Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Hati Sang Penjajah

Penulis: Cindy Trianita – UKI

        Namaku Elias. Aku tumbuh di rumah batu abu-abu di pinggiran kota kecil di Eropa utara, di mana setiap pagi aroma tinta, surat kabar, dan kopi hitam bercampur di udara. Tahun itu 1934, dan dunia sedang bicara tentang kejayaan bangsa, bukan tentang nurani manusia.

Ayahku seorang perwira pensiunan. Ia masih menyimpan seragamnya dalam lemari kaca, lengkap dengan medali perak yang berdebu. Setiap kali aku menatap benda itu, aku tahu apa yang ia harapkan dariku: menjadi penerus, pahlawan, penakluk — apa pun yang membuat nama keluarga kami terdengar megah di telinga orang lain.

Ia sering memintaku duduk di depan peta besar yang menempel di ruang tamu. Garis-garis merah membelah lautan, menandai batas wilayah yang telah “kami” kuasai.

“Lihat, Elias,” katanya suatu kali, dengan jari menunjuk jauh ke selatan, “tanah ini penuh sumber daya. Kita hanya perlu sedikit keberanian untuk mengambilnya.”

Aku mengangguk saat itu, tapi di dalam hati aku hanya merasa kosong.

Aku tidak melihat kekayaan. Aku melihat garis-garis luka yang membentang di dunia, membelah orang-orang yang tak pernah memilih untuk dijajah.

Di balik kotak kayu

Malam-malamku kadang terisi oleh pertanyaan yang tidak boleh diucapkan.

Apakah orang-orang di tanah itu, yang disebut “primitif” oleh koran-koran kami, punya anak seumuranku?

Apakah mereka juga punya ayah yang mengajar mereka mencintai sesuatu?

Dan apakah mereka membenci kami seperti aku mulai membenci diriku sendiri?

Di sekolah, kami belajar tentang “kebanggaan nasional.” Guru kami berkata, bangsa besar adalah bangsa yang mampu menundukkan dunia. Tapi setiap kali kata menundukkan disebut, hatiku seolah menolak.

“Mengapa kemuliaan harus selalu berarti menginjak orang lain?” Aku tidak berani berkata keras-keras, karena di kelas kami, keraguan dianggap pengkhianatan.

Ayah sering bilang bahwa keberanian adalah ketaatan. Tapi aku mulai berpikir, mungkin keberanian sesungguhnya adalah melawan apa yang kau tahu salah, bahkan jika itu berarti menentang darahmu sendiri.

Suatu sore, aku menemukan kotak kayu kecil di loteng rumah. Di dalamnya ada surat-surat lama, tulisan tangan ayah ketika masih bertugas di koloni.

Surat-surat itu penuh pujian tentang “tanah subur,” “penduduk yang patuh,” dan “peradaban yang dibawa Eropa.” Tapi di antara paragraf panjang, aku menemukan satu kalimat yang berbeda, nyaris terselip:

Anak kecil di pasar tadi menatapku dengan mata kosong. Aku tak tahu apakah aku pahlawan atau pencuri.

Entah kenapa aku tak bisa berhenti membaca kalimat itu.

Itu pertama kalinya aku merasa ayahku mungkin pernah meragukan semua yang ia ajarkan padaku. Tapi keraguan itu dikubur hidup-hidup di balik kata ‘tugas negara’.

Sejak hari itu, aku berhenti menatap peta yang tergantung di dinding. Warna-warna yang dulu tampak gagah kini terlihat seperti darah yang tak pernah kering.

Aku mulai menulis diam-diam — tentang dunia yang tak mengenal penjajahan, tentang laut yang tak memisahkan, tentang manusia yang tak dibedakan warna kulit atau bendera.

Kadang aku berpikir, andai aku lahir di tanah yang disebut “wilayah jajahan,” mungkin aku juga akan membenci orang seperti diriku.

Dan jika begitu, bagaimana aku bisa mencintai bangsaku tanpa membenci orang lain?

Sekarang, setiap kali ayah bicara tentang masa depan, aku hanya diam. Ia ingin aku masuk akademi militer, katanya itu kehormatan.

Tapi aku tidak ingin menjadi kehormatan siapa pun jika itu berarti menjadi ketakutan bagi orang lain.

Aku tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan. Dunia sedang bergejolak, orang-orang berbicara tentang perang, tentang kekuasaan, tentang tanah yang harus direbut kembali. Tapi aku hanya tahu satu hal: aku tidak ingin menjadi bagian dari sejarah yang ditulis dengan darah orang lain.

Mungkin nanti, jika aku punya anak, aku akan menggantung peta lain di dinding — bukan peta yang penuh batas, tapi peta kosong tanpa warna, tanpa garis pemisah.

Lalu aku akan berkata padanya,

“Lihatlah, Nak. Inilah dunia. Jangan taklukkan dia. Pahamilah dia.”

Kisah Elias, pemuda Eropa tahun 1930-an yang dibesarkan untuk menaklukkan dunia, namun hati sang penjajah justru menemukan makna kemanusiaan

Surat dari Tanah yang Tak Pernah Dikenal

Tahun 1940.

Dunia sedang terbakar. Tentara berbaris di jalan-jalan, bendera berkibar di setiap sudut kota, dan orang-orang mulai berbicara dengan bisik-bisik—seolah udara pun bisa jadi mata-mata.

Aku, Elias, kini dua puluh empat tahun.

Aku seharusnya sudah memakai seragam seperti ayah dulu, berdiri tegak di barisan pasukan dengan dada penuh kebanggaan. Tapi aku memilih cara lain: menulis, menerjemahkan, dan—diam-diam—mengirimkan kebenaran lewat surat-surat yang tak pernah di tandatangani.

Kupikir dulu perlawanan itu soal senjata. Ternyata, kadang perlawanan hanya butuh selembar kertas dan kalimat yang jujur.

Aku bekerja di kantor administrasi kolonial. Tugasku sederhana: mencatat laporan dari wilayah jajahan dan menerjemahkannya untuk pejabat tinggi.

Tapi dari ratusan laporan yang kuterima, aku justru menemukan kisah-kisah yang tak tertulis—kisah manusia yang terluka di balik angka-angka statistik.

Satu malam, aku membuka berkas yang datang dari wilayah timur. Di dalamnya ada laporan tentang “pemberontakan kecil” di sebuah desa pesisir.

Aku membaca catatan itu perlahan: “Penduduk menolak bekerja di perkebunan. Seorang pemudi memimpin perlawanan. Ditangkap dan dieksekusi.”

Di bawah catatan resmi itu, ada secarik kertas tambahan—tulisan tangan yang berbeda.

Tulisannya miring, sederhana, tapi penuh nyawa:

“Dia tidak melawan untuk perang. Dia melawan karena ingin hidup bebas. Namanya Aluna.”

Aku tidak tahu siapa yang menulis catatan itu, tapi malam itu aku tidak bisa tidur.

Untuk pertama kalinya, nama dari tanah jauh itu terasa lebih nyata dari semua nama bangsawan di kotaku.

Beberapa minggu kemudian, aku menemukan keberanian yang bahkan aku sendiri tak mengerti.

Aku mulai menyelundupkan salinan laporan-laporan itu, lalu mengirimkannya lewat pos rahasia kepada jurnalis independen di negara lain.

Aku tahu risikonya. Jika ketahuan, aku bisa dituduh pengkhianat bangsa. Tapi bagaimana aku bisa setia pada bangsa yang tak setia pada kemanusiaan?

Suatu malam, di kantor yang hampir kosong, aku menerima surat balasan—bukan dari jurnalis, tapi dari seseorang di wilayah koloni. Surat itu ditulis dalam bahasa sederhana yang sedikit patah-patah, tapi pesannya jelas:

“Terima kasih karena menulis tentang kami.

Kami tahu tidak semua dari negerimu setuju dengan penjajahan.

Jika suatu hari kau datang, kami tidak akan menyebutmu penjajah. Kami akan menyebutmu saudara.”

Surat itu kutatap lama, sampai huruf-hurufnya kabur oleh air mataku sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa diakui bukan karena kebangsaan, tapi karena keberanian untuk menolak menjadi buta.

Tapi dunia tidak pernah membiarkan orang seperti aku hidup tenang.

 

 

               Suatu pagi, ayah datang ke rumahku tanpa pemberitahuan. Wajahnya keras seperti dulu. Ia meletakkan selembar kertas di mejaku — surat panggilan wajib militer.

“Aku sudah daftarkan namamu,” katanya singkat. “Ini waktumu membalas budi pada tanah kelahiranmu.”

Aku menatapnya lama.

“Tanah kelahiranku mungkin di sini, Ayah,” jawabku pelan, “tapi nuraniku… mungkin sudah berpihak ke tanah yang lain.”

Ayah terdiam.

Di matanya, aku melihat amarah dan ketakutan bercampur jadi satu—campuran yang sama yang dulu membuatnya jadi pahlawan, dan aku jadi pengecut di matanya.

Malamnya, aku mengemas sedikit pakaian dan surat-suratku, lalu meninggalkan rumah tanpa pamit.

Aku tahu aku tak akan kembali.

Elias meninggalkan daerahnya malam itu

⚓ Beberapa bulan kemudian…

Aku berada di kapal kargo yang menuju selatan.

Kapal tua, penuh debu, dan dikawal oleh tentara yang tak banyak bicara. Aku menyamar sebagai penerjemah sukarelawan.

Setiap malam di dek, aku menatap laut yang luas dan gelap. Angin asin menampar wajahku, seolah menghapus sisa-sisa masa laluku.

Sesampainya di pelabuhan, udara terasa berbeda—hangat, lembab, dan penuh suara kehidupan.

Anak-anak berlari di pasir, orang-orang tersenyum tanpa takut.

Tapi di kejauhan, asap mengepul dari desa yang dibakar tentara.

Di situlah aku akhirnya bertemu orang-orang yang dulu hanya kutahu lewat laporan—orang-orang yang katanya “liar”, “primitif”, “tidak beradab.”

Tapi mereka justru menatapku dengan mata yang paling manusiawi yang pernah kulihat.

Salah satu dari mereka memperkenalkan diri: seorang wanita muda dengan tatapan tajam.

Namanya Aluna.

Ya—nama yang pernah kubaca di laporan itu.

Ia menatapku lama.

“Kau dari negeri yang menaklukkan kami,” katanya perlahan. “Tapi kenapa kau datang tanpa senjata?”

Aku tersenyum lemah.

“Karena mungkin,” jawabku, “aku datang untuk ditaklukkan—bukan oleh tanahmu, tapi oleh kebenaran yang dulu aku abaikan.”


                   Aku tidak pernah berencana tinggal di tanah ini. Awalnya aku datang hanya untuk melihat, untuk menebus sesuatu yang tak pernah kumengerti sepenuhnya. Tapi hari demi hari, tanah ini seperti menahan langkahku. Ada sesuatu di sini yang tak bisa diberikan negeriku — ketulusan yang sederhana, tanpa syarat, tanpa syair kemenangan.

Aku berhenti menulis laporan-laporan untuk mereka yang duduk di kantor jauh di utara. Kini aku menulis untuk mereka yang tak punya suara. Tentang hak untuk hidup, untuk memilih, untuk mencintai tanpa takut.
Tulisan-tulisanku di sebarkan diam-diam — di selipkan di bawah pintu, di bacakan di malam hari, di tulis ulang di lembar-lembar daun pisang yang basah.
Aku tahu, aku tak sedang memimpin perang. Tapi mungkin, dengan setiap kalimat jujur yang kutulis, aku sedang melawan kebohongan yang telah diwariskan padaku sejak lahir.

Aluna sering menertawakanku karena aku menulis terlalu banyak.
“Kau menanam kata seperti menanam benih,” katanya.
Dan mungkin dia benar. Karena setiap pagi, kami benar-benar menanam sesuatu di halaman belakang rumah: biji-biji mangga, sisa jagung, harapan yang belum punya bentuk.

Aku menyadari, cinta datang bukan dari kesamaan asal, tapi dari kesamaan luka.
Kami tak pernah saling menjanjikan apa pun, tapi setiap kali matanya menatapku, aku tahu aku telah menemukan rumah — bukan tempat di peta, tapi rasa yang membuatku berhenti ingin pergi.

             Tahun-tahun berjalan. Perang mereda, bendera-bendera baru dikibarkan, dan dunia mulai menggambar ulang batasnya.
Tapi aku tak lagi peduli pada batas. Aku telah hidup di sisi lain dari sejarah — di tempat di mana manusia berhenti disebut “penakluk” dan “terjajah,” dan mulai disebut “sama.”

Kini aku tinggal di rumah kecil di pesisir dan  memutuskan untuk menikah dengan Aluna. Laut di depan rumahku tenang, seolah ikut bernapas bersamaku.
Aluna sibuk di kebun, dan anak kecil kami — rambutnya seperti ombak sore hari — berlari di sekitar pohon mangga yang dulu kami tanam saat perang masih berkecamuk.

Di ruang tamu tergantung satu-satunya benda dari masa laluku: peta besar, tapi kini kosong. Tak ada garis, tak ada warna.
Hanya kertas polos yang dibiarkan putih, seperti dunia yang belum diusik ambisi manusia.

Kadang anakku bertanya, “Ayah, kenapa petanya tidak ada negaranya?”
Aku hanya tersenyum, mengangkatnya ke pangkuanku, dan menunjuk ke tengah peta itu.

Karena di sinilah kita hidup, Nak,” kataku pelan.
Inilah dunia.

 Jangan taklukkan dia. 

Pahamilah dia.”

Ia tertawa kecil, lalu kembali berlari ke luar.
Dan di detik itu, aku sadar — mungkin aku tidak pernah memenangkan peperangan apa pun. Tapi aku telah menemukan kedamaian yang tak bisa diberikan oleh bendera mana pun.

Aku menatap laut sekali lagi. Ombak datang dan pergi, membawa bisikan masa lalu.
Dan untuk pertama kalinya, aku berterima kasih pada semua hal yang pernah kusesali — karena tanpanya, aku tak akan sampai di sini, di rumah kecil yang penuh cahaya sore, bersama orang-orang yang mengajariku arti menjadi manusia.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 62