Penulis: Disti Cahya Agustine- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hai, Sunners! Seperti kita tahu, banyak sekali hal yang menarik dari Yogyakarta, mulai dari kuliner hingga tradisi kebudayaannya, salah satunya Upacara Labuhan Merapi, ritual tahunan yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta, alam, dan para penjaga Gunung Merapi. Upacara ini bukan sekadar upacara adat, tapi juga pengingat buat kita semua tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Tahukah kamu kalau tradisi Labuhan Gunung Merapi punya kisah legenda yang menarik? Dulu, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram, bertapa di Pantai Parangkusumo untuk mencari petunjuk saat kerajaannya sedang berperang. Saat itu, ia bertemu dengan Ratu Laut Selatan yang memberikan restu agar cita-citanya tercapai, dengan satu syarat, yaitu sang ratu harus menjadi istrinya. Senopati pun menyetujui dan menikah secara gaib dengan Ratu Laut Selatan, yang kemudian memberinya telur jagat sebagai kenang-kenangan sebelum ia kembali ke Keraton.
Namun, telur itu justru termakan oleh juru taman dan membuatnya berubah menjadi raksasa. Sebagai akibatnya, ia tak lagi tinggal di Keraton dan diberi tugas untuk menjaga Gunung Merapi agar masyarakat Yogyakarta terhindar dari bencana. Sejak saat itu, masyarakat mengadakan tradisi Labuhan Gunung Merapi setiap tahun sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur, dengan membawa sesaji yang disebut uborampe.

Setiap tahun, masyarakat Yogyakarta mengadakan Upacara Labuhan Gunung Merapi, sebuah tradisi sakral yang hanya dilakukan sekali dalam setahun, tepatnya pada bulan Rajab. Ritual ini tidak bisa dilakukan sembarangan, karena waktu pelaksanaannya menunggu perintah langsung dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Malam sebelum upacara, berbagai perlengkapan sesaji atau uborampe yang akan dipersembahkan sudah disiapkan dan diletakkan di Bangsal Sripengantin dalam area keraton. Uborampe ini dijaga semalaman penuh oleh abdi dalem pilihan, yang dipilih melalui proses spiritual oleh Sultan Hamengkubuwono X. Mereka harus berjaga tanpa tidur, sambil menjaga api dupa dan kayu cendana sebagai simbol kesucian dan permohonan agar upacara berjalan lancar.
Keesokan harinya, setelah prosesi penjagaan selesai, perwakilan dari keraton akan membawa uborampe menuju Gunung Merapi. Perjalanan ini menjadi momen sakral karena sesaji tersebut akan diserahkan langsung kepada Mas Kliwon Asih Suraksaharyo, juru kunci Gunung Merapi. Dalam upacara ini terdapat sembilan jenis uborampe yang dilabuhkan, di antaranya kain batik khas seperti Sinjang Cangkring, Semekan Gadung Mlati, Kampuh Poleng, hingga Peningset Udaraga. Semua benda ini memiliki makna simbolis sebagai wujud syukur, penghormatan, dan permohonan keselamatan bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebelum proses utama dimulai, masyarakat dan abdi dalem biasanya mengadakan kenduri dan pertunjukan wayang kulit sebagai bentuk doa bersama agar acara berjalan tanpa hambatan. Saat pagi tiba, sekitar pukul enam, semua peserta berkumpul di depan pendopo untuk melaksanakan upacara persiapan sebelum menuju lokasi utama di Bangsal Sela Pengantin, lereng Merapi. Tempat ini dipercaya sebagai titik pertemuan para leluhur dan tokoh spiritual masa lalu. Melalui tradisi Labuhan Merapi, masyarakat Yogyakarta tidak hanya menjaga warisan budaya leluhur, tapi juga menunjukkan rasa hormat kepada alam dan sang pencipta. Saat Upacara Labuhan Merapi berlangsung, juru kunci memimpin doa dan memastikan semua prosesi berjalan dengan khidmat dan penuh rasa hormat.
Upacara Labuhan Merapi punya makna yang dalam banget bagi masyarakat Yogyakarta. Tradisi bukan sekadar ritual tahunan, tapi juga doa dan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta bentuk penghormatan kepada para leluhur Keraton Ngayogyakarta. Tujuan utamanya adalah memohon keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan negeri.
Bagi masyarakat Jawa, upacara ini menunjukkan betapa kuatnya hubungan mereka dengan alam dan kekuatan spiritual. Gunung Merapi dianggap sebagai tempat yang sakral, sehingga menjaga keharmonian dengan alam dianggap sama pentingnya dengan menjaga hubungan antarsesama manusia. Melalui ritual Labuhan, masyarakat diajak untuk selalu hidup seimbang dan menghormati kekuatan alam yang melindungi mereka.

Upacara Labuhan Merapi mengajarkan kita arti syukur, keseimbangan, dan cinta terhadap alam. Tradisi ini bukan sekadar warisan leluhur, tapi juga pengingat agar kita hidup selaras dengan lingkungan dan tidak melupakan budaya sendiri.
Yuk, Sunners, kita ikut melestarikan tradisi seperti Labuhan Merapi dengan mengenalnya, menghargainya, dan menyebarkan semangat cinta budaya Indonesia ke banyak orang.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
