng pelan. “Gue nggak jijik.” kataku tulus 
“Tapi gue juga nggak tau apa yang harus gue lakuin.”

Ia mengembuskan napas berat, seolah mendengar jawaban itu saja sudah menyakitkan.

Tiba-tiba suara langkah tergesa terdengar. Kami terkejut saat seorang pria muncul dari balik pepohonan.

Ayahnya.
Dengan wajah seperti badai yang siap menghancurkan.

“Jadi ini yang kamu lakukan di belakang saya?”

Rayhan langsung gemetar.
Aku berdiri, mencoba melindungi arah tubuh Rayhan. Ternyata ayahnya tidak benar- benar pulang. Beliau mengikuti kemana aku dan Rayhan pergi dan mendengar semua percakapan aku dan Rayhan daritadi.

“Yah..”

“KAMU!!!”  Ayah Rayhan menunjuk wajahnya sendiri “Saya sudah mendidik kamu jadi laki-laki!  Bukan… jadi penyakit kayak begini!”

Rayhan memejamkan mata, air matanya jatuh. “Ayah… tolong denger..”

“DIAM!” bentaknya

“Mulai besok… kamu pindah sekolah. Jauh dari sini. Dan saya TIDAK MAU dengar kamu masih bertemu dengan anak satu ini!”

Aku mundur satu langkah. Seolah bumi merenggut napasku paksa.

“Pak, ini bukan salah dia. Dia hanya butuh dibimbing..”

“Saya tidak sedang bicara dengan kamu!” Ayahnya mendorongku kasar

Rayhan langsung menahan lengannya.

“Ayah! Jangan sentuh dia!”

Ayahnya tercengang. Untuk pertama kalinya, aku melihat Rayhan memilih berdiri membela seseorang. Ayahnya menatap Rayhan penuh jijik… dan kecewa.

“Ternyata kamu sudah rusak terlalu jauh.”

Rayhan jatuh berlutut. Seolah kalimat itu menghancurkan seluruh dirinya.

Ayahnya menyeret Rayhan pergi tanpa memberi kesempatan sedikit pun. Aku ingin mengejar. Tapi Rayhan menoleh sambil menggeleng, tangannya gemetar mencoba menyuruhku bertahan di tempat.

Dan aku hanya bisa berdiri, membeku.

                                                                             ****

Keesokan harinya, bangku Rayhan resmi kosong. Nama yang dulu diidola-idolakan sekolah karena kepopulerannya… kini hanya tinggal bahan bisik-bisik yang kejam.

Rumor itu pecah seperti kaca yang jatuh:

“Rayhan tuh LGBT. Makanya dia ngebully Rasya”

“Jaga jarak deh, takut ketularan.” kata murid- murid lain ketika melewati geng nya Rayhan. 

Kini geng populer yang dulu terkenal keren dan suka membully malah berbanding terbalik, kini mereka yang dibully satu sekolah karena ketua geng mereka, Rayhan.

Aku mengepalkan tangan sampai buku jariku memutih.

Orang-orang yang dulu menyemangati Rayhan… sekarang paling menikmati ketika ia jatuh. Bukan salah Rayhan.

Yang salah adalah lingkungan yang mengajari kebencian sebelum empati.

Dalam hati aku berbicara:

Aku tau bully bukan hal yang keren, apalagi kalau kalian semua tidak sekuat mulut kalian…”
“kalian harusnya bisa tegas membela, bukan menertawakan.”

Aku bukan membenarkan yang pernah Rayhan lakukan. Bullying tetap salah.Dia menyakitiku. Banyak.

Tapi…
aku akhirnya mengerti:

Orang yang melukai, sering adalah orang yang paling terluka.

Rayhan menjadi monster…
karena dunia memaksanya untuk menutupi sisi lain dirinya.

Aku berdiri di hadapan teman-temanku yang masih menggunjing Rayhan.

“Kalau kalian masih manusia… berhentilah menghina orang yang kalian bahkan nggak berani pahami.”

Lorong mendadak hening. Mereka menatapku terkejut. Aku tidak peduli. Mungkin mereka berpikir harusnya aku yang senang karena akhirnya sang pembully sudah tidak lagi hidup berdampingan dengan kami disini, tetapi rasa itu berbanding terbalik.


Malam itu, aku menulis pesan yang tak pernah kukirim:

“Rayhan, gue nggak bakal lupa apa yang lo lakuin ke gue.

Tapi gue juga nggak bakal lupa keberanian lo buat jujur meskipun lo langsung dihancurkan.
Dimanapun lo berada, gue harap lo bisa hidup tanpa takut.”

Layar ponsel kupadamkan.
Aku berdiri tegak.

Tidak lagi jadi korban.
Tidak lagi jadi objek rumor.
Tidak lagi diam saat seseorang diinjak hanya karena berbeda.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 2