Penulis: Chiara Irma Ardelia – Universitas Negeri Jakarta
Batavia, 1930.
Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri ketika Sari sudah merentangkan tikar pandan di sudut pasar. Kangkung, bayam, dan tomat hasil kebun di pinggiran Batavia tertata rapi di atas tikar. Aroma tanah basah bercampur dengan bau ikan asin dari kios sebelah, sementara suara teriakan pedagang lain mulai memenuhi udara pagi.
“Sayur segar! Sayur segar!” teriak Sari sambil mengatur timbangan kecilnya.
Sudah tiga tahun ia berdagang di pasar ini. Setiap pagi, ia berjalan kaki dari kampung kecil di Tanah Abang, melewati jalan-jalan berdebu dan rumah-rumah besar milik orang Belanda. Salah satu rumah yang selalu menarik perhatiannya adalah rumah bercat putih di Jalan Kenari. Rumah itu selalu ramai dikunjungi orang, terutama pagi-pagi.
“Bu Sari, tomat berapa?” tanya Nyonya Liem, pedagang kue di sebelahnya.
“Lima sen per ikat, Nyonya.”
Saat sedang menimbang tomat, Sari mendengar percakapan dari warung kopi di ujung pasar. “Dengar-dengar pasar mau ditertibkan lagi sama pemerintah,” kata Pak Darto, tukang delman yang biasa nongkrong di warung itu.
“Katanya mengganggu pemandangan kota,” sambung Pak Kamil, pedagang ikan. “Orang Belanda mau bikin taman di sini.”
Sari mengernyitkan dahi. Ditertibkan? Artinya pasar akan ditutup? Kalau pasar ditutup, ia harus berjualan di mana?
“Jangan-jangan kita semua harus pindah ke pasar baru di Senen,” kata Pak Darto lagi. “Tapi sewanya mahal, siapa yang sanggup?” Kecemasan mulai menyelinap di hati Sari. Hidup sudah cukup sulit dengan penghasilan seadanya. Kalau harus pindah ke pasar yang sewanya mahal, bagaimana ia bisa bertahan?
Pagi itu, seperti biasanya, Sari melihat seorang pria berkemeja putih keluar dari rumah besar di Jalan Kenari. Beberapa orang menyapanya dengan hormat. Ada yang mencium tangannya, ada yang membungkuk.
“Siapa sih pria itu?” tanya Sari pada Nyonya Liem.
“Oh, itu Tuan Thamrin. Orang terpandang. Kata orang, dia sering bicara di dewan pemerintahan untuk membela rakyat.”
Sari hanya mengangguk sambil melanjutkan berjualan. Baginya, orang terpandang ya tetap orang terpandang. Mereka hidup di dunia yang berbeda dengan pedagang kecil seperti dirinya.
***
Seminggu kemudian, ketakutan Sari menjadi kenyataan. Seorang pegawai pemerintah kolonial datang ke pasar dengan membawa surat resmi.
“Mulai bulan depan, pasar ini akan ditutup untuk penataan kota,” katanya dalam bahasa Melayu yang kaku. “Kalian bisa pindah ke Pasar Senen yang baru.”
Para pedagang langsung berkerumun. Suara protes mulai terdengar di mana-mana. “Pak, tolong jangan tutup pasar ini. Ini tempat mata pencaharian kami,” mohon Pak Kamil. “Pasar Senen jauh, dan sewanya mahal. Kami tidak sanggup,” tambah pedagang lain.
Tapi pegawai itu tetap pada keputusannya. “Ini sudah keputusan final. Kalian punya waktu sebulan untuk pindah.”
Setelah pegawai itu pergi, suasana pasar menjadi murung. Banyak pedagang yang mulai menangis, termasuk Sari. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tabungannya tidak cukup untuk sewa tempat di pasar baru, apalagi untuk pindah rumah.
“Bagaimana ini?” tanya Sari pada Nyonya Liem.
“Entahlah, Bu. Mungkin kita harus pasrah saja.”
Malam itu, Sari tidak bisa tidur. Ia memikirkan nasib anak-anaknya, suaminya yang sakit-sakitan, dan masa depan keluarganya. Apakah mereka harus kembali ke kampung dan menjadi buruh tani?
***
Tiga hari setelah pengumuman penutupan pasar, Sari mendengar kabar yang mengejutkan dari warung kopi.
“Heboh nih, kemarin ada yang protes keras di Volksraad soal penutupan pasar kita,” kata Pak Darto sambil menyeruput kopi.
“Siapa?” tanya Pak Kamil penasaran.
“Tuan Thamrin. Katanya dia bilang, pasar tradisional adalah jantung kehidupan rakyat kecil. Tidak bisa sembarangan ditutup hanya untuk kepentingan estetika kota.”
Sari berhenti mengatur dagangannya. Thamrin? Pria yang setiap pagi ia lihat keluar dari rumah besar itu?
“Benar itu, Pak?” tanya Sari ikut gabung pembicaraan.
“Benar dong. Tadi pagi Nyonya Tan yang bisa baca koran Belanda cerita. Katanya pidato Tuan Thamrin sangat keras. Dia bilang, kalau pemerintah mau tutup pasar, harus sediakan alternatif yang terjangkau untuk pedagang kecil.”
Untuk pertama kalinya, Sari merasa ada secercah harapan. Ternyata ada orang yang peduli dengan nasib mereka. Tapi apakah suara satu orang bisa mengubah keputusan pemerintah?
Dua minggu kemudian, jawaban itu datang. Pegawai pemerintah yang sama datang lagi ke pasar, kali ini dengan wajah yang tidak begitu yakin.
“Ada… perubahan rencana,” katanya pelan. “Pasar ini tetap boleh beroperasi, tapi dengan syarat harus diperbaiki sanitasinya dan diatur ulang tata letaknya.”
Sorak sorai langsung meledak di pasar. Para pedagang saling berpelukan. Sari merasakan air mata mengalir di pipinya. Mereka tidak jadi kehilangan mata pencaharian.
“Terima kasih, Tuhan!” kata Sari, terharu.
Malam itu, saat pulang ke rumah, Sari sengaja melewati Jalan Kenari. Ia ingin melihat rumah pria yang telah menyelamatkan hidup mereka. Di depan pagar rumah itu, ia berhenti sejenak dan membungkuk dalam-dalam.
“Terima kasih, Tuan,” bisiknya pelan.
***
Sejak kejadian itu, Sari mulai memperhatikan sosok M.H. Thamrin dengan cara yang berbeda. Ia sering mendengarkan pembicaraan di warung kopi tentang kegiatan pria itu.
“Tuan Thamrin lagi mengusulkan pembangunan sekolah murah untuk anak-anak pribumi,” cerita Pak Darto suatu pagi.
“Katanya juga mau ada rumah sakit yang bisa diakses orang miskin,” tambah Nyonya Liem yang baru datang dari rumah pelanggannya.
Sari semakin tertarik. Ternyata Thamrin tidak hanya bicara soal pasar, tapi juga peduli dengan pendidikan dan kesehatan rakyat kecil.
Suatu sore, ketika Sari sedang membereskan dagangannya, ia melihat Thamrin berjalan melewati pasar. Beberapa pedagang menyapanya, dan ia membalas dengan ramah. Thamrin bahkan sempat berhenti di beberapa kios, bertanya tentang keadaan dagang.
Ketika Thamrin melewati kios Sari, pria itu tersenyum dan mengangguk. Sari terkejut dan hanya bisa membalas dengan senyuman canggung.
“Selamat sore, Bu. Bagaimana dagangannya hari ini?” tanya Thamrin dengan suara yang ramah.
“Baik, Tuan. Terima kasih,” jawab Sari gugup.
“Syukurlah. Semoga pasar ini semakin ramai dan berkembang.”
Setelah Thamrin pergi, Sari masih terdiam. Ia tidak menyangka orang sepenting itu mau menyapa pedagang kecil seperti dirinya.
“Orangnya baik ya, Bu,” kata Nyonya Liem yang menyaksikan pembicaraan tadi.
“Iya. Tidak sombong seperti orang kaya lainnya.”
Dari hari itu, rasa hormat Sari pada Thamrin semakin besar. Ia mulai mengerti bahwa perjuangan yang dilakukan pria itu bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan orang-orang seperti dirinya.
***
Bulan-bulan berikutnya, nama Thamrin semakin sering terdengar di pasar. Tapi kali ini, pembicaraan tentangnya tidak selalu positif.
“Tuan Thamrin lagi bentrok sama pemerintah Belanda,” bisik Pak Kamil. “Katanya dia terlalu keras menuntut hak-hak pribumi.”
“Jangan-jangan nanti kena marah sama pemerintah,” kata pedagang lain dengan nada khawatir.
Sari merasakan kecemasan yang sama. Ia mulai memperhatikan bahwa di sekitar rumah Thamrin, polisi kolonial lebih sering berpatroli. Suasana di Jalan Kenari tidak seramai dulu.
“Bu Sari, kamu dengar tidak? Katanya Tuan Thamrin sedang diselidiki,” bisik Nyonya Liem suatu pagi.
“Diselidiki kenapa?”
“Katanya karena aktivitasnya dianggap mengganggu ketertiban. Ada yang bilang dia terlalu vokal menentang kebijakan pemerintah.”
Hati Sari mencelos. Jangan sampai orang yang telah menyelamatkan hidup mereka ini mendapat masalah besar.
Beberapa hari kemudian, kekhawatiran itu semakin nyata. Di pasar, orang-orang berbisik tentang interogasi yang dialami Thamrin. “Dengar-dengar dia sudah tidak boleh keluar rumah sembarangan,” kata Pak Darto dengan suara pelan.
“Kasihan. Padahal dia cuma membela rakyat,” tambah Pak Kamil.
Sari merasa tidak tenang. Setiap pagi, ia selalu menoleh ke arah rumah Thamrin, berharap melihat pria itu masih bisa keluar seperti biasa. Tapi semakin hari, rumah itu terlihat semakin sepi.
***
Batavia, Januari 1941.
Pagi itu terasa berbeda di Pasar Kenari. Langit mendung menggantung, udara dingin menusuk tulang. Sari, bersama para pedagang lain, tiba-tiba melihat keramaian di ujung jalan yang mengarah ke rumah besar bercat putih—rumah M.H. Thamrin.
“Ada apa itu?” bisik Pak Kamil, suara bergetar.
Sari meninggalkan tikar dagangannya dan berjalan pelan mengikuti kerumunan warga yang mulai membesar di seberang pagar rumah Thamrin. Belasan polisi kolonial berjaga, sebagian membawa senapan. Truk hitam bertuliskan “POLITIE” parkir di depan rumah.
Dari balik pagar, terdengar suara keras dalam bahasa Belanda. Seorang opsir membacakan surat perintah penangkapan. Istri dan anggota keluarga Thamrin tampak berdiri tegar di belakang pintu utama.
Beberapa menit kemudian, M.H. Thamrin keluar mengenakan jas putih dan peci hitam, wajahnya teduh walau matanya menampilkan kelelahan panjang. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menghadap ke kerumunan.
“Tenanglah, saudara-saudara…,” suara Thamrin jernih dan mantap menembus keheningan, “perjuangan ini bukan milik saya seorang. Jangan takut. Suara kalian, harapan kalian, tetap hidup. Jangan pernah padamkan itu.”
Air mata Sari tumpah. Di kerumunan, beberapa ibu-ibu menahan isak, ada yang menunduk, beberapa berdoa. Seorang anak laki-laki berbisik, “Mengapa orang baik ditahan, Bu?”
Dua polisi mendekat, memborgol tangan Thamrin. Ia menoleh sekali lagi, memberikan anggukan penuh arti pada orang-orang di balik pagar.
Saat truk bergerak perlahan meninggalkan rumah, suasana semakin hening. Sari memeluk erat bunga melati yang sedianya akan dijual—kini ia tahu untuk siapa bunga itu besok. Rumah Thamrin kini tampak sepi, seolah cahaya harapan ikut dibawa pergi bersama pemiliknya.
Hari itu, pasar nyaris senyap. Para pedagang berbisik, menahan takut dan kehilangan. Jakarta seakan kehilangan suara dan napasnya.
Tiga minggu kemudian, kabar yang paling ditakutkan akhirnya datang.
“Tuan Thamrin meninggal dunia,” kata Pak Darto dengan suara bergetar.
Suara hiruk-pikuk pasar tiba-tiba berhenti. Semua orang terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
“Meninggal? Bagaimana bisa?” tanya Sari dengan mata berkaca-kaca.
“Katanya sakit di dalam tahanan. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya,” jawab Pak Darto.
Sari tidak bisa menahan tangisnya lagi. Air mata mengalir deras di pipinya. Wanita yang biasanya kuat menghadapi segala kesulitan hidup ini kini merasa kehilangan sosok yang tidak pernah ia kenal secara pribadi, tapi telah mengubah hidupnya.
“Kenapa harus dia?” isak Sari. “Padahal dia cuma mau membantu kita.”
Di seluruh pasar, tangisan mulai terdengar. Para pedagang yang pernah merasakan kebaikan Thamrin ikut berdukacita. Mereka merasa kehilangan pelindung, kehilangan suara yang selama ini memperjuangkan hak-hak mereka.
“Pemakamannya besok di Karet Bivak,” kata Nyonya Liem. “Katanya boleh ikut.”
“Saya mau ikut,” kata Sari tegas sambil menyeka air matanya.
Pagi hari, sebelum berangkat ke pemakaman, Sari memetik beberapa tangkai melati dari halaman rumahnya. Bunga putih kecil itu ia bungkus dengan daun pisang, sebagai tanda penghormatan terakhir untuk sosok yang telah mengubah pandangannya tentang perjuangan.
Di pemakaman, Sari terkejut melihat betapa banyak orang yang datang. Ribuan orang dari berbagai kalangan pedagang, buruh, guru, bahkan beberapa orang Belanda berkumpul untuk menghormati M.H. Thamrin.
Sari berdiri di barisan belakang, mengenggam erat bunga melatinya. Ia melihat tangis di wajah-wajah orang yang hadir. Semuanya merasakan kehilangan yang sama.
Ketika prosesi dimulai, Sari ikut berjalan mengikuti iring-iringan. Di sepanjang jalan, orang-orang berdiri menghormati. Ada yang menangis, ada yang berdoa dalam hati.
Saat tiba di pemakaman, Sari meletakkan bunga melatinya di atas pusara. Ia berdoa dalam hati, “Terima kasih, Tuan, untuk semua yang telah Anda lakukan untuk kami. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda.”
Sari kembali berdagang di pasar yang sama. Tapi kali ini, suasananya sudah berbeda. Meski masih ada kesedihan, semangat perlahan mulai bangkit.
“Bu Sari, dengar tidak? Sekolah murah yang dulu diperjuangkan Tuan Thamrin akhirnya jadi dibangun,” kata Nyonya Liem sambil menata kue dagangannya.
“Benarkah?”
“Iya. Di dekat sini. Katanya mulai bulan depan sudah bisa menerima murid.” Sari tersenyum. Ini adalah kabar baik pertama sejak kematian Thamrin.
“Anak-anak kita bisa sekolah murah sekarang,” lanjut Nyonya Liem. “Impian Tuan Thamrin terwujud juga.”
Beberapa hari kemudian, Sari melihat sekelompok anak-anak berjalan menuju sekolah baru itu. Mereka tampak gembira dengan seragam sederhana dan tas dari anyaman pandan.
“Mama, aku mau sekolah di sana juga,” kata Minah, anak perempuan Sari yang berusia tujuh tahun. “Boleh, Nak. Mama akan daftarkan kamu.” Saat mendaftarkan Minah ke sekolah, Sari bertemu dengan kepala sekolahnya, seorang guru muda bernama Pak Hasan.
“Sekolah ini memang dibangun berdasarkan usulan almarhum Tuan Thamrin,” kata Pak Hasan. “Beliau berharap anak-anak pribumi bisa mendapat pendidikan yang layak tanpa harus mengeluarkan biaya mahal.”
“Semoga sekolah ini bisa berguna untuk anak-anak kami,” kata Sari.
“Insya Allah, Bu. Ini adalah wujud cita-cita Tuan Thamrin untuk mencerdaskan bangsa.”
***
Senja turun perlahan di Pasar Kenari. Sari duduk di warung kopi, memperhatikan anak-anak berlarian pulang dari sekolah rakyat yang berdiri berkat cita-cita M.H. Thamrin. Tak ada lagi seruan protes dari pedagang, tak ada wajah ketakutan—yang tertinggal hanyalah semangat untuk bekerja sebaik mungkin, seakan mendoakan perjuangan yang telah didahului oleh seorang sosok besar yang pernah tinggal di rumah putih yang kini sunyi.
Rumah itu berdiri diam di antara pohon-pohon kenari, jendelanya tertutup rapat. Namun, kehadiran Thamrin seolah tetap terasa; pada suara riuh pasar yang hidup, pada tumpukan sayur dagangan yang kini laris, juga pada langkah-langkah para pemuda yang mulai berani bercakap membela keadilan di pojok lorong.
Di bawah langit yang mulai membiru, Sari menatap sekeliling dan menyadari: jejak Thamrin tidak membekas pada tembok-tembok rumah, melainkan menempel erat di hati rakyat kecil—ibu, ayah, anak-anak, dan setiap orang yang pernah disentuh perjuangannya. Thamrin bukan sekadar nama dalam baris pidato; ia adalah jembatan harapan, pengingat bahwa satu suara bisa mengubah banyak hidup.
Malam datang. Sari duduk di teras, menatap bintang. Aroma melati dari halaman pelan-pelan menguar, membawa Sari pada kenangan hari-hari getir dan hari-hari penuh harapan; semua kini mengalir menjadi doa diam-diam untuk mereka yang meneruskan perjuangan.
Tak perlu banyak kata, sebab warisan sesungguhnya bukanlah tugu atau pusara, melainkan keberanian, kejujuran, dan api kecil yang menular dari hati ke hati. Thamrin mungkin telah tiada, tapi dalam setiap napas kerja keras, dalam semangat anak-anak yang kini bersekolah, dalam bisikan doa ibu pedagang kecil, tapi itu tetap menyala.
Sari belajar dari sosok M.H. Thamrin bahwa kemewahan tidak selalu menjauhkan seseorang dari rakyat kecil, justru dari tangan yang terbiasa memegang pena, beliau menyalakan api perjuangan bagi mereka yang bahkan tak tahu cara menulis namanya sendiri. Dari M.H. Thamrin, Sari mengerti bahwa perjuangan bukan hanya tentang berdiri di medan perang, tetapi tentang berani bersuara ketika orang lain memilih diam.
Dari M.H. Thamrin, ia belajar arti keberpihakan bahwa cinta pada tanah air bisa tumbuh dari empati pada sesama, bukan dari gelar, jabatan, atau pangkat. Dan kini, setiap kali Sari melintasi gedung yang memanggul nama M.H. Thamrin, ia merasa seolah nama itu berbisik: bahwa perjuangan tidak pernah benar-benar berakhir, hanya berpindah ke hati-hati yang masih ingin berbuat baik.
Catatan: M.H. Thamrin (1894-1941) adalah tokoh pergerakan nasional Indonesia yang dikenal karena perjuangannya membela hak-hak rakyat kecil, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Beliau wafat dalam tahanan kolonial Belanda pada tanggal 11 Januari 1941.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.