Penulis: Agung Izzul Haqq Laksono – Universitas Jenderal Soedirman
Sunners, pernah nggak sih kamu lagi asyik scroll TikTok atau Instagram Reels? Konten soal “ciri-ciri Alpha male”, “kenapa jadi Sigma itu keren”, atau bahasan soal kepribadian Alpha Beta Omega pasti sering banget muncul. Rasanya, hampir setiap hari kita dibombardir dengan berbagai informasi dan label kepribadian ini.
Awalnya mungkin seru untuk “cocoklogi”, tapi lama-lama, sadar atau nggak, konten ini bisa jadi beracun. Kita jadi gampang banget membandingkan diri sendiri. “Kok aku nggak se-dominan si ‘Alpha’?” atau “Apa aku ‘Beta’ kalau aku lebih suka damai dan nggak mau jadi pusat perhatian?” Tanpa sadar, kita jadi insecure kalau nggak masuk ke label yang dianggap ‘keren’.
Nah, di sinilah kita perlu meluruskan miskonsepsi. Memahami tipe-tipe ini (seperti Gamma, Delta, dan Sigma) sebenarnya bukan cuma soal label. Ini jauh lebih dalam dari itu.
Artikel ini akan membahas kenapa pemahaman ini, jika dilakukan dengan benar, justru penting untuk kesehatan mentalmu. Ini adalah cara untuk memberimu validasi bahwa kamu berharga apa adanya. Tujuannya membantumu punya mindset untuk tumbuh, alih-alih hanya terjebak dalam label yang kaku.
Sebelum kita bedah dampaknya, yuk, kita kenali dulu secara singkat apa arti dari 6 tipe kepribadian yang sering dibicarakan ini. Ingat ya, ini adalah gambaran umum dan seringkali merupakan stereotip di psikologi populer.


Ini adalah dampak yang paling sering terjadi. Saat semua orang sibuk mengagungkan Alpha dan Sigma, kamu yang mungkin lebih cocok dengan deskripsi Beta atau Omega jadi merasa “kurang”. Kamu merasa ‘biasa saja’, nggak spesial, atau bahkan dianggap ‘lemah’ karena kamu lebih suka damai dan suportif.
Perasaan “cuma jadi Beta” inilah yang sering memicu insecurity dan people-pleasing. Kamu jadi susah bilang ‘tidak’, selalu mengutamakan orang lain sampai mengorbankan diri sendiri, dan harga dirimu (self-esteem) jadi rendah. Padahal, dunia ini butuh banget orang yang kolaboratif dan empati seperti Beta, atau orang yang nyaman dengan dunianya sendiri seperti Omega.
Oke, setelah melihat semua dampak negatif tadi, pertanyaannya adalah: “Terus, gimana dong?” Apakah kita harus menolak semua konsep kepribadian ini?
Nggak juga. Sebenarnya, kuncinya adalah mengubah cara pandang kita. Daripada melihat label ini sebagai “penjara” yang kaku, kita bisa menggunakannya sebagai “cermin” untuk self-awareness atau kenal diri. Ini adalah bagian di mana kamu mendapatkan validasi dan mindset untuk tumbuh.
Hal pertama dan terpenting: manusia itu rumit. Kamu nggak 100% Alpha atau 100% Beta selamanya. Kepribadian itu adalah sebuah spektrum.
Sebagai contoh, mungkin kamu adalah “Alpha” saat memimpin proyek kelompok, tapi berubah jadi “Omega” saat sedang menikmati hobi sendirian di kama. Mungkin kamu punya sisi “Beta” yang suportif ke sahabatmu, tapi punya sisi “Sigma” saat fokus mengerjakan passion project. Itu semua normal dan valid. Berhenti memaksa dirimu masuk ke satu kotak saja.
Alih-alih insecure karena labelmu, coba gunakan ini sebagai titik awal untuk introspeksi.
Misalnya, kalau kamu merasa paling relate dengan “Beta”, jangan berhenti di situ. Tanyakan: “Apakah aku suportif karena tulus (itu kekuatan!) atau karena aku takut konflik (people-pleasing)?” Jika kamu relate dengan “Delta”, tanyakan: “Apakah aku realistis, atau aku sebenarnya takut mengambil risiko?” Ini adalah alat untuk bertanya, bukan untuk menghakimi.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
